Jangan Gampang Bilang Carok

Editor: Mustopa

30 Januari 2025 10:11 30 Jan 2025 10:11

Thumbnail Jangan Gampang Bilang Carok Watermark Ketik
Oleh: Dwi Budayana Eka D*

Bahwa carok identik dengan Madura, itu betul adanya. Bahwa carok itu memiliki definisi semua peristiwa perkelahian dan atau pembunuhan menggunakan senjata tajam, terutama celurit, yang berujung pada jatuhnya korban meninggal, ini yang perlu dikoreksi.

Termasuk bahwa pelakunya pasti Suku Madura dan tempat kejadiannya di Pulau Madura, ini juga yang perlu diluruskan.

Mengoreksi dan meluruskan ini penting, yang pertama supaya Madura tidak semakin terpuruk dengan berbagai stigma buruk. Apalagi, netizen sudah memberi label Meksiko kepada Madura, sebagai simbol daerah barbar dan tidak adanya aturan yang dipatuhi dalam segala aspek kehidupan.

Yang kedua, supaya asumsi masyarakat, terutama di luar Madura, tidak semakin liar dalam menerjemahkan carok. Apalagi, beberapa tahun terakhir, masyarakat semakin akrab dengan sajian yang di dan ter-framing seolah-olah setiap kejadian itu adalah carok.

Jika carok hanya diartikan sebagai pembunuhan menggunakan senjata tajam, di luar Madura juga ada. Lebih tragis malah. Jika carok diartikan sebagai perkelahian menggunakan senjata tajam berupa celurit, di luar Madura juga banyak.

Bahkan seperti yang sering muncul di televisi, celurit seakan menjadi senjata yang wajib dibawa saat tawuran pelajar, antar kampung/desa, genk motor dan sebagainya.

Memang, ada kebiasaan di Madura sendiri yang membuat makna carok sedikit melenceng. Istilah carok, terkadang secara spontan dan iseng, dipakai untuk sesuatu yang bukan peruntukannya.

Misal, di salah satu daerah di Madura, dua ayam jantan yang sedang bertarung lazim disebut sebagai ayam yang sedang carok. Ada pula di tempat lain, anak-anak kecil bertengkar juga biasa disebut sebagai carok.

Lantas apa dan bagaimana carok itu? Budayawan Madura dari Bangkalan, Hidrocin Sabarudin dalam tayangan Fakta TVONE tanggal 22 Januari 2024 menjelaskan, kata carok berasal dari Bahasa Kawi, caruk. Artinya perkelahian.

Diadopsi ke dalam Bahasa Madura menjadi carok, yang makna dasarnya kurang lebih sama. Hanya, latar belakang, proses dan konsekuensinya berkembang seiring dengan pengaruh perilaku sosial masyarakat Madura.

Hidrocin Sabarudin menambahkan, saat ini carok sudah tidak ada. Carok dalam definisi sebenarnya terjadi pada kisaran abad 16 hingga 18. Namun, penulis mempunyai catatan yang sedikit berbeda.

Penulis, yang lahir dan besar di sebuah desa pelosok di wilayah Kabupaten Pamekasan, masih sempat merasakan atmosfer carok pada pertengahan hingga menjelang akhir abad 19. Setelahnya, terutama memasuki abad milenium, carok sudah tidak terdengar lagi.

Carok tidak disebabkan oleh hal-hal ringan dan receh. Justru, carok disebabkan oleh masalah yang berat, pelik, rumit dan berhubungan dengan harga diri, misalnya terkait agama/keyakinan, pelecehan terhadap istri dan orang tua, perampasan harta benda/lahan/tanah dan dituduh atau dipermalukan di depan umum.

Ketika pemantik api telah menyala akibat hal-hal tersebut, maka kemungkinan terjadinya carok telah terbuka. Tetapi di sisi lain, selalu ada usaha untuk menggagalkannya, baik oleh yang terlibat langsung, keluarga maupun orang-orang dekat, yang akan dilakukan dengan maksimal, apapun dan bagaimanapun caranya. Kasarannya, sebisa mungkin jangan sampai terjadi carok.

Usaha tersebut terbagi dalam beberapa tahap. Yang pertama, konfirmasi atau tabayyun. Pihak yang tidak bersalah/yang dirugikan berinisiatif mendatangi dan bertanya kepada yang dianggap bersalah/merugikan.

Dia meminta penjelasan terkait maksud dan tujuannya. Lalu dimohon untuk tidak mengulangi lagi. Ketika pihak yang bersalah menyadari, menerima kesalahannya dan dilanjutkan dengan permohonan maaf, maka masalah selesai.

Keduanya melupakan apa yang telah terjadi. Hubungan kembali normal seperti sedia kala.

Jika pada tahap ini tidak ada titik temu, maka masih diusahakan pada tahap berikutnya yaitu mediasi. Pada tahap ini, diperlukan kehadiran dan campur tangan pihak ketiga.

Bisa tokoh agama, aparat pemerintahan (Kades/Klébun, perangkat desa/Pamong/Apél), tokoh masyarakat, tokoh yang dituakan atau siapa saja yang ucapannya didengar oleh masyarakat, terutama oleh pihak yang sedang bertikai.

Target utamanya adalah mencari jalan keluar terbaik, yang bisa diterima oleh kedua pihak. Tahap ini tidak cukup satu kali. Bisa dua, tiga bahkan berkali-kali. Intinya, selalu berusaha mencari penyelesaian secara damai dan positif. Biasanya, permasalahan selesai di tahap mediasi ini.

Namun jika tetap tidak ada penyelesaian, maka kelanjutannya murni bergantung kepada dua orang yang sedang bertikai. Sudah tidak ada yang bisa dilakukan oleh pihak lain, termasuk keluarga, selain berdoa dan mengikhlaskan apapun yang akan terjadi.

Tahap persiapan. Kedua belah pihak, melalui utusannya, melakukan kesepakatan terkait waktu, tempat, konsekuensi bagi yang kalah dan yang menang, misal tidak boleh ada balas dendam dan sebagainya.

Tahap pelaksanaan. Setelah disepakati, maka bertemulah kedua orang yang akan melakukan carok. Masing-masing dengan menggenggam senjata tajam, yang sebenarnya tidak harus berupa celurit. Bisa pisau, golok, keris, tombak atau apa saja, tergantung senjata apa yang paling cocok dan nyaman bagi pelaku.

Lokasi kejadian juga bukan di keramaian, melainkan di tempat sepi yang sulit diketahui orang banyak. Hanya berdua, tanpa penonton. Saat di arena pun, tidak ada aturan beladiri yang mengikat. Tanpa rule of the game, tanpa wasit, tanpa aba-aba. Bebas.

Tujuannya hanya satu, membunuh lawan secepatnya. Tahap ini berakhir apabila sudah ada salah satu orang yang tewas.

Tahap penutup. Tahap ini menurut Hidrocin Sabarudin ditandai dengan, pemenang carok mengambil senjata lawan yang telah tewas dan diantar ke tempat keluarganya sambil berujar, “Saya sudah menyelesaikan masalah dengan keluarga anda. Saya memohon maaf sebesar-besarnya. Sekarang jasadnya ada di sana”.

Selanjutnya, sambil membawa senjata tajam milik sendiri yang masih berlumur darah, dia menuju kantor polisi terdekat untuk menyerahkan diri. Tidak melarikan diri.

Demikian penjelasan tentang definisi dan makna carok yang (Insyaaalah) sebenarnya. Ambil filosofi positifnya, terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Buang dan tinggalkan sisi negatifnya, jangan pernah diulang kembali. Semoga stigma buruk tentang carok khususnya dan Madura umumnya, sedikit demi sedikit akan terkikis.

Terakhir, mulai sekarang tolong jangan gampang bilang carok.

*) Dwi Budayana Eka D merupakan Arsitek & Pemerhati Budaya Tradisional Madura

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

budaya Madura