KETIK, BLITAR – Polemik status tanah aset pemerintah di Desa Tulungrejo, Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar, kembali mencuat dalam hearing Komisi 3 DPRD Kabupaten Blitar, Selasa 14 Januari 2025. Tanah seluas 52 hektare yang tercatat sebagai aset pemerintah daerah sejak 2005 ini dipermasalahkan masyarakat setempat yang menginginkan redistribusi lahan.
Kepala BPKAD Kabupaten Blitar, Kurdiyanto, SE, MM, menjelaskan bahwa tanah tersebut telah bersertifikat hak pakai dan tercatat sebagai aset pemerintah daerah.
“Kita tahunya kan sudah bersertifikat hak pakai, jadi kami di BPKAD sebagai penata usaha, dan itu menjadi objek seperti di Maliran dan Tulungrejo. Terkait tukar guling nanti wajib terproses. Kami di BPKAD hanya sebagai pengamanan penatausahaan, kita catat di aset karena sudah ada dasar hukumnya,” ujarnya.
Kurdiyanto menambahkan bahwa tanah di Tulungrejo tersebut sudah menjadi aset pemerintah dengan sertifikat hak pakai yang diterbitkan sejak tahun 2005.
“Di Tulungrejo itu sudah jadi aset pemerintah dan ada sertifikatnya hak pakai sejak tahun 2005. Keinginan masyarakat itu ingin di-redistribusikan tanahnya. Kalau sudah menjadi barang milik daerah atau milik negara, kita juga punya regulasinya terkait hal itu,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan bahwa tanah tersebut adalah bagian dari total aset pemerintah daerah seluas 112 hektare yang tersebar di Kabupaten Blitar.
Di sisi lain, Yusuf, perwakilan dari Panca Gatra yang mendampingi Pokmas Maju Sejahtera, mengungkapkan keberatan masyarakat terkait status tanah tersebut.
“Yang kita bahas pada hearing bersama Komisi 3 DPRD Kabupaten Blitar kali ini adalah terkait tanah aset yang ada di Tulungrejo, Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar, seluas 52 hektare,” ujar Yusuf.
Yusuf menjelaskan bahwa tanah tersebut awalnya merupakan bagian dari redistribusi perkebunan Sekargadung pada tahun 2001. Namun, pada tahun 2005, muncul Sertifikat Hak Pakai (SHP) nomor 01, yang menjadi dasar klaim pemerintah sebagai pemilik.
“Munculnya SHP tersebut kami pertanyakan, pelekatan hak itu menurut kami munculnya secara tiba-tiba. Sejarahnya dijelaskan oleh dinas terkait tadi, masih on proses tukar guling,” katanya.
Lebih lanjut, Yusuf menyoroti bahwa tukar guling yang dibahas sejak tahun 2011 hingga kini belum terealisasi. Atas dasar itu, pihaknya mendampingi masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka.
“Dasar kami memohon adalah di Perpres tahun 2023 nomor 62. Atas dasar itulah kami mendampingi Pokmas Maju Sejahtera merealisasikan dan memohon kepada dewan sebagai wakil rakyat agar bisa meloloskan permintaan Pokmas Maju Sejahtera ini bersinergi dengan pemerintah daerah,” jelas Yusuf.
Menurut Yusuf, tanah tersebut semestinya menjadi bagian dari redistribusi kepada masyarakat pada tahun 2001, bukan dijadikan aset pemerintah daerah.
“Usulnya agar tanah itu dikembalikan kepada rakyat, dengan teknis redis seperti tahun 2001. Tanah seluas 52 hektare itu semestinya diikutkan redis tahun 2001 oleh pemerintah kepada rakyat, bukan hak pemerintah untuk menguasai dan dijadikan aset daerah,” tegasnya.
Yusuf juga menyebutkan bahwa tanah tersebut telah dikelola oleh masyarakat sejak tahun 1989. Saat ini, ada 169 orang yang mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut sebagai calon penerima manfaat redistribusi.
“Mulai dari tahun 1989 hingga sekarang tanah tersebut telah dikelola oleh masyarakat. Sebagai pemohon atau calon penerima manfaat, ada sekitar 169 orang yang sampai hari ini mereka mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut,” tambahnya.
Hearing ini diharapkan menjadi langkah awal untuk menyelesaikan polemik yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Masyarakat berharap pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Blitar dapat memberikan solusi yang adil terkait redistribusi tanah ini.
Sementara itu, Ketua Komisi III Sugianto, S.Sos memberikan dukungan penuh terhadap gugus tugas reforma agraria. Dukungan penuh diberikan DPRD agar permasalahan terkait proses bekas tanah perkebunan yang akan redis cepat selesai. (*)