Dirjen HAM Soroti Peningkatan Kasus Anak Berkonflik dengan Hukum

Jurnalis: Wisnu Akbar Prabowo
Editor: Mustopa

15 September 2024 15:17 15 Sep 2024 15:17

Thumbnail Dirjen HAM Soroti Peningkatan Kasus Anak Berkonflik dengan Hukum Watermark Ketik
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Dhahana Putra menyoroti adanya tren peningkatan anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). (Foto: Dirjen HAM for Ketik.co.id)

KETIK, JAKARTA – Direktur Jenderal HAM, Dhahana Putra menyoroti adanya tren peningkatan anak berhadapan dengan hukum atau ABH belakangan ini.

Menurutnya, kondisi semacam ini membuat adanya desakan publik terhadap pemerintah agar segera melakukan langkah yang lebih efektif untuk mencegah terjadinya ABH.

Dhahana menjelaskan, secara konstitusional hak-hak anak telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

“Harus diakui, meningkatnya kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak belakangan, menimbulkan pertanyaan bagaimana agar pendekatan restorative justice kepada ABH ini dapat berjalan dengan efektif” kata Dhahana, Minggu 15 September 2024.

Ia menambahkan, sejatinya di Indonesia, restorative justice secara formil baru telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Undang-Undang tersebut adalah tonggak peradilan pidana Indonesia berparadigma restorative justice. 

Pada Pasal 5 ayat (1) UU SPPA telah menyatakan Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan Rlrestoratif. 

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, pemerintah memperkenalkan konsep diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Lalu, dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi dengan ketentuan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Dhahana memandang adanya keperluan untuk melakukan penyesuaian terkait UU SPPA, karena diversi dalam UU SPPA tidak berlaku untuk kasus dengan ancaman pidana di atas 7 (tujuh) tahun.

Sebab, adanya tren peningkatan kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual oleh anak membuat aturan tersebut harus diperbarui.

“Penyesuaian ini harus memperjelas kapan rehabilitasi dapat diberikan dan kapan proses hukum formal lebih sesuai. Dengan juga mempertimbangkan keadilan bagi korban, dan di sisi lain tentu tanpa mengabaikan hak anak,” jelas Dhahana. 

Selain itu, Dhahana memandang perlu adanya pengaturan restorative justice dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Penerapan restorative justice di Indonesia baru diatur dalam berbagai peraturan yaitu Peraturan Kepolisian, Peraturan Kejaksaan, dan Peraturan Mahkamah Agung.

"Dengan penyesuaian ini, diharapkan anak yang terlibat dalam kejahatan dapat mendapatkan kesempatan rehabilitasi yang efektif, sementara hak-hak korban juga tetap terjaga,” pungkasnya.(*)

Tombol Google News

Tags:

Dirjen HAM peningkatan kasus kekerasan anak HUKUM Konflik undang-undang