Damainya Ngopi dan Cangkrukan di “Jalur Gaza” Surabaya

7 Mei 2025 10:56 7 Mei 2025 10:56

Thumbnail Damainya Ngopi dan Cangkrukan di “Jalur Gaza” Surabaya
Stant penjual makanan di sentra kuliner jalur Gaza (Foto Ibnu Chaldun Suneth/Ketik.co.id)

KETIK, SURABAYA – Dunia beberapa tahun terakhir ini dikejutkan dengan konflik di negara timur tengah, melibatkan Palestina dan Isreal. Perang terjadi dan Jalur Gaza yang menjadi lokasi utama bom-bom berterbangan hingga memborbardir daerah tersebut.

Puluhan ribu nyawa warga sipil Palestina melayang. Ratusan ribu warga lainnya terluka, bahkan mengalami ketakutan sampai saat ini. Jalur Gaza di Palestina hingga kini masih menjadi wilayah konflik memprihatinkan.

Di tengah situasi tersebut, solidaritas global untuk Palestina terus mengalir, termasuk dari Indonesia. Aksi protes, penggalangan dana dan kampanye damai kerap dilakukan oleh masyarakat dan aktivis internasional.

Meski demikian, upaya perdamaian masih menemui jalan buntu akibat ketegangan politik yang belum terselesaikan. Doa terbaik dipanjatkan semua pihak dari berbagai belahan negara di dunia. Harapannya sama, perang dihentikan dan perdamaian diperjuangkan.

Begitu gambaran panasnya situasi Jalur Gaza yang masuk dalam wilayah Palestina. Berbeda dengan “Jalur Gaza” yang ada di Kota Surabaya.

Yang ini justru menawarkan cerita lain. Di sini, bukan dentuman bom yang terdengar, melainkan gemericik minyak goreng di wajan dan canda masyarakat yang sedang menikmati hidangan lezat atau sekadar cangkrukan sembari menyeruput pahitnya kopi.

Lokasinya di jalan lorong perbatasan dua kampus swasta Kota Pahlawan, yakni Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) dan Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), tepatnya di Jalan Semolowaru. “Jalur Gaza” Surabaya ini menjelma menjadi destinasi wisata kuliner legendaris.

Sebagai penanda, di gapura depan terpampang tulisan “Surabaya Food Street” Sentra Kuliner. Di gapura berbentuk setengah oval vertikal itu, juga terdapat logo Pemerintah Kota Surabaya, logo Untag serta logo Unitomo.

Foto Sentra kuliner Jalur Gaza di Surabaya (Foto dok Ibnu Chaldun Suneth/Ketik.co.id)Sentra kuliner Jalur Gaza di Surabaya (Foto Ibnu Chaldun Suneth/Ketik.co.id)

Sejarah tentang mencuatnya nama “Jalur Gaza” pun masih menjadi perbincangan hangat. Konon, lorong ini dulu kalanya merupakan jalanan sepi. Entah karena lokasinya di jalan perbatasan antarkampus, sekadar asal sebut atau memang menilik konflik Gaza di Palestina.

Tempat ini bukan hanya sekadar tempat makan, melainkan bukti nyata bahwa nama yang identik dengan konflik bisa berubah menjadi simbol kerukunan dan kebersamaan. Karena terletak di antara dua kampus, wajar saja mayoritas pelanggannya adalah mahasiswa.

Mau berkunjung ke sana? Caranya gampang, bahkan naik transportasi umum pun bisa. Masyarakat yang ingin ke sana dipastikan memiliki akses transportasi publik terjangkau dan efisien.

Jika start dari Terminal Purabaya Bungurasih di Sidoarjo, maka turunnya di Terminal Bratang Surabaya. Masyarakat dapat memanfaatkan layanan “Suroboyo Bus” dengan biaya hanya Rp5.000 per penumpang.

Perjalanan dari Terminal Bungurasih ke Terminal Bratang memakan waktu sekitar 19 menit saja.

Setelah sampai di Terminal Bratang, bisa melanjutkan perjalanan ke lokasi dengan jalan kaki yang memakan waktu sekitar 5 menit. Meski agak jauh, tapi jika jalannya ramai-ramai, dijamin tidak terasa sesampainya di tujuan.

Atau bagi yang tidak ingin jalan kaki, maka dari Terminal Bratang bisa memesan ojek daring, termasuk memanfaatkan alat transportasi publik lainnya.

Pun demikian jika start dari Stasiun Gubeng Surabaya. Bagi yang ingin ke “Jalur Gaza” bisa menggunakan transportasi ojek daring menuju Halte Gubeng Kertajaya.

Lalu dapat melanjutkan perjalanan dengan “Suroboyo Bus” menuju Terminal Bratang. Perjalanannya hanya membutuhkan waktu sekitar 12 menit dengan biaya sama, yakni Rp5.000.

Bagi yang membawa kendaraan roda dua, jangan khawatir. Lokasi parkir sepeda motornya langsung dimasukkan dan berada tepat di depan kios-kios berjajar.

Sesampainya di lokasi, siapa saja dapat menikmati berbagai pilihan kuliner yang memanjakan perut. Apalagi saat sedang lapar-laparnya.

Sentra kuliner “Jalur Gaza” bermula pada tahun 2003 melalui saat itu didirikan atas kebijakan pihak Pemerintah Kota Surabaya. Total jumlah stan pedagangnya sebanyak 50 kios.

"Saya jualan bersama istri sejak dipindahkan ke sini tahun 2003. Kami biasa buka dari jam 10.00 pagi sampai 22.00 WIB," ujar salah seorang pedagang “Jalur Gaza”, Arifin, ditemui ketik.co.id beberapa waktu lalu.

Jam operasional pedagang umumnya mengikuti jadwal kampus. Kadang mereka libur saat weekend, tanggal merah, atau mengikuti libur kampus. Pengecualiannya, hanya berlaku saat libur panjang atau semester.

Pedagang lainnya, Sriati, membenarkan bahwa ia dipindahkan ke “Jalur Gaza” oleh pemerintah pada tahun 2003. Sebelumnya, ia berjualan rokok di jalan raya.

"Warung saya paling ramai di siang hari, saat istirahat kampus. Kalau kampus libur seperti Sabtu, Minggu atau tanggal merah, ya saya juga libur," tutur wanita berusia 58 tahun tersebut.

Pelanggan warung-warung di “Jalur Gaza” tidak hanya berasal dari mahasiswa Untag ataupun Unitomo, tetapi juga dari mahasiswa kampus lainnya, termasuk masyarakat luar kampus.

Keberadaan 50 warung dengan berbagai spesialisasi kuliner menjadikan “Jalur Gaza” sebagai destinasi kuliner yang menarik.

Beberapa kios di antaranya “Warung Nasi Suramadu” yang menawarkan nasi pecel, rawon, soto, sayur bening, aneka penyetan hingga sayur asem.

Ada pula “Penyetan Rindu” dengan menu andalannya berupa aneka penyetan ayam, telur, lele, tahu, tempe dan usus.

Tidak ketinggalan “Warung Umi Ndut” yang terkenal dengan nasi campur, nasi pecel, sayur lodeh, sayur sop, nasi rawon dan sayur bayam.

Selain warung nasi, di “Jalur Gaza” juga terdapat banyak warkop (warung kopi) seperti “Warkop Cak Sams”, “Warkop Gajah Empat Lima”, “Warkop Jago” dan “Warkop Suramadu”. Para pecinta mie dan bakso juga bisa menikmati hidangan di “Mie Ayam Pak Di” dan “Bakso Pak Di”.

Meski kios yang ditempati lebarnya hanya sekitar 2 meter, namun keragaman cita rasa di sana Surabaya tak pernah mengecewakan.

Tempat ini bukan sekadar pusat kuliner murah, melainkan juga bukti bahwa dari nama yang pahit, bisa lahir kisah manis penuh kedamaian.

Bagaimana, tertarik menyantap makanan lokal atau sekadar nyangkruk sambil ngopi di “Jalur Gaza” ala Surabaya? (*)

Penulis : Ibnu Chaldun Suneth, Albertus Pedro Junior, Kristoforus Andra Rahmat

Tombol Google News

Tags:

Jalur Gaza Surabaya Wisata Kuliner Kuliner Surabaya Jalur Gaza kampus untag kampus unitomo