Ahli Hukum Administrasi Negara di Sidang Sahat: Penyerapan Aspirasi Tidak Boleh di Luar Dapil

Jurnalis: Moch Khaesar
Editor: M. Rifat

8 Agustus 2023 13:12 8 Agt 2023 13:12

Thumbnail Ahli Hukum Administrasi Negara di Sidang Sahat: Penyerapan Aspirasi Tidak Boleh di Luar Dapil Watermark Ketik
Ahli Hukum Administrasi Negara Dr Waluyo menjadi saksi dalam sidang Sahat Tua P Simandjuntak di Pengadilan Tipikor, Selasa (8/8/2023). (Foto: M.Khaesar/Ketik.co.id)

KETIK, SURABAYA – Sahat Tua P Simandjuntak kembali menjalani sidang kasus tindak pidana korupsi dana hibah Pokok Pikiran (Pokir) di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (8/8/2023).

Dalam sidang itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) menghadirkan ahli Hukum Adminitrasi Negara, Dr Waluyo SH., M.Si.

Waluyo mengatakan peran DPRD menjadi salah satu penyerap aspirasi masyarakat dan mengaplikasikannya untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini karena DPRD merupakan salah penyelenggara negara selain kepala daerah.

"Melalui reses, nantinya DPRD ini langsung menampung semua aspirasi yang ada di masyarakat bisa berupa pembangunan maupun usulan," bebernya.

Sedangkan, Waluyo menyebutkan tidak boleh adanya anggota dewan yang memberikan aspirasi masyarakat di luar daerah pemilihannya. "Itu tidak boleh karena menyalahi karena memang harus mendengarkan aspirasi masyarakat di sekelilingnya," bebernya.

Dalam sidang itu, Sahat menanyakan kepada ahli fasilitasi Rencana Kerja Pemerintah Kerja Daerah (RKPD) bersifat mengikat. Dengan ujung dari semua implementasi RKPD tersebut berada dalam payung hukum yang sah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Jadi artinya semua dinamika itu, mulai dari musrembang, RAPD, RKA, pembahasan PPLS, pembahasan komisi, pembahasan banggar. Ujung akhir, asas legalitasnya keputusan Kemendagri. Jadi artinya, secara hukum administrasi. Kita pertanggungjawabkan kepada surat keputusan (SK) Kemendagri," ujar Sahat.

Sahat mulai menyampaikan pertanyaan pertama. Ia menanyakan, apakah mungkin SK Kemendagri tersebut dapat dianulir keabsahannya dengan pejabat setingkat di bawahnya.

"Saya bertanya pada ahli. Apakah mungkin sebuah keputusan kemendagri dianulir oleh pejabat satu tingkat di bawahnya," tanya Sahat.

Lantas, ahli hukum administrasi negara Universitas Surakarta, Waluyo menjawab, "tidak bisa."

Kemudian, pertanyaan kedua. Sahat menanyakan, berapa kali ahli dimintai keterangan atas kasus korupsi mmelibatkan anggota DPRD.

"Kedua, saudara ahli, selain menjadi ahli hukum administrasi negara. Kalau saya boleh tahu, dalam menghadapi kasus seperti ini, sudah pernah berapa kali DPRD menjadi ahli," lanjut Sahat.

Lantas, ahli hukum administrasi negara Universitas Surakarta, Waluyo menjawab, dirinya baru sekali ini dimintai keterangan untuk kasus mengenai dana hibah pokir. "Dalam kasus hibah pokir belum. Iya (baru kali ini)."

Terakhir, Sahat menanyakan, letak persamaan antara hibah dan pokir, sebagaimana kasus yang menjerat namanya.

"Pemahaman hibah dan pokir itu, berbeda atau sama? Saya menanyakan pada saudara ahli. Hibah dan pokir apakah berbeda," tanya Sahat.

Lantas Waluyo menjawab secara singkat, "berbeda."

Sementara itu, ahli hukum administrasi negara Universitas Surakarta, Waluyo menerangkan, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 32 Tahun 2009, telah diubah ke dalam Permendagri No 77 tahun 2020.

Semua pengaturan kebijakan berinduk pada Permendagri tersebut. Sehingga berdasarkan pakta integritas yang ada, itu semua telah diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub).

Artinya, segala tahapan penganggaran pelaksanaan, penatausahaaan, pertanggungjawaban, pelaporan dan pengawasan keuangan, diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah.

"Kalau itu dana hibah APBD kabupaten, berarti peraturan bupati. Kalau hibah APBD provinsi. Berarti peraturan gubernur. Itu silahkan dibaca di sana. Tentu saya tidak mungkin dibaca untuk masing-masing daerah," ujar Waluyo.

Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Greafik Loserte Tramanggal Kayudha mengatakan terdapat tiga poin penting yang berhasil disimpulkan dalam meninjau agenda sidang lanjutan pada hari ini.

Poin Pertama. Sebagai bagian dari pimpinan DPRD Jatim, terdakwa memiliki sejumlah kewajiban melekat pada dirinya. Kewajiban itu seharusnya dijalankan dalam kerangka mensejahterakan masyarakat.

Poin Kedua. Larangannya adalah ketika kewenangan itu disalahgunakan dan berimplikasi hukum. Namun, lanjut Greafik, ahli hukum administrasi negara yang dihadirkan tidak bisa menerangkan implikasinya seperti apa, pasalnya hal tersebut di luar kapasitas kompetensi keilmuan pihak yang bersangkutan.

"Poin 3.Terkait dengan pertanggungjawaban hukum penerima hibah. Ahli menerangkan secara jelas bahwa sepanjang itu telah dipertanggungjawabkan, maka selesailah pertanyaan terkait penerimaan dana hibah yang dipakai," ujar JPU kelahiran asal Madiun itu, selepas sidang. (*)

Tombol Google News

Tags:

Tipikor Sahat Tua P Ssimandjuntak Sahat Korupsi Dana Hibah Pokir Sahat Pokir DPRD Jatim