Andaikan tembok pagar rumah kita doyong, apa yang harus kita lakukan? Memperbaikinya atau merobohkannya untuk membangun tembok baru? Atau, cukup menyangganya?
Saya begitu gerah ketika ada yang mencampakkan bertruk-truk sampah di depan Pendopo Delta Wibawa, Jalan Tjokronegoro. Sampah diecer-ecer seenaknya. Berita tentang demo di Pendopo Delta Wibawa itu muncul di berbagai media. Wajah pendopo dikoyak oleh sampah. Itu ulah ngawur. Simbol pribadi yang tidak mampu menghargai daerahnya sendiri.
Pendopo Delta Wibawa, bagi saya dan mungkin warga Sidoarjo lainnya, adalah simbol kewibawaan Kabupaten Sidoarjo. Di dalam Pendopo Delta Wibawa, ada ruang-ruang ’’keramat’’. Ada benda-benda peninggalan yang tidak ternilai.
Di Pendopo Delta Wibawa pula, peristiwa-peristiwa dan momentum-momentum sakral dan seremoni penting lainnya tercatat. Misalnya, perjuangan pimpinan daerah dan warga korban lumpur untuk memperoleh ganti rugi tanah. Mereka tidak punya bukti otentik kepemilikan. Sampai ada sumpah pocong agar PT Minarak Lapindo Jaya mau membayar ganti rugi.
Pemberangkatan calon jamaah haji. Pelantikan pejabat Pemkab Sidoarjo. Penyambutan tamu-tamu kehormatan. Pengambilan Keputusan-keputusan penting. Kekokohan bangunan bersejarah itu perlu dijaga. Memugar cagar budaya itu pun tidak boleh sembarangan.
Sayang, tembok yang mengelilingi Pendopo Delta Wibawa kini sedang doyong. Antara berdiri tegak dan setengah hendak roboh. Besi-besi pagarnya sudah berkarat. Dindingnya mulai kusam. Meski, entah sudah dicat berapa kali. Pagar pendopo itu sedih.
Kondisi pagar Pendopo Delta Wibawa sisi timur (Foto: Fathur Roziq/Ketik.co.id)
Kondisi tembok itu seakan menggambarkan situasi Kabupaten Sidoarjo. Operasi tangkap tangan (KPK) pada 25 Januari 2024 lalu menghadirkan kesedihan. Optimisme sudah dipupuk 3,5 tahun. Namun, begitu terdengar OTT di Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo, waswas sudah.
Kepercayaan diri berkurang. Status pemimpin daerah tidak juga jelas. Pembangunan terjerembab pula dalam ketidakpastian. Optimisme demi optimisme memang terus dikuatkan meski ibarat menegakkan benang basah. Seakan-akan kita begitu kuat tampil di hadapan khalayak. Tapi, sesungguhnya rapuh di dalam. Kepercayaan diri limbung.
Ibarat pemerintahan Sidoarjo ini sebuah tubuh, wajahnya sangatlah cantik. Moncer dan gemilang di luar. Banjir prestasi. Melimpah pujian dan penghargaan. Namun, di dalam, otot dan tulang rapuh. Salah satunya, kerapuhan akibat konsolidasi birokrasi yang belum tuntas.
Jumlah jabatan kosong sangat banyak. Pejabat pelaksana tugas (Plt) bertebaran. Ada kekosongan di berbagai eselon. Kapasitas, kapabilitas, akseptabilitas, soliditas, belum ketemu. Belum menyatu.
Meritokrasi belum benar-benar menjiwai penjenjangan karir. Prinsip the right man on the right place tidak benar-benar dijunjung tinggi. Akibatnya, orkestrasi di dalam birokrasi tidak mampu melahirkan harmoni. Jago gitar dipaksa ngedrum. Saat musik religius dilantunkan dengan syahdu, yang terlihat justru joged ala dangdut koplo. Dirijennya asyik qasidahan. Gak mathuk. Gak sinkron.
Untunglah sudah ada sekretaris daerah definitif. Pelantikan Dr Fenny Apridawati sebagai sekretaris daerah (Sekda) sangatlah tepat. Dr Fenny adalah figur multitalenta. Tangguh. Mampu menembus berbagai sekat-sekat birokrasi. Paham kapan lembut, kapan perlu tegas, dan kapan pula harus keras.
Dr Fenny piawai bisa menjadi ”SENOWATI” yang hebat. Kuat dan mengakar ke dalam, sekaligus jago ke luar. Matang sebagai birokrat. Pengusaha, buruh, politikus, dan stakeholders lain juga mengenal sosoknya. Dengan insan media massa pun, Dr Fenny is prend-prend-prend.
Karena itulah, saya berpendapat pelantikan Dr Fenny sebagai sekretaris daerah sejatinya terlambat. Sekda adalah ketua Tim Anggaran dan Tim Baperjakat. Andaikan tidak baru-baru ini saja dilantik menjadi Sekda, yakin saya Dr Fenny mampu menempuh banyak langkah. Terobosan brilian. Langkah kuda yang indah.
Untunglah, pemilihan Sekda telah melalui open bidding dan sudah dilakukan jauh hari. Keterlambatan tidak berpotensi sebagai masalah baru, justru menjadi solusi efektif. Berbeda dengan pelantikan-pelantikan pejabat yg dimutasi bersamaan pada 22 Maret lalu. Keterlambatan berpotensi jadi masalah.
Mengapa? Karena keterlambatan itu, sampai-sampai memerlukan konsultasi ke Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memastikan keabsahan pelantikan pejabat pada 22 Maret lalu itu. Yang dilantik pun ikut waswas.
Ada kontroversi. Beberapa daerah telah membatalkan pelantikan pejabat pada hari yang sama. Apakah pelantikan tersebut tidak bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2016 yang berkaitan dengan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Juga PKPU No. 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Tahun 2024. (*)
*) Fathur Rozi, redaktur dan jurnalis senior Ketik.co.id yang bertugas di Sidoarjo
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
*) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
**) Ketentuan pengiriman naskah opini:
* Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
* Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
* Panjang naskah maksimal 800 kata
* Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
* Hak muat redaksi