Proses pembentukan dan pengelolaan perspektif publik pada case Achirudin menarik dibahas, betapa content tersebut mengikat banyak jaringan terkonstruksi secara negative bagi Achirudin.
Berawal dari tweet @mazzini_gsp yang menyampaikan sebuah peristiwa di mana seorang pemuda Ken Admiral dihajar oleh pemuda Aditya yang merupakan anak dari Perwira Menengah Polisi AKBP Achirudin yang juga menyaksikan peristiwa tersebut.
Tanpa melakukan cover both side journalism, @mazzini_gsp berusaha menggugah keadilan publik, seakan:”Ini Arogansi Polisi Terhadap Rakyat Jelata, Lawan! Rakyat Bersatu Tak Bisa dikalahkan!”
Pada proses awal pembentukan persepsi publik tersebut, terdapat jejak digital netizen yang mengingatkan agar @mazzini_gsp melakukan jurnalisme yang baik namun dijawab bahwa ini adalah citizen journalism.
Publik disajikan informasi yang banyak celah, sulit dipertanggung jawabkan secara etika dan akademis, namun itulah citizen jurnalism, layak diapresiasi dan perlu dikelola dengan baik oleh Negara.
*Bagaimana Aktor Negara seperti Mahfud MD mengelolanya?*
Mahfud MD sebagai aktor penting yang hadir pada content Sambo, Mario Dandi, hadir juga pada content Achirudin.
Dengan posisi strukturalnya sebagai Menkopolhukam, Mahfud MD membentuk tim agar dapat bekerja sebaik mungkin menghadirkan keadilan publik dengan strategi membuka data yang dianggap privat ke publik, agar tidak ada ruang gelap semuanya terang benderang.
Tidak sedikit yang men-challenge strategi tersebut, membawa pada bahasan apakah ini privat apakah ini publik, juga mempertanyakan apakah Mahfud MD sedang dalam konteks sebagai Menkopolhukam atau sebagai individu yang menguasai hukum.
Berbeda dengan case Sambo dan Mario Dandi, strategi expose data oleh Mahfud MD belum optimal diterapkan pada case Achirudin.
Apakah karena case Achirudin ini masih baru?
Atau yang sudah dilakukan hanya pada data Achirudin, bagaimana dengan data ayah Ken Admiral?
Jelas keluarga Ken Admiral adalah keluarga kaya, setidaknya ini menunjukkan bukan cerita Polisi vs Rakyat Jelata sebagaimana yang dipersepsi publik.
Apalagi terungkap ada beberapa kombes yang merupakan keluarga Ken Admiral cs.
Bagaimana jika ini cerita yang serupa seperti Sambo yang playing victim di awal kejadian? Achirudin bisa jadi adalah korban sebagaimana Joshua.
Peran yang dilakukan Mahfud MD layak diapresiasi, menggairahkan keinginan tercapainya keadilan publik.
Namun di sisi lain membawa tantangan serius, yaitu bila ingin melihat sebuah kebenaran maka lihatlah di mana Mahfud MD berada.
Hal ini berbahaya karena personifikasi kebenaran bukan jalan menuju tercapainya keadilan publik. Mahfud MD sebagaimana manusia lainnya, tidak selalu benar, pun tidak selalu salah.
Di sisi lain keterhubungan media mainstream dan media sosial dianggap sedang mengalami disrupsi.
Jurnalisme cover both side menjadi sesuatu yang sulit hadir pada case Achirudin.
Apakah karena cover both side jurnalism membutuhkan keahlian khusus yang harus dicapai melalui proses pendidikan yang rigid?
Apakah karena cover both siding journalism tidak dapat berpacu pada era digital yang serba serempak sehingga khawatir content menjadi basi?
Realitas journalism tersebut dianggap menghadirkan budaya jurnalisme instan, media mainstream yang lebih potensi memiliki kapasitas cover both-side journalism tertantang eksistensinya di industri media, tidak sedikit yang menyerah menjadi media penerus apa saja yang sedang dibahas netizen.
Tentu saja hal ini berpotensi memunculkan berita sampah yang hadir serempak.
Bila demikian realitas yang terjadi, apakah keadilan publik dapat kita capai dengan baik?
Apakah penguasaan akses data baik pivat maupun publik ditambah kemampuan mengelola netizen untuk membahas data tersebut adalah strategi yang dapat menjamin keadilan publik?
Mahfud MD Perlu Hati-Hati
Mahfud MD perlu berhati-hati dalam mengelola persepsi publik. Memang viralitas penting, menjadi signal bahwa bisa jadi perlu kehadiran Negara.
Namun tanpa frame kebenaran, ter-drive sekedar viralitas, Negara bisa tersesat dan menyesatkan warga negaranya sendiri. Keadilan publik selalu bersama kebenaran. Keadilan publik tidak selalu bersama viralitas.
Sekian
*) Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi
Memahami Persepsi Publik dalam Kasus AKBP Achirudin
Editor: Naufal Ardiansyah
12 Mei 2023 14:18 12 Mei 2023 14:18