KETIK, SURABAYA – Warung Madura saat ini semakin menjamur. Bukan hanya di berbagai daerah di Pulau Jawa, bahkan di luar Pulau Jawa pun mulai banyak dijumpai.
Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya) Bambang Budiarto menilai keberadaan warung Madura sejatinya tidak perlu ditakutkan.
Menurutnya, keberadaan warung Madura sama seperti warung pada umumnya. Dia menjabarkan, di Jatim warga Madura berani membuka warung dengan lebih mengandalkan dan mengedepankan realitas hasil dan praktek langsung.
“Hitung-hitungan teori dan konsep dasar ekonomi tidak seberapa mereka pikirkan untuk memenangkan persaingan dan meraih keuntungan maksimal," ucapnya, Kamis (9/5/2024).
Bambang menjelaskan, warung Madura hanya memenuhi kebutuhan masyarakat seperti warung pada umumnya. "Warung Madura maupun warung tradisional lainnya sama saja," ucapnya.
Terkait menjamurnya warung Madura, Bambang menyebut ini bukan hanya karena ide bisnis maupun pengembangan usaha seperti retail modern berbentuk minimarket yang menjamur selama ini.
Namun, di dalamnya ada juga faktor tidak ada pilihan lain yang lebih baik bagi pelaku usaha tersebut. Sehingga para perantau ini memilih untuk membuka warung Madura.
"Beratnya persaingan dalam mengisi lowongan pekerjaan, menyadarkan masyarakat untuk berpikir membuat usaha sendiri," ucap Bambang.
Pengamat Ekonomi Ubaya Bambang Budiarto. (Foto: Bambang Budiarto for Ketik.co.id)
Bambang menyebutkan, retail, minimarket ataupun warung modern tidak perlu takut dengan keberadaan warung Madura. "Dari pengelolaannya saja sudah berbeda. Apalagi soal pembukuan," ucapnya.
Dalam retail atau minimarket, semuanya telah sistematis dan terstruktur dengan pelaporan yang juga periodik. Mereka juga telah menerapkan ilmu-ilmu marketing dalam memberikan layanan.
"Nah, kalau di warung Madura atau warung tradisional lebih berorientasi kekeluargaan, bila ada selisih atau salah, penyelesaian secara kekeluargaan lebih dikedepankan," bebernya.
Karena itu, dia menambahkan, kehadiran warung Madura menurutnya kurang tepat jika dihadap-hadapkan atau bahkan disebut-sebut untuk melawan dominasi retail modern atau minimarket.
Kembali pada konsep dasar ekonomi, dia menyebut bahwa setiap individu masyarakat atau kelompok akan berusaha bertahan hidup.
Istilah "melawan" menurutnya kerap memunculkan pemahaman menang atau kalah. Padahal, keduanya memiliki kekuatan modal maupun infrastruktur yang tidak sebanding. Lebih dari itu, tidak ada perlunya juga mencari kondisi menang dan kalah dalam perbandingan keduanya.
“Jadi boleh ditarik pemahaman sederhana saja, bahwa keberadaan warung Madura atau warung tradisional sejatinya lebih pada sebuah instrumen alternatif manusia dalam menciptakan unit-unit kegiatan ekonomi potensial, untuk bertahan hidup, di tengah persaingan di segala bidang seperti yang terjadi sekarang ini,” jelasnya.(*)