KETIK, SIDOARJO – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sidoarjo tidak mau kecolongan. Mengantisipasi perhelatan Pilkada Sidoarjo 2024, badan adhoc itu telah memetakan berbagai kerawanan pemilu. Tercatat, 15 fenomena empirik terjadi saat Pileg dan Pilpres 2024 lalu. Semua dibedah sekaligus mitigasi dan solusinya.
Bawaslu Sidoarjo memaparkan peta kerawanan Pilkada Sidoarjo 2024 itu pada Senin (19/8/2024) di Fave Hotel, Sidoarjo. Berbagai stakeholder hadir. Perwakilan Forkopimda Sidoarjo. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Sidoarjo (Dispendukcapil) Sidoarjo. Panitia pemilihan kecamatan (PPK). Organisasi media massa, seperti PWI, FORWAS, AJS, dan IJTI. Ketua Bawaslu Jatim A. Warist juga hadir.
Ketua Bawaslu Sidoarjo Agung Nugraha menyebutkan, ada 15 indeks kerawanan pemilu (IKP) yang terjadi di Sidoarjo. Baik rawan dalam konteks sosial politik, penyelenggaraan, kontestasi, maupun partisipasi pemilu. Bawaslu Sidoarjo menyusunnya berbasis data dan fakta empirik yang terjadi pada Pileg dan Pilpres 2024 lalu.
”Kami berharap setiap potensi kerawanan dapat diantisipasi, diminalkan, dan dicegah sedini mungkin,” kata Agung Nugraha.
Apa saja 15 indeks kerawanan empirik itu menurut Bawaslu Sidoarjo?
Pertama, bencana nonalam yang masih berpotensi mengganggu tahapan pemilu. Kerawanan ini terkait dengan bencana lumpur panas Lapindo yang berakibat tenggelamnya beberapa desa. Ada perpindahan penduduk dalam jumlah puluhan ribu. Ada peleburan desa dan kelurahan.
Bawaslu Sidoarjo menilai kondisi itu rawan menjadi kendala dalam pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih. Masih ada pemilih yang telah pindah tempat tinggal, tapi masih berstatus sebagai penduduk di tempat tinggal semula. Misalnya, warga Kecamatan Tanggulangin yang sudah pindah ke Kecamatan Buduran.
Selain itu, sinkronisasi data pemilih yang masuk indikator kerawanan juga terjadi di Lapas Medaeng dan Lapas Porong. Tidak semua penghuni lapas memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sebab, dalam Pilkada 2024 ini ada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim selain Bupati-Wakil Bupati Sidoarjo.
”Makanya ini yang harus dipastikan karena kalau tidak bisa berpotensi pemilihan ulang,” jelas Agung Nugraha.
Kedua, ketidaknetralan aparat desa. Kasus itu terjadi pada saat Pilpres 2024. Kepala Desa Tarik, Kecamatan Tarik, terbukti bersikap tidak netral. Mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. Kasus ini berujung sampai ke penegakan hukum.
Ada pula sikap tidak netral 12 kepala desa di Kecamatan Buduran. Mereka mendeklarasikan diri sebagai pendukung capres-cawapres tertentu. Video tentang ketidaknetralan kepala Desa Tarik dan 12 kepala desa di Kecamatan Buduran itu beredar luas. Viral.
Ketiga, kemungkinan pemilih pemula yang tidak bisa mencoblos karena tidak dapat menunjukkan KTP atau identitas kependudukan lain. Mereka adalah remaja yang baru berusia 17 tahun saat mendekati maupun hari H pencoblosan. Dispendukcapil Sidoarjo yang hadir saat itu menyatakan siap membuka perekaman maupun pencetakan e-KTP hingga hari H pencoblosan.
Keempat, penyelenggara pemilu tidak netral. Itu terjadi saat Pileg 2024 lalu. Seorang anggota Panwascam Sukodono meminta uang kepada caleg Partai Nasdem. Modusnya, menakut-nakuti caleg dengan tuduhan kampanye di luar jadwal. Anggota Panwascam itu pun akhirnya dipecat oleh Bawaslu Sidoarjo.
Kelima, penyelenggara pemilu yang berpihak pada salah satu calon anggota DPRD Sidoarjo. Ketua PPK Kecamatan Sidoarjo dan seorang Ketua PPS Sekardangan diberhentikan. Keduanya terbukti pelesiran ramai-ramai bersama caleg ke Nganjuk.
”PR kita ini juga netralitas jajaran pengawas dan KPU. Jika ditotal, jumlah (penyelenggara pemilu) mencapai 50 ribuan. Setara Kecamatan Buduran,” ungkap Agung Nugraha.
Kesimpulan pemaparan kerawanan Pemilu 2024 disampaikan Ketua Bawaslu Sidoarjo Agung Nugraha didampingi Komisioner Bawaslu Sidoarjo Agisma Dyah Fastari. (Foto: Fathur Roziq/Ketik.co.id)
Keenam, perlengkapan pemungutan suara tidak sesuai ketentuan. Pada Pileg 2024 lalu, terjadi gudang penyimpananan surat suara bocor. Tinta juga bocor. Ada pula segel kotak yang rusak. Kondisi itu berakibat rusaknya peralatan pemilihan.
Ketujuh, surat suara tertukar. Peristiwa itu terjadi di Desa Trompoasri, Kecamatan Jabon. Surat suara calon anggota DPRD Provinsi Jatim dari Dapil Sidoarjo tertukar dengan Caleg anggota DPRD Provinsi Jatim dari Malang.
Kedelapan, pelanggaran saat pemungutan suara pemilu/pilkada. Bawaslu mendapatkan informasi adanya penyelenggara yang mengubah sistem aplikasi Sirekap. Setelah ditelurusi, ditemukan anggota PPK yang terbukti terlibat mengubah Sirekap. Mereka dinyatakan melanggar kode etik. Bawaslu Sidoarjo merekomendasikan agar mereka dijatuhi sanksi.
Kesembilan, terjadinya pemungutan suara ulang di Kecamatan Candi. Itu terjadi karena KPPS mengizinkan seorang pemilih yang ternyata warga negara Timor Leste. Bukan warga negara Indonesia, lebih-lebih warga desa di TPS tempat dia mencoblos. Akhirnya dilakukan pemungutan suara ulang.
Kesepuluh, penghitungan suara ulang.
”(Coblosan) partai dan nama caleg sama-sama dicentang sehingga jumlah suara menggelembung,” kata Agung Nugraha.
Itu terjadi di Kecamatan Tarik. Ada kekeliruan penulisan jumlah perolehan suara di form C-hasil. Kekeliruan itu berakibat selisih suara saat dimasukkan ke Sirekap. Hasilnya, harus dilakukan hitung ulang perolehan suara.
Kesebelas, terjadinya beberapa kekurangan yang berujung pada pemberian catatan oleh pengawas saat pemungutan suara di TPS. Misalnya, ada kekurangan logistik, ketidakhadiran saksi, kekurangan formulir, dan sebagainya. Petugas panwas memberikan catatan agar tidak terjadi kecurangan dalam pemungutan suara.
Kedua belas, saksi komplain saat pemungutan atau penghitungan suara. Itu terjadi karena beberapa orang masuk ke dalam TPS selain saat memilih. Di antaranya, KPPS, pengawas TPS, dan saksi. Saksi yang mendapatkan mandat mengajukan komplain.
Ketiga belas, hasil pemilu/pilkada didugat ke Mahkamah Konstitusi. Anggota DPR RI dari PAN H Sungkono menggugat perolehan hasil suara caleg PAN juga, Tom Liwafa, karena selisih suara dianggap tidak terlalu jauh. Bawaslu Sidoarjo maupun KPU Sidoarjo memberikan keterangan sebagai ahli.
Ketua Bawaslu Sidoarjo Agung Nugraha didampingi Komisioner Bawaslu Sidoarjo Agisma Dyah Fastari saat melakukan konferensi pers. (Foto: Fathur Roziq/Ketik.co.id)
Keempat belas, peserta pemilu melanggar lokasi kampanye. Para peserta pemilu memasang alat peraga kampanya di tempat-tempat terlarang. Misalnya, jalan tol. Selain itu, kampanye di balai desa yang melibatkan aparat desa seperti peristiwa di Desa Tarik, Kecamatan Tarik.
”Kalau bisa tidak ada rapat umum di Sidoarjo. Yang paling rumit saat pelaksanaan rapat umum ini adalah mitigasi (kendaraan) yang memakai pelat nopol merah,” ujarnya.
Kelima belas, peserta pemilu tidak melaporkan dana kampanye. Pelanggaran itu dilakukan oleh Partai Garda Republik Indonesi (Garuda). Akibatnya, Partai Garuda dibatalkan ikut sebagai peserta pemilu di Kabupaten Sidoarjo. (*)