KETIK, SURABAYA – Gelar Doktor Honoris Causa yang diterima Raffi Ahmad dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Pasalnya, UIPM tidak memiliki izin operasional di Indonesia.
Pemberian gelar semacam itu harus memenuhi syarat yang diatur oleh Kementerian Pendidikan, seperti perguruan tinggi yang memiliki program doktoral dan izin resmi. Tanpa itu, gelar kehormatan tersebut dianggap tidak sah oleh pemerintah.
Menurut Agie Nugroho Soegiono S IAN M PP, Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Airlangga (Unair), proses pemberian gelar HC bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan sembarangan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merilis pernyataan resmi pada 4 Oktober 2024 melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) wilayah IV untuk tidak mengakui gelar doktor kehormatan tersebut.
Pasalnya, pemberian gelar itu dianggap tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Agie menjelaskan bahwa pemberian gelar doktor kehormatan memerlukan prosedur yang panjang dan ketat. Pemberian gelar itu diatur dalam Permendikbud Nomor 65 Tahun 2016.
Salah satu peraturannya, program studi yang memberikan harus sudah terakreditasi A atau unggul.
“Ada syarat-syarat yang sangat spesifik dan ketat yang harus dipenuhi. Regulasi menekankan bahwa gelar HC hanya dapat diberikan kepada individu yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan kemanusiaan," jelas Dosen Fisip Unair itu dikutip pada Rabu 9 Oktober 2024.
Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Airlangga Agie Nugroho Soegiono S IAN M PP. (Foto: Humas Unair)
Agie selanjutnya menuturkan bahwa sejatinya seorang dengan gelar doktor harus memiliki kriteria yang dideskripsikan dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) level 9 yang diatur pada Peraturan Presiden No 8 Tahun 2012.
Misalnya, seorang doktor harus mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni baru di dalam bidang keilmuannya atau praktik profesional melalui riset, hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji.
Lebih lanjut, Agie menjelaskan bahwa pemberian gelar kehormatan harus melalui usulan dari senat akademik kepada pimpinan universitas.
Pimpinan universitas kemudian mempertimbangkan rekomendasi dari senat yang melakukan uji kelayakan dan menyusun tim promotor sesuai dengan bidang ilmu calon penerima.
Adapun uji kelayakan meliputi rekam jejak prestasi, sambungnya, kontribusi yang sudah terbukti, serta dampak yang dihasilkan bagi masyarakat.
"Proses ini mencakup penilaian yang sangat teliti. Perlu melibatkan berbagai pihak untuk memastikan bahwa penerima gelar HC benar-benar layak dan memiliki reputasi yang baik. Ini menunjukkan bahwa gelar HC tidak hanya diberikan berdasarkan gelar akademik, tetapi juga pada kontribusi nyata dalam pengembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan," tegas Agie.
Agie menekankan bahwa institusi pendidikan harus lebih berhati-hati dalam memberikan gelar doktor kehormatan. Pemberian gelar HC, sambungnya, haruslah memperhatikan dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat.
"Kampus perlu memastikan bahwa karya atau hasil kerja seseorang yang diusulkan untuk menerima gelar HC tidak hanya diakui secara formal tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan. Transparansi dalam proses ini sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan integritas institusi pendidikan," pungkasnya.(*)