Gen Z atau Generasi Z adalah sebutan untuk generasi yang lahir setelah tahun 2000. Ini adalah kelanjutan dari Gen X atau Gen Milenial. Sebagai sebutan populer mereka, Gen X ataupun Gen Z adalah generasi muda yang akan melanjutkan apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Peradaban yang telah dicanangkan akan terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya, pun demikian dalam proses berbangsa dan bernegara. Lebih spesifik tentang bagaimana politik tumbuh kembang untuk sebuah bangsa yang periodesasinya ditandai dengan pesta demokrasi untuk berkontestasi gagasan dan idiologi melalui proses pemilihan umum.
Pemuda dalam Undang-Undang angka 40 Tahun 2009 didefinisikan sebagai rakyat negara Indonesia (WNI) yang memasuki periode pertumbuhan berusia 16 (enam belas) hingga 30 (tiga puluh) tahun.
Data Badan pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah pemuda pada rentang usia 16-30 tahun sebanyak 64, 92 juta atau sebanyak 24% pada tahun 2021. Statistik ini menjelaskan jumlah yang cukup besar. Menggunakan jumlah itu pemuda memiliki posisi strategis dalam Pemilu 2024 terutama untuk membentuk atmosfer kontestasi yang demokratis.
Setidaknya ada 2 peran politik bisa dilakukan pemuda pada Pemilu 2024. Pertama, terlibat kontestasi politik secara pribadi menjadi calon anggota legislatif atau pimpinan wilayah hingga pusat. Kedua, menjadi bagian dari kekuatan civil society melakukan supervisi Pemilu 2024.
Keterlibatan pemuda pada politik krusial, terlebih berdasarkan data terbaru, jumlah generasi Z (9-24 tahun) serta generasi milenial (25-40 tahun) secara populasi lebih kurang 53% dari keseluruhan penduduk Indonesia.
Sementara anggota dewan perwakilan rakyat RI periode 2019-2024 hanya berjumlah 10% memiliki umur di bawah 40 tahun. Persentase dapat dikatakan keterwakilan generasi belia cukup kecil, bahkan masih di bawah rasio keberadaan perempuan yang dicanangkan 30%.
Keterlibatan pemuda pada politik tentunya tidak semata-mata untuk meraih kekuasaan politik. Menurut M. Umar Syadat Hasibuan dalam kitab Revolusi Politik Kaum belia (2008) keterlibatan pemuda pada dunia politik biasanya terseret arus kepentingan jangka pendek. Padahal terjun dalam politik praktis harus disertai visi kepeloporan jangka panjang.
Terdapat 2 seni manajemen bisa dipergunakan untuk membentuk kepeloporan politik pemuda pada bidang politik.
Pertama, societas corporatism pola pengorganisasian kaum muda berbasis di pemberdayaan civil society, economic society, serta professional community. Peran pemuda dalam taktik ini menjadi kekuatan pelopor mendorong perubahan di komunitasnya masing-masing baik berkecimpung bidang NGO, ekonomi-bisnis, dan profesional.
Ketika pemuda berhasil eksis hingga terbilang sukses, mereka berhasil melakukan perubahan. Kapasitas mereka telah teruji dalam hal transformasi sosial minimal di tingkat komunitas pergaulannya, yang belakangan kita menjadi cukup familer dengan istilah-istilah kekininan seperti Selebgram, Influencer, Youtuber, Eksekutif muda, Young Crazy rich, kaum rebahan cuan dan seterusnya.
Perlu kesadaran bahwa satu kondisi menjadi elit harus peka terhadap lingkungan sekitarnya, serta mampu menyampaikan manfaat kepada orang lain. Tidak hanya mendapat manfaat dari follower dan subscriber.
Kedua, state corporatism pola pengorganisasian berbasis penguatan basis negara bangsa. Maksudnya menjadikan pemuda sebagai kekuatan pelopor mendukung rencana-rencana politik kebangsaan bersifat moderat, terbuka, serta plural.
Para pemuda dimampukan untuk mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan pada kehidupan sehari-hari, dibuktikan kemampuan membangun komunikasi, kerjasama, serta kerja sama dengan semua komponen bangsa, tanpa melihat perbedaan bersifat primordial.
Keberhasilan membangun jejaring sosial ini menunjukan kepada publik, para pemuda sudah siap memimpin bangsa menggunakan menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan gerombolan serta golongannya.
Tidak sedikit yang bisa kita lihat dan rasakan gerakan perubahan yang dilakukan oleh golongan ini. Gerakan Koin solidaritas sosial, dimana aktivitas dunia maya yang terlaksana di dunia nyata. Gerakan tanda pagar di Sosmed, atau bahkan yang saat pilpres sebelumnya menjadi pergunjingan yaitu Kelompok Buzzer.
Dengan manajemen yang produktif, hal ini bisa dimaksimalkan diharapkan bisa melahirkan politisi-politisi belia mempunyai karakter nasionalis, patriotik, dan berdikari. Memang ada partai politik yang segmentasinya adalah kelompok ini, namun di parlemen kekuatanyya sangat kecil. Bisa jadi generasi muda sekarang masih wait and see terhadap proses, atau malah skeptis dengan dunia politik.
Padahal yang dibayangkan kemudian adalah ketika mereka menjadi anggota parlemen atau wakil warga, bisa menyampaikan donasi besar buat memperkuat konsolidasi demokrasi, membawa sistem politik ke arah subtansi dengan menciptakan praktik politik trasparan, adil, dan demokratis. Itu bisa melalui partai apa saja yang menurut mereka cocok dengan gaya atau bahkan ideologi mereka.
Pilihan kiprah pemuda berikutnya adalah dengan melibatkan diri dalam kekuatan civil society melakukan supervisi atas jalannya Pemilu 2024. Kegiatan supervisi tentu sama pentingnya dengan kiprah pemuda yg terjun ke pada politik.
Aktivitas pengawasan mampu dilakukan menjadi garda terdepan dalam ekosistem digital, melakukan aktivitas meminimalisir konten-konten politik negatif bernada kebencian terhadap kelompok lain, menggunakan inisiasi ruang politik digital dengan konten politik lebih mendidik secara kritis pada pemilih.
Selain itu pemuda bisa ikut dan mengawasi proses pemilu pada TPS, menggunakan mencatat kecurangan jika terjadi. Lalu melaporkannya pada Bawaslu.
Kedua kiprah pemuda tersebut dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mempunyai dampak signifikan, menjadi ikhtiar mengisi proses demokratisasi di Indonesia, supaya sebagai sistem politik semakin terkonsolidasi dengan baik, serta melahirkan kultur politik beradab, beretika, serta berintegritas tinggi kepada spirit kebangsaan. Sehingga kompetisi politik menjadi semakin produktif dan terkontrol dengan baik.
Akhirnya, kita semua berdoa semoga bonus demografi menjadi berkah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena bagaimanapun, proses politik ini akan terus berjalan dan berkembang mengikuti dinamika.
Pada akhirnya, serangkaian pilihan-pilihan sikap dan posisi diatas tergantung pada Gen Z yang mendominasi hari ini. Apakah opsi-opsi itu diambil atau lebih memilih pasif dan membiarkan kehidupan politik tetap seperti itu-itu saja seperti yang selalu ramai dicuitkan di dunia maya.
Genarasi ini adalah generasi yang sangat produktif, jadi sangat disayangkan jika kelompok ini kemudian sekedar ditunggangi kepentingan politik tertentu yang kemudian malah menjadikan apatisme politik mereka menjadi semakin menjadi-jadi.
Lalu, bagaimana nasib bangsa ini ke depan jika generasi ini dibiarkan begitu saja jauh dari pilihan-pilihan tindakan yang lebih produktif untuk bangsa dan negara?
*) Samsul Ma’arif adalah Ketua Panwascam Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Pernah aktif di Komite Independen Pengawas Pemilu Daerah Kabupaten Mojokerto.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi
Politik Gen Z
Editor: Naufal Ardiansyah
13 Mei 2023 11:59 13 Mei 2023 11:59