KETIK, MALANG – Peringatan 1 Muharam oleh warga di sekitar komplek Pemakaman Ki Ageng Gribig,Kota Malang ditandai dengan terselenggaranya Mbabar Mbubur Suro. Hampir 20kg beras diolah menjadi bubur putih untuk diarak dan dibagikan kepada warga.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Gribig Religi (KGR), Devi Nur Hadianto menjelaskan kegiatan tersebut diawali pada tahun 2020 lalu.
"Mbabar Mbubur Suro ini kita awali di era tahun 2020 dengan harapan jejak kami sebagai objek wisata religi tetap eksis dan berkelanjutan sampai sekarang. Motivasi yang utama adalah bagaimana pengunjung, peziarah yang cukup banyak di bulan suro bisa datang mencicipi bubur suro bikinan warga," jelas Devi saat ditemui di komplek makam pada Rabu (19/7/2023).
Bubur suro yang dibikin tahun ini pun terdapat peningkatan. Pada tahun sebelumnya, pihaknya memasak hingga 200 takir. Sedangkan tahun ini terdapat sekitar 20 kg beras yang diprediksi mampu menjadi 300 takir.
"Sekarang jumlah beras yang dimasak ada peningkatan, belum tahu jadinya berapa tapi bisa jadi 300. Nanti kita sebarkan ke semua masyarakat yang hadir, ada peziarah, yang nyekar, dan semuanya," lanjutnya.
Rupanya bubur suro tersebut tersirat filosofi yang mendalam. Tutur Devi, bubur suro memiliki watak putih dan menandakan sebuah permulaan.
"Bagi kami jenang suro dengan watak putihnya menandakan bahwa ini awal tahun, awal doa. Kita orang Jawa hendaknya selalu berbaik sangka. Dengan harapan dalam satu tahun ke depan apa yang kami harapkan, apa yang kita minta kepada tuhan adalah hal baik. Termasuk kepada semua yang ada di lingkungan masyarakat," tuturnya.
Begitu pula dengan penataan bubur, di mana bubur suro biasa memiliki toping yang bersimbolkan penghidupan. Mulai dari telur, lauk-pauk seperi ikan ataupun ayam. Hal tersebut telah menjadi tradisi yang diwariskan oleh para tetua masyarakat, yang berpesan supaya tidak menghilangkan kebiasaan tersebut.
"Bedanya dengan bubur lain, saya kira masing-masing bulan kalau orang Jawa itu punya khas. Bubur suro dengan khas warna putih, dan topingnya adalah awal penghidupan. Seperti telur, biasanya ayam atau ikan, sekaligus beberapa unsur lain. Bawahannya selalu ada daun. Ini tetua kita bilang jangan sampai diubah. Sebab ada harapan, ada penghidupan, ada doa, ada keinginan yang mungkin bisa terkabul di tahun-tahun yang akan datang," ujar Devi.
Proses pembuatan bubur tersebut berlangsung di dalam komplek Makam Ki Ageng Gribig. Sejak pagi hari, beberapa ibu-ibu telah mengolah bubur suro dengan tungku api. Hingga pada siang harinya, beberapa warga dan anak-anak melakukan kirab tumpeng yang berisikan bubur suro keliling kawasan tersebut.
Ki Ageng Gribig merupakan sosok ulama yang diyakini hidup di masa Kerajaan Mataram Islam. Ia dianggap sebagai penyebar Islam di kota Malang dan sekitarnya. (*)