Mau Bernapas Susah, Begini Derita Warga Palembang yang Terdampak Asap Karhutla

Jurnalis: Wisnu Akbar Prabowo
Editor: Millah Irodah

14 Desember 2024 06:45 14 Des 2024 06:45

Thumbnail Mau Bernapas Susah, Begini Derita Warga Palembang yang Terdampak Asap Karhutla Watermark Ketik
Salah seorang petugas Manggala Agni berpose di atas lahan gambut yang sudah hangus terbakar di kawasan Ogan Ilir, Sumatera Selatan beberapa waktu yang lalu. Hingga akhir tahun 2024, tercatat sekitar 41.012 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang mayoritas disebabkan oleh kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)

KETIK, PALEMBANG – Bangun pagi dengan menyeruput kopi dan menghirup aromanya yang sedap adalah gambaran rutinitas masyarakat Sumatera Selatan (Sumsel) sebelum memulai aktivitas sehari-harinya.

Mereka menyaksikan kesibukan dunia melalui layar ponselnya sembari menghirup udara pagi yang masih segar, khususnya ketika musim penghujan datang.

Namun, suasana berubah ketika musim kemarau tiba. Ketika musim kemarau, baru bangun pagi saja sudah disambut kabut pekat yang menghalangi pandangan mata. Kabut itu bukan embun pagi, melainkan asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Bencana karhutla memang sudah menjadi ‘tradisi tahunan’ di Sumsel. Selain membuat cuaca terik menjadi semakin menggigit, karhutla juga menyebabkan kabut asap yang tak baik untuk kesehatan masyarakat.

Tak ayal, banyak masyarakat Sumsel yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Hingga akhir tahun 2024, tercatat sekitar 41.012 kasus ISPA yang mayoritas disebabkan oleh kabut asap akibat karhutla.

Angka ini mencerminkan dampak serius dari buruknya kualitas udara yang kerap melanda wilayah Sumsel selama musim kemarau​. Sesak napas, batuk kering, dan nyeri dada umumnya dirasakan masyarakat saat kabut asap menyerang.

Gejala-gejala itulah yang juga selalu dirasakan oleh Muhammad Hairul Sobri. Laki-laki berdomisili di Kota Palembang ini merupakan salah satu penderita ISPA yang merasa tersiksa saat bencana kabut asap melanda.

Sebagai warga asli Kota Palembang, Sobri selalu mengeluhkan hal yang sama sejak tahun 2015, yakni bencana asap yang tak pernah absen kala musim panas datang. Gara-gara asap inilah, dia jadi akrab dengan puskesmas maupun rumah sakit.

“Selalu berobat saat (terpapar) asap. Kalau merasa sesak dan pusing langsung berobat ISPA, baik membeli obat sendiri maupun harus melakukan pemeriksaan melalui fasilitas kesehatan (faskes),” kata Sobri, Kamis 12 Desember 2024.

Sekali berobat, Sobri bisa mengeluarkan kocek sedikitnya Rp50 ribu—itu kalau cuma beli obat, seandainya sampai harus mengikuti pemeriksaan, dia bisa mengeluarkan biaya lebih besar daripada itu—untuk bisa bernapas dengan nyaman. Sekali obatnya habis, dia harus segera membeli lagi agar tak sesak napas.

Hal itu tentu membatasi ruang gerak Sobri untuk beraktivitas sebagaimana mestinya. Tak hanya itu, kalau asap kebakaran mulai tercium, Sobri juga tak sanggup tinggal lama-lama di rumahnya. Sebab, asap hasil kebakaran membawa partikulat halus yang mengandung polutan dan zat beracun, sehingga melemahkan sistem imun pernapasan dan memperparah kondisi ISPA yang dia derita.

Oleh sebab itu, Sobri sangat bergantung pada alat pembersih udara (air purifier) di rumahnya agar dirinya bisa beristirahat dengan nyaman. Tanpa air purifier, Sobri merasa gelagapan untuk bernapas.

“Kalau kita bernapas sekarang memerlukan alat seperti air purifier, membutuhkan ruang yang sehat. Kadang perlu AC juga supaya udara yang dihirup terasa segar,” ungkapnya.

Dalam rangka memperjuangkan haknya untuk hidup sehat, Sobri tergabung dalam kelompok Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA) untuk memprotes kebijakan pemerintah dan aktivitas perusahaan membuka lahan yang menyebabkan karhutla.

“Sebagai warga negara, jalur ini ditempuh karena dampak asap akibat karhutla ini berulang terjadi, dari 2015 sampai 2023 pun masih terjadi,” tutur dia.

Dia juga menyorot kerugian yang disebabkan bencana karhutla yang terus-terusan terjadi. Menurutnya, apa yang dia rasakan itu belum seberapa. Masih banyak orang-orang di luar sana, yang menurut Sobri, juga terkena dampak bencana asap.

Sobri berharap agar bencana karhutla dan kabut asap dapat ditangani dengan baik, supaya masyarakat khususnya di Kota Palembang dapat merasakan nikmatnya menghirup udara segar, terutama saat musim kemarau.

Dirinya juga enggan menerima jalur damai apabila perusahaan atau sekelompok orang memang terbukti melakukan pembakaran lahan secara sengaja. Bagi Sobri, hal itu tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.

“Kalau jalur damai itu ‘kan dilakukan kalau itu cuma terjadi sekali. Nah, ini sudah berulang-ulang. Kita membutuhkan kebijakan yang nyata untuk melindungi wilayah-wilayah agar tidak terbakar, agar masyarakat juga terlindungi dari penyakit,” tutupnya.

Menyuarakan pemulihan lingkungan

Upaya ISSPA dalam memperjuangkan kualitas udara yang bersih di Sumsel turut ditempuh melalui jalur hukum. Terbaru, Pengadilan Negeri Kelas IA Palembang telah menggelar sidang pemeriksaan pokok perkara pada Kamis, 12 Desember 2024 kemarin.

Dalam keterangannya, kuasa hukum ISSPA, Ivan menjelaskan bahwa pihaknya menggugat tiga perusahaan besar yang ditengarai melakukan kegiatan industri dengan membuka lahan dengan cara dibakar.

Dirinya meminta para perusahaan itu untuk melakukan pemulihan lahan dan mengganti kerugian yang telah dirasakan oleh para penggugat, termasuk tuntutan untuk membuat kebijakan restorasi gambut dan membentuk organisasi pengawasan aktivitas di lahan gambut.

“Maka pada hari ini kami melaksanakan sidang pemeriksaan pokok perkara atas kasus ini dengan diikuti satu dari tiga pihak tergugat yang hadir. Kami memohon agar pihak tergugat melakukan pemulihan lingkungan hidup dan mengganti kerugian materiil,” tutur Ivan. (*)

Tombol Google News

Tags:

bernapas kebakaran hutan lahan udara sehat Ispa infeksi saluran pernapasan akut Palembang