KETIK, PAGAR ALAM – Indonesia merupakan penghasil kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Memasuki kuartal II tahun 2024, industri kopi tanah air tumbuh membaik.
Kopi yang tadinya dihargai miring, kini melejit setinggi langit. Menyambut panen raya tahun ini, harga biji kopi robusta Pagaralam melambung dari Rp35 ribu menjadi Rp60 ribu, bahkan ada yang tembus Rp70 ribu per kilogram.
Walau di bulan Agustus ini sempat mengalami penurunan ke angka Rp60 ribu per kilogram, harga jual tersebut masih sangat menggiurkan bagi para petani kopi, khususnya di wilayah Desa Tebat Benawa, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam.
Kenaikan harga tersebut menjadi euforia tersendiri bagi para petani kopi tradisional. Zahrun (59), petani kopi asal Desa Tebat Benawa, menjadi salah satu petani kopi yang merasakan nikmatnya kenaikan harga kopi.
“Akhirnya kami bisa menabung. Dulu waktu harga kopi masih normal, boro-boro mau nabung, mau beli kebutuhan sehari-hari saja masih perlu mikir-mikir,” ungkap Zahrun, Kamis, 22 Agustus 2024.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, tanaman kopi harus sering dirawat agar menghasilkan buah dalam jumlah maksimal. Salah satunya dengan pemberian pupuk sebanyak dua kali dalam setahun, yakni pada awal dan akhir musim hujan.
Dengan luas lahan yang ia miliki, Zahrun mengaku bisa merogoh kocek sampai puluhan juta agar bisa memanen sampai 2 ton biji kopi kering dalam satu kali masa panen.
Jika dikalkukasikan dengan harga normal di kisaran Rp35 ribu per kilogram, Zahrun hanya bisa mendapatkan penghasilan kotor sebesar Rp70 juta per tahun yang dipakai untuk kebutuhan keluarganya.
Jumlah tersebut terbilang kecil mengingat harga kebutuhan pokok yang melonjak beberapa tahun belakang ini, serta jarak desa yang jauh dari wilayah perkotaan membutuhkan biaya transportasi tersendiri yang tidak murah.
“Sekarang banyak warga kami yang sejahtera. Ada yang langsung renovasi rumah karena mereka sebelumnya belum punya modal yang cukup,” kata Zahrun sembari menjaga biji-biji kopi yang dia jemur.
Zahrun menceritakan, keadaan ini berbanding terbalik dengan kondisi pada tahun 2019 lalu. Saat itu, biji kopi robusta kering masih dihargai belasan ribu per kilogram.
“Pas 2019 lalu, kopi tidak ada harganya, cuma belasan ribu. Itu buat makan saja masih sulit. Sekarang alhamdulillah kerja keras kami menanam kopi terbayar. Kita bisa menikmati hasil panennya,” tutur dia.
Zahrun (59), warga Desa Tebat Benawa tengah menunggu jemuran kopi di halaman rumah. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)
Kebahagiaan juga dirasakan oleh Candra, warga Desa Tebat Benawa. Panen raya tahun ini menjadi momen keluarganya untuk berkumpul dan menikmati hasil kopi asli daerah tersebut.
Beberapa anggota keluarga Candra merupakan perantau. Mereka menyempatkan untuk singgah sementara di kediaman Candra setelah mendengar kabar kalau panen raya tahun ini tidak seperti biasanya.
Candra menuturkan, keluarganya mudik kurang lenih sampai satu bulan lamanya. Hal ini menjadi kesempatan bagi Candra untuk melepas kangen dengan anggota keluarga yang sudah lama tak pulang.
“Mereka pada mudik setelah tahu kalau harga kopi naik tinggi,” ungkap Candra.
Kini, harga kopi di desa tersebut relatif stabil dan tidak mengalami banyak perubahan. Untuk biji kopi kering berjenis robusta dengan kualitas terbaik dihargai Rp63 ribu per kilogram. Sedangkan untuk biji kopi kualitas standar berada di kisaran harga Rp60 ribu per kilogram.
Kopi-kopi yang dihasilkan dari kebun warga Desa Tebat Benawa sebagian besar dikirim ke luar kota untuk diproduksi menjadi kopi bubuk. Sisanya, warga kerap menyisihkan sedikit untuk mereka nikmati bersama keluarganya.(*)