58 Persen Orang Memilih AI sebagai Psikolog, Gubes Unair Beri Tanggapan

17 Mei 2025 16:42 17 Mei 2025 16:42

Thumbnail 58 Persen Orang Memilih AI sebagai Psikolog, Gubes Unair Beri Tanggapan
Guru Besar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Nurul Hartini SPsi. (Foto: Humas Unair)

KETIK, SURABAYA – Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan (AI) telah mengambil peran yang semakin besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang kesehatan mental.

Kini, semakin banyak orang yang memilih berbicara dengan AI dibandingkan dengan psikolog manusia. Tren ini memicu perdebatan besar di kalangan profesional kesehatan dan masyarakat luas.

Survei Snapcart pada 2025 menunjukkan bahwa 58 persen responden dari Indonesia memilih AI sebagai psikolog mereka. Selain kendala biaya yang mahal ke psikolog, AI juga dinilai dapat menjaga privasi.

Guru Besar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Nurul Hartini SPsi menyebut AI kerap dimanfaatkan untuk mencari istilah atau gejala dari suatu kesehatan mental.

Menurut Prof Nurul di titik itu AI masih dapat menjadi solusi yang tepat. Namun, pada dasarnya AI hanya sebuah mesin, sementara dalam hal penanganan oleh psikolog membutuhkan pendekatan secara emosional.

“Sangat mungkin kemudian jawaban-jawabannya (red: AI) itu tidak memahami benar situasi dan kondisi orang yang dihadapi,” ungkap Prof Nurul.

Prof Nurul menambahkan AI tidak memiliki sisi humanisme yang dibutuhkan seseorang ketika ingin menyelesaikan masalah mental. Oleh karena itu, tahap intervensi dalam kesehatan mental tetap harus dilakukan oleh manusia.

Tetapi, di sisi lain, ada banyak fenomena ketika seseorang tidak menyadari bahwa dirinya membutuhkan bantuan profesional. Prof Nurul dalam hal ini menyebutkan beberapa tanda seseorang perlu mendapatkan intervensi psikolog.

“Semakin terpenuhi lebih dari satu, maka harus segera ke psikolog,” ujarnya.

Pertama adalah saat seseorang mengalami distress. Ini ditandai ketika seseorang merasa tidak dapat berpikir jernih dan emosi tidak stabil.

Kedua, daripada melakukan penyelesaian yang produktif, seseorang justru melakukan sesuatu yang menyimpang.

Misalnya menyakiti diri sendiri, melukai orang lain, hingga menjauhi norma masyarakat. Di tahap ini seseorang harus menemui psikolog, alih-alih meminta bantuan AI.

Nurul menyadari bahwa peran AI tidak dapat terhindarkan.

Dalam tugas-tugas sebagai psikolog, ia menuturkan bahwa perlu adanya pemanfaatan yang bijak. Hal ini guna mentransfer manfaat AI dalam memaksimalkan pelayanan oleh psikolog kepada mereka yang membutuhkan.

“Profesional yang memang bidangnya kesehatan, baik itu kesehatan fisik, psikologis, sosial yang memang ada transfer knowledge, emosi, psikomotor, itu yang akan sangat sulit tergantikan oleh AI,” pungkasnya.(*)

Tombol Google News

Tags:

Universitas Airlangga Unair Guru Besar Unair AI Ai sebagai psikolog Nurul Hartini gubes Unair