KETIK, SURABAYA – Fuad Benardi, anggota Komisi C DPRD Jawa Timur. setelah menjawab salam dan merespons sapaan media ini ketik.co.id, kesannya grapyak dengan dialeg Jawa Suroboyan. Lelaki muda ini mengajak masuk ke ruangan tempatnya bertugas.
Kemudian, dengan runtut menjawab dan merangkai kata menjawab pertanyaan yang terlontar, menceritakan perjalanan hidupnya.
Disampaikan, masa kecil di mulai di suatu desa di Bojonegorom Itu lantaran sang ibu menjadi ASN juga ayahnya dan bertugas di Kabupaten Bojonegoro.
"Masa kecil saya, sekolah play group atau TK (taman kanan kanak) di Bojonegoro. Karena ayah dan ibu PNS bertugas di Bojonegoro," kata Fuad mengawali cerita kisahnya.
Selanjutnya, di umur 4 tahun dia dipindah sekolah ke Surabaya. Lantaran ibunya berpindah tugas di Surabaya, dia kemudian didaftarkan ke TK Al Falah Surabaya.
"Saat umur 4 tahun ke Surabaya, karena ibu pindah tugas dan kerjanya di Surabaya. Saya sekolah di TK Al Falah di Jalan Siak Surabaya," ucapnya.
Selesai dari sekolah TK, kemudian melanjutkan sekolah ke SD Al Falah, Fuad menyebut tempatnya di Jalan Mayangkara, Surabaya.
Karena kedua orang tuanya sebagai PNS dan disebut tidak punya banyak waktu, di sekolah SMP Al Falah tepatnya di Delta Sari, Sidoarjo itu selalu diikuti dengan sistem full day school.
"Karena orang tua kerja sebagai ASN, sekolah yang saya ikuti selalu full day, pagi hingga sore," katanya.
Selanjutnya, usai tamat sekolah menengah, cita-citanya semakin kuat ingin masuk atau bisa diterima di SMA negeri.
"Dari SMP saya kemudian diterima di SMAN 5, Alhamdulillah cita-cita saya memang ingin masuk sekolah negeri," kata dia, sambil berucap syukur.
Di lingkungan sekolah yang dipergaulannya di sebut SMA komplek itu, dia mengaku mulai ada warna turut mengisi hari-harinya, komunitas pelajar dan jejaring lainnya.
Termasuk dia menyebut punya teman yang jejaringnya luas, misalnya punya lingkup pergaulan dengan elemen relawan dari partai politik.
Tamat dari SMAN 5 Surabaya. Dia kemudian melanjutkan kuliah di Teknik Informatika Institute Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
"Lulus SMA, saya kemudian kuliah di ITS, Teknik Informatika. Bisa disebut saya keluarga ITS, ibu saya ITS jurusan Arsitektur dan ayah Teknik Kimia, adik saya juga di ITS," katanya sambil senyum.
Seiring berjalannya waktu, selain kuliah, bakat dan talenta berorganisasi terus berjalan beriring. Diakui sejak kecil suka dan aktif serta senang bergaul, termasuk di karang taruna.
Itu terbawa hingga dia mendirikan atau mengelola kafe bersama lima orang temannya, diberi nama Cafe Omah Ku, terletak di Jalan Joyoboyo, Surabaya.
"Tepatnya angkringan ya, itu patungan berlima dengan teman-teman." kata dia.
Perjalannya angkringan disebut tidak lama. Di tahun pertama diakui sempat ramai. Menginjak di tahun kedua mulai redup, kemudian diputuskan tutup.
Sisi lain, disebutkan dari lima temannya selain memang harus berpisah karena kisah perjalan hidup. Juga ada warna warni menghiasi perjalan bisnis model pertemanan itu, termasuk soal keuangan
"Takdir dan kisah perjalanan hidup kan tidak bisa dilawan. Ada teman yang meninggalkan usaha itu karena diterima di BUMD. Ada yang memang masih sulit keuangan, sehingga harus mencari (penghidupan) yang lain," kenangnya.
Tak Tertarik ASN
Dia mengaku tak tertarik mengikuti jejak ibunya sebagai ASN di pemerintahan. "Saya sempat di tanya ibu, mau ke mana setelah lulus, mendaftar PNS, kerja di swasta atau jadi pengusaha?," kata dia menirukan kalimat tanya ibunya.
Mengaku kurang tertantang kalau menjadi PNS atau ASN, penegasan itu dikuatkan dengan peryataanya, sering melihat kerja ibunya yang begitu begitu saja.
"Saya tahu kerjanya ibu, ya gitu gitu aja, saya kurang tertantang," kata dia.
Dikuatkan keinginnannya meneruskan leluhur, kakek dan neneknya yang dikatakan tidak sebagai pegawai di pemerintahan atau swastau, mereka pengusaha.
"Mungkin, lebih tepatnya meniru seperti leluhur, kakek nenek pengusaha," ucapnya.
Dari mulai jualan, termasuk angkringan yang disebut kisah awal dengan Lima sekawan, teman temanya.
Sebelumnya dia juga pernah melakoni sebagai konsultan IT, sesuai latarbelakang ilmu yang dipelajari saat kuliah.
Diakui, itu bukan bisnis nulis pendapatan tidak tetap, bahkan termasuk sepi. Puncaknya, tak bertahan lama lantaran beberapa orang temannya memutuskan keluar dan mencari penghasilan dan jenis pekerjaan lain.
"Karena pendapatan tidak tetap, banyak teman yang keluar, dan salah satunya ada yang bekerja di BUMN," kata dia.
Tak pantang surut, semangat terus dilakoni dengan serius. Dia dengan beberapa temannya mencoba keberuntungan di jalur konsultan fisik.
"Ke kontraktor, kembali dengan menggandeng teman-teman. Saya sebagai pimpinan atau manajer proyek, lainnya ada yang di bagian lain, juga termasuk programmer dan lay out. Tak lama, proyek sepi dan perusahaan itu tak berlanjut," ucapnya.
Kenal Politik
Dasarnya, dia mengaku duka melihat televisi atau mendengarkan radio khususnya berita pemerintahan termasuk politik.
Dibenaknya politik dan pemerintahan melekat, untuk melakukan perubahan baik kebijakan atau misalnya hanya aturan harus dilakukan melalui jalur itu.
Melihat, mendengar, memperhatikan dan mengikuti ibunya sejak aktif di ASN kemudian ke jadi pejabat, dia menyimpulkan politik tidak bisa dihindarkan.
"Ini termasuk pengaruh melihat ibu ya (saat ibu saya Tri Rismaharini menjadi Wali Kota Surabaya) kemudian menjabat Menteri Sosial. Jadi, juga ada kisah, saat itu saya masih kuliah, dan saat coblosan saya ikut bantu ibu. Akhirnya, dengan teman-teman cangkrukan saya dulu saat di SMA ikut membantu ibu. Saat SMA saya punya cangkrukan di dekat SMAN5, termasuk juga ada teman relawan," kata dia mengisahkan.
Berprinsip, sambil menyelam minum air, dia sering bertemu berbagai elemen masyarakat dengan berbagai persoalan yang dihadapi.
Jalan pikiran dan ide pun diakui berseiring dengan keinginan untuk membantu atau menjembatani persoalan masyarakat yang dia dengar, lihat dan didapat dari banyak cerita kepada dirinya.
"Meski tidak menjabat di pemerintah saya semakin tau bahwa masih banyak problem dan persoalan di masyarakat yang belum bisa dipecahkan. Menyangkut kebijakan saya juga akhirnya belajar dari Ibu Risma baik saat menjadi ASN, mencalonkan sebagai walikota dan kemudian menjabat walikota dan menteri. Saya banyak belajar dari Ibu Risma," akunya.
Diakui semua tidak mudah, tidak hanya yang baik didengar, yang minor pun diperhatikan. Soal kritik dan pujian terhadap ibunya juga menjadi atensi di pikirannya, bahwa masyarakat butuh dan harus dilayani.
"Bangga sih saya, termasuk sampai sekarang masih banyak orang yang masih mengingat Bu Risma. Tapi kalau saya dengar, pesan Ibu Risma itu juga normatif, itu standar seorang pimpinan harus melayani, turun dan mengetahui persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Itu juga dipesankan ke saya, bahwa masyarakat itu butuh diperhatikan, sebagai pimpinan juga harus melakukan tugasnya," tuturnya.
"Tidak salah, Bu Risma dielu-elukan, dipuji dan sebagainya lantaran ya itu standar seorang pimpinan harus berkerja nyata. Mungkin itu yang tidak dilakukan secara maksimal oleh pemimpin terdahulunya," tambah dia.
Soal kisah di Taman Bungkul, yang taman rusak dan Wali Kota Tri Rismaharini marah-marah dan viral. Anak pertama Ibu Risma itu menceritakan juga dari dua sisi.
"Pendapat saya saat ada iven di Taman Bungkul. Ya, karena saya tau sendiri biaya dan operasional perawatan taman itu mahal. Jadi ada pohon atau tanaman lainnya harganya bisa Rp15 juta, belum lagi untuk perawatannya, Ibaratnya kalau taman itu di apresial itu sangat mahal, bisa sampai miliaran. Jadi harus saling menjaga, merawat dan itu semua untuk kepentingan bersama di masyarakat," katanya.
Bangga, Tapi Ogah Dompleng Nama Besar Risma
Sekarang sebagai wakil rakyat di Jatim. Ia ingin mencontoh yang sudah dilakukan oleh Risma. Meski tak mau mendompleng nama besar sang ibu, agaimanapun juga menurut dia Risma sudah meletakkan pondasi yang baik.
"Saya selalu ingat yang dikatakan Ibu Risma, Kita hidup hanya sekali, dan apa yang bisa kita lakukan dan kita tinggalkan untuk masyarakat. Karena kita semua ini pasti akan meninggal. Karya apapun yang kita lakukan itu menjadi sumber pahal sampai kita di akherat. itu kalimat Ibu Risma, dan itu terus saya ingat," ucapnya.
Sebagai wakil rakyat atau rakyat memberikan amanat duduk di dewan ini. Ia berkomitmen melakukan yang terbaik, mengawal, menolong dan menjembati apa yang dibutuhkan masyarakat, tentu sesuai fungsi saya sebagai legislatif.
Sesuai dengan ideologi partai..PDI Perjuangan, ia turun ke lapangan dan mengetahui kondisi masyarakat.
"Jadi, saya harus turun langsung, karena saya akan tahu apa yang harus saya lakukan. Karena saya merupakan wakil mereka. Selain itu agar bisa membuat program-program yang dibutuhkan oleh masyarakat," katanya.
Seperti yang dilakukan Risma, lanjut dia, misalnya pendidikan gratis. Meski anggaran 20 persen dan diakui implikasinya belum maksimal. Tetapi untuk pendidikan pemerintah harus melakukannya.
"Jika ada masyarakat tidak mampu tetap bisa menyekolahkan anaknya. Dan, anaknya harus bisa menggapai cita-cita dan masa depannya. Itu pesan partai kami, harus hadir di tengah masyarakat, seperti yang selalu disampaikan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati Soekarnoputri," tutur Fuad. (*)
Biodata:
Nama : Fuad Benardi
Komisi C DPRD Jawa Timur
Fraksi : PDI Perjuangan
Istri : Era Masita Maharani
Pendidikan S1 : ITS Surabaya
Pendidikan S2 : ITS Surabaya