Efek Beringas Judol dan Disintegrasi Sosial

Editor: Mustopa

13 Januari 2025 09:03 13 Jan 2025 09:03

Thumbnail Efek Beringas Judol dan Disintegrasi Sosial Watermark Ketik
Oleh: Ali Mursyid Azisi*

Ledakan kasus judi online (online gambling) yang tidak terkendali menjadi masalah serius di tengah masifnya transformasi digital. Fenomena yang akrab dikenal judol ini hadir dengan berbagai motif dan jaminan keuntungan yang akan didapatkan penggunanya.

Judi online identik dengan permainan ekonomi atau tempat untuk menukar keberuntungan finansial lebih besar yang memiliki dampak berbahaya. 

Maraknya fenomena ini dalam The Impact of Online Gambling Among Indonesian Teens and Technology yang ditulis oleh Budiman, dkk (2022) diperparah oleh hadirnya pandemi Covid-19 yang beriringan dengan masifnya aktivitas digital, hingga mendorong online gambling semakin mewabah di Indonesia.  

Secara makna, judi online merupakan permainan menggunakan barang berharga atau uang sebagai bahan taruhan dan telah ditentukan melalui platform elektronik. 

Young dan Abreu (2011) berpendapat bahwa judi online merupakan permainan taruhan secara eksklusif, menawarkan hadiah menggairahkan dan membuat kecanduan. 

Lalu James Banks (2014) dalam tulisannya Online Gambling, Advantage Play, Reflexivity and Virtual Ethnography, menyatakan judi online merupakan permainan taruhan di internet dengan penawaran menggiurkan untuk mendapat kemenangan yang tidak pasti.

Eskalasi Judi Online di Indonesia

Efek kelabu judi online telah memakan banyak korban, menuai konflik sosial dan merampas aset yang fantastis.

Data yang terhimpun dalam Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tertera bahwa pada 2022 transaksi judol di Indonesia meroket menyentuh persentase lebih dari 213 persen dengan 121 juta transaksi dan nilainya tembus hingga Rp155 triliun (PPATK, 2022). 

Tahun selanjutnya 2023, transaksi judol terus melonjak hingga mencapai 327 triliun. Jika diakumulasi dalam lima tahun terakhir 2020-2024, penetrasi transaksi judi online warga Indonesia melambung hingga 8.136,77% (Cnbcindonesia.com, 2024). 

Rincian kasus kriminal judi berbasis internet ini pada tahun 2024 terus bertambah. Laporan Polri sejak 4 November hingga 11 Desember 2024 melalui Desk Pemberantasan Judi Online telah mengungkap perkara ini sebanyak 789 kasus (Tempo.co, 2024). Kemudian laporan sepanjang 2020-2024 Polri berhasil menangkap 9.096 tersangka kasus judi online di seluruh Indonesia. 

Laporan terbaru Polri melalui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) merangkum sejak 15 Juni hingga 1 November 2024, sebanyak 300 kasus judi online berhasil diringkus dengan menangkap 370 tersangka.

Terdapat beberapa barang bukti diamankan seperti 572 laptop, 357 ponsel, 278 rekening, 34 akun judol daring, hingga total saldo rekening yang diblokir sebesar Rp 78,19 M (Kompas.com, 2024). 

Bahkan yang lebih miris pada Oktober 2024 sebanyak 197.054 anak di bawah umur terlibat kasus kecanduan judol di Indonesia (PPATK, 2024). Mike Robinson selaku Lektor Kepala Psikologi di Wesleyan University, Connecticut, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa perangkap judi online telah di-setting oleh pengelola situs agar bandarnya selalu menang dan sebaliknya. 

Judol Sejatinya Manipulasi 

Sejatinya, judi online merupakan bentuk manipulasi (manipulation) dan tergolong transnational crime sebab terkoneksi dengan bandar di berbagai negara tetangga. Dalam kajian sosiologi masyarakat salah satu teori yang menonjol mengenai manipulasi ini diusung oleh Steven A. McCornack (1992) dalam bukunya Information Manipulation Theory. 

Menurutnya, manipulasi ampuh untuk menipu individu dan masyarakat. Secara spesifik, ia mendefinisikannya sebagai kebohongan yang diproduksi untuk penipuan secara terselubung dan melanggar prinsip bermedia sosial karena merugikan pihak lain, termasuk judi online.

Manipulasi dalam hal judi online jika dilakukan secara terorganisir dan berulang-ulang akan membentuk kebiasaan baru dan terakumulasi menjadi budaya. Hal ini selaras dengan pendapat Joseph Goebbels bahwa, “mengulang manipulasi dengan cukup sering akan menjadikannya sebagai kebenaran”. 

Kebiasaan buruk memanipulasi (judol) secara kontinu yang tidak terkendali dalam kajian kemasyarakatan dikenal sebagai patologi sosial. 

Efek Beringas Penyebab Disintegrasi Sosial 

Sebuah temuan menarik tentang efek beringas kecanduan judi online diungkapkan oleh E. Papineau, dkk. (2018), dalam risetnya Assessing the Differential Impacts of Online, Mixed, and Offline Gambling. 

Mereka menyimpulkan bahwa para pecandu judol akan mengidap masalah psikososial lebih besar seperti terganggunya pekerjaan, kualitas hidup, menurunnya kesehatan mental, hingga keuangan yang tidak stabil. 

 

Kemudian T. Effertz (2018), mengungkapkan online gambling merupakan patologi yang sangat mengganggu kesehatan ekonomi dan mental penggunanya. Pelaku mengalami gangguan mental dan perilaku pada kontrol pikiran (cognitive control) serta kesulitan mengambil keputusan (decision making). Efek berbahaya lainnya adalah menyebabkan stress karena dominan kalah dalam perjudian. 

 

Lalu Akbar, dkk. (2024) menyatakan dalam Policy Brief: Tackling the Social, Economic, and Legal Impacts of Online Gambling in Indonesia bahwa, kecanduan judi online menyebabkan kesenjangan kritis disintegrasi keluarga, penumpukan hutang dan ketidakstabilan ekonomi. 

 

Terbukti pada Oktober 2024 Menkominfo merilis data penyebab perceraian akibat judi online di Indonesia sebanyak 1.572 kasus. Kemudian Menag pada November lalu menyatakan bahwa perceraian karena judol meningkat sekitar 4.000 lebih kasus dalam kurun waktu satu tahun. 

 

Selanjutnya A. Igomu, dkk. (2024) dalam tulisan ilmiahnya Online Gambling: A Tantalizing Game with Risks that Drain Fortunes and Futures, menyebut dampak mengerikan online gambling berisiko besar menguras harta dan masa depan. Secara realita bahwa menggantungkan kemenangan dalam judol tidaklah pasti. 

Efek selanjutnya adalah menjadi penyulut kejahatan sosial seperti mencuri. Ini tidak lain karena kecanduan untuk terus mencari sumber uang untuk dipertaruhkan kembali. Jika pun tidak mencuri, secara empirik untuk mendapatkan tambahan dana judi yaitu dengan melakukan pinjaman online (pinjol) yang hakikatnya akan menambah penumpukan hutang. 

Data yang dirilis oleh Center for Financial and Digital Literacy bahwa, sejak 2020 hingga 2024 kasus bunuh diri karena judol dan pinjol mencapai 61 orang. 

Darurat Judol yang Perlu Diatasi

Manipulasi dan percaturan judi online di tengah arus transformasi digital merupakan masalah darurat yang kian membahayakan banyak pihak. Hal ini dibuktikan dengan adanya unsur ancaman disintegrasi sosial di era modern.

Problem yang tampak nyata adalah masyarakat berada di bawah bayang-bayang jeruji kejahatan dan manipulasi digital. Akibatnya, struktur sosial mengalami gonjang-ganjing karena jauh dari keseimbangan hidup. 

Meski transformasi digital mengandung unsur positif pula, kenyataannya adalah mayoritas masyarakat dunia tidak siap menghadapi ekses negatif yang ditimbulkannya termasuk dalam hal mempersiapkan infrastruktur dan suprastruktur yang memadai.

Di Indonesia infrastruktur berupa upaya masif institusi negara menangani judol memang sudah dilakukan. Namun, alat ini tidak cukup untuk menghalau banalitas komunal yang muncul karena masifnya arus lalu lintas informasi di negeri ini. 

Adapun secara suprastruktur, gagasan yang responsif dan representatif dari kalangan akademisi atau ulama belum cukup menghalau arus judi online yang menyucur deras ini. 

Oleh karenanya, jalan terbaik untuk menanggulangi persoalan ini adalah dengan mengambil langkah-langkah strategis seperti edukatif, preventif, kolaboratif sekaligus aplikatif melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam memberantas patologi ini. 

*) Ali Mursyid Azisi merupakan anggota PW LTN NU Jatim 2024-2029 dan Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation.

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Ali Mursyid Azisi judol judi online