Wacana Pemilu 2024 kini ditaburi oleh kosakata negatif, mulai dari bandar politik, pemodal, hingga oligarki.
Kosakata ini bertaburan di media massa, sehingga mengusik kesadaran betapa demokrasi di negeri ini sekarang telah dikurung oleh kepentingan segelintir orang.
Demokrasi yang terdiri dari dua akar kata, yaitu “demos” (rakyat), dan “kratos” (kekuasaan), kini digerus oleh bahaya oligarki.
Karena oligarki sanggup menyandera demokrasi, dan mengurung sektor kehidupan yang mencakup sumber ekonomi, akses politik, berbagai kebijakan, hingga hak azasi manusia.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan oligarki ? Bagaimana kita memahaminya ?
Sejumlah ilmuwan mendefinisikan oligarki ialah stuktur kekuasaan yang dikendalikan segelintir elit.
Buku Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market, menjelaskan oligarki merupakan hasil fusi antara kekuatan politik birokratis dan kekuatan ekonomi.
Fusi dua kekuatan tersebut menentukan banyak hal. Termasuk siapa yang dicalonkan menjadi pemimpin dalam kontestasi pemilu.
Di negeri ini dari sekian banyak tokoh barangkali hanya tokoh nasional Rizal Ramli yang selama ini paling konsisten mengingatkan tentang bahaya oligarki.
Rizal Ramli misalnya, menjelaskan di dalam Pilpres atau Pilkada peran oligarki sangat menentukan. Peran itu bahkan bisa berlangsung jauh sebelum Pilpres atau Pilkada dilaksanakan.
Oligarki dengan kekuatan finansialnya, menurut Rizal Ramli, dapat ikut menentukan siapa figur yang akan dipasang sebagai calon dan diberikan dukungan.
Calon yang dimenangkan ini kelak akan membayar utang budi yang telah diberikan oleh oligarki, dalam berbagai bentuk sesuai keinginan oligarki.
Kepedulian Rizal Ramli yang selalu mengingatkan tentang bahaya oligarki esensinya adalah tentang nasib demokrasi di negeri ini.
Lebih dari itu, tentang masa depan Republik, tentang kita, tentang saya, tentang kamu, tentang apapun mimpimu.
Kalau Rizal Ramli begitu sering bicara soal bahaya oligarki, barangkali karena dia tahu lebih banyak.
Dari sekian banyak tokoh yang tahu banyak itu, Rizal Ramli adalah satu dari sedikit yang berani bersuara lantang dengan bahasa yang menohok. Berbekal informasi dan ketajaman dalam melihat potensi betapa berbahayanya oligarki.
Warning Rizal Ramli tentang bahaya oligarki adalah ramuan antara keberanian, kepedulian untuk mencegah, informasi, analisis, konsistensi, dan kemarahannya yang datang dari hati yang mencintai negeri ini.
Bahkan mungkin mencintai mereka yang juga kena serempet kata-katanya.
Rizal Ramli seperti sudah mencapai level militansi maksimal dalam penyikapan terhadap oligarki. Sudah berhitung dengan risiko. Tak peduli kursi menterinya hilang.
Kita hanya bisa memahami Rizal Ramli jika kita menelusuri jejak langkahnya.
Tak sulit untuk mencari dan melihat jejak Rizal Ramli, berupa track record, integritas, konsistensi dan keberpihakannya kepada rakyat, baik saat berada di dalam maupun di luar kekuasaan. Semua itu dapat dengan mudah ditelusuri dari pemberitaan media-media online dan sosial media.
Sejak menjadi mahasiswa ITB, menuntut ilmu di negeri orang dengan meraih beasiswa, mendirikan Econit yang menjadi rujukan media massa dan pebisnis pada era 1990-an, menjadi menteri, dan berada di luar kekuasaan, hingga kini Rizal Ramli tetap konsisten membela kebenaran.
Tahun 1978, bersama sejumlah aktivis pergerakan mahasiswa lainnya sebagai Deputi Dewan Mahasiswa ITB dia harus mendekam di Penjara Sukamiskin, Bandung, karena melawan otoritarianisme Soeharto.
Jika ingin memahami lebih banyak perjuangan mahasiswa pada masa itu, baca saja Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978, dimana Rizal Ramli ikut menulisnya.
Benedict Richard O’Gorman Anderson (Ben Anderson) Indonesianis yang sohor, menyebut buku ini sungguh penting. Lantaran itulah pertama kali kritik terhadap kebijakan Orde Baru yang ditulis secara sistematis.
Profesor dari Cornell University, Amerika Serikat itu, kemudian membantu menterjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Inggris, dan menerbitkannya di Jurnal Indonesia terbitan Cornell University. Buku ini kemudian berpinak dalam delapan bahasa asing lainnya.
Saat masih mahasiswa ITB, Rizal Ramli mendapat beasiswa ke Jepang, lalu menamatkan doktor dalam bidang ekonomi di Boston University, Amerika Serikat.
Pulang dari negeri Mark Zuckerberg itu, bersama sejumlah kawan dia mendirikan Econit Advisory Group.
Ini lembaga think thank ekonomi independen, yang di masa Orde Baru begitu menakutkan, karena berani menunjuk wajah kacau perekonomian nasional.
Kajian kritis lembaga yang dipimpinnya itu mengenai kondisi perekonomian nasional yang ambruk pada 1998, dikutip banyak media dan menjadi rujukan banyak kalangan.
Sejak muda Rizal Ramli berada di lingkungan gerakan pro demokrasi.
Saya sebut beberapa nama di antaranya, seperti Adnan Buyung Nasution, Megawati Soekarnoputri, WS Rendra, Abdurrahman Wahid (sahabat sekaligus guru politik Rizal Ramli) yang kemudian menjadi presiden keempat RI.
Gus Dur lah yang mengajak Rizal Ramli masuk kekuasaan.
Semula mengangkatnya menjadi Kepala Bulog, yang pada masa itu bagai lumbung segala hal yang ada di dapur rumah kita.
Inilah arena laga pertama aktivis yang juga doktor ekonomi itu bertarung dengan dugaan kartel sembilan kebutuhan pokok kita.
Apa yang dilakukan Rizal Ramli di lembaga itu ?
Tak sulit kita mencari penjelasannya di masa yang serba berjejak digital ini.
Dari Kepala Bulog, Presiden Gus Dur kemudian mendapuk Rizal menjabat sejumlah posisi: Ketua Bappenas, Meneg BUMN, Menteri Keuangan, hingga Menteri Kordinator Bidang Ekonomi.
Semua itu posisi “basah”. Tapi Rizal Ramli yang kita lihat hari ini, adalah Rizal Ramli yang juga kita kenal dari catatan riwayatnya. Dia tidak “basah”, oleh harta yang mungkin bisa disiram lewat kursi kekuasaan.
Saat menjadi menteri di era Gus Dur Rizal Ramli berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional menjadi 4,9 persen dari minus 3 persen.
Dan dari catatan media massa, kita bisa membaca jejak ekonomi pada masa pemerintahan Gus Dur. Dari minus 3 persen, ekonomi sukses dikerek ke angka pertumbuhan 4,9 persen.
Gini ratio yang merupakan alat mengukur tingkat kesenjangan ekonomi berhasil ditekan hingga 0,31 persen dari 0.37, pada tahun 1999.
Sejak Orde Baru berkuasa, itulah angka ketimpangan terendah dalam sejarah ekonomi nasional. Terdekat dengan angka itu adalah capaian tahun 1993, di bilangan 0.32.
Sayang pemerintahan Gus Dur begitu singkat, karena dilengserkan oleh kekuatan politik di Senayan.
Lalu Rizal Ramli seakan “menghilang” dari etalase kekuasaan, tapi tidak dari ruang publik seperti halaman media massa dan sosial media.
Dia misalnya, mengkritik keras tatanan ekonomi pada masa pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang disebutnya sangat neoliberal.
Dari segenap kritiknya, jika ditelusuri dengan cermat, musuh Rizal Ramli sebetulnya bukanlah orang-orang yang sedang duduk di pucuk kuasa. Tapi lebih pada tata kelola.
Jejak kritik kerasnya terhadap apa yang disebut sebagai neoliberalisme itu juga mudah kita temukan pada masa Orde Baru.
Neoliberalisme membenamkan ekonomi konstitusi. Sebuah model ekonomi yang diimpikan oleh para pendiri negeri ini.
Dan barangkali yang membuat kita terperanjat adalah kritik kerasnya terhadap rencana manajemen Garuda membeli pesawat A-350.
Dia menyampaikan kritik itu hanya sehari setelah dilantik menjadi Menteri Kordinator Kemaritiman, 12 Agustus 2015 oleh Presiden Jokowi.
Sehari sesudah dilantik itu, media nasional umumnya menulis judul, begini:
“Gebrakan Pertama Rizal Ramli: Garuda Indonesia Didesak Batalkan Pembelian Airbus A-350 ...”
Dalam berita itu Rizal Ramli berkisah bahwa sepekan sebelumnya dia bertemu dengan Presiden Jokowi.
Dia meminta tolong presiden dengan menjelaskan:
“Saya tidak ingin Garuda bangkrut, karena sebulan yang lalu mendapat pinjaman 44,5 miliar dollar untuk rencana pembelian pesawat A-350.
Pesawat jenis itu hanya cocok untuk penerbangan Jakarta ke Amerika Serikat,” tandas Rizal Ramli, 13 Agustus 2015.
Rute internasional tidak menguntungkan bagi Garuda lantaran keterisian hanya 30 persen.
Rute ini dikuasai Singapore Airlines dan maskapai lain, yang keuangannya sangat kinclong dengan layanan premium.
Rizal Ramli menyarankan agar Garuda fokus pada bisnis penerbangan domestik dan regional. Bila sudah kuat pada dua pasar itu, baru ekspansi ke jalur internasional.
Rencana pembelian Airbus A-350 itu kemudian batal, diganti pesawat jenis lain. Kita semua tahu Garuda memang tidak sehat: dihimpit hutang, terlilit korupsi, dan ditubir kebangkrutan. Sebelum akhirnya bisa diselamatkan lewat renegosiasi utang.
Gebrakan lainnya ialah rencana Rizal Ramli merevisi target listrik 35 ribu megawatt (MW), saat menjadi Menko Kemaritiman.
Lagi-lagi upaya untuk menegakkan kebenaran itu dilihat hanya sebagai sebuah kegaduhan ketimbang substansi.
Target sebesar itu kata Rizal Ramli tidak realistis, dan hanya akan membebani keuangan PLN.
Angka yang realistis, ujarnya, sekitar 17 ribu hingga 18 ribu MW. Kalau sanggup membangun 17 ribu MW dalam lima tahun, lanjutnya, itu sudah prestasi yang luar biasa. Sebab kata Rizal Ramli dalam 10 tahun pemerintahan SBY hanya mencapai sekitar 10.200 MW.
Bagaimana nasib PLN setelah warning Rizal Ramli ini diabaikan ?
Kita menemukan begitu banyak berita tentang hutang dan berbagai permasalahan dalam proyek listrik 35 ribu MW ini, sekian tahun setelah Rizal Ramli tak lagi duduk di kursi Menko Maritim.
Meski menohok dalam mengkritik, Rizal sesungguhnya jujur memberi pujian.
Ketika Juni tahun lalu, pemerintahan Jokowi lewat Menteri BUMN, Erick Thohir, sukses merenegosiasi utang Garuda, Rizal Ramli memberi sanjungan:
“Erick Thohir dan manajemen Garuda, selamat atas keberhasilan renegosiasi utang Garuda. Major achievement. Ikut bahagia,”
Rizal Ramli berharap Erick dan menajemen meningkatkan efisiensi operasional serta route management, menghindari leasing mark up, juga memperbaiki model bisnis.
Kritik pedasnya fokus pada kebijakan, nothing personal dan tetap menjaga hubungan baik.
Rizal Ramli dan mantan Wapres Jusuf Kalla (JK) pernah saling bersilang pendapat, tapi ketika keduanya bertemu, tetap bertegur sapa dan tertawa.
Dalam acara, “Halaqah Satu Abad NU” di Jakarta, akhir tahun lalu, JK menyebut Rizal Ramli sebagai pemikir yang tangguh.
“Cuma Pak Rizal tidak mengunakan itu di dunia bisnis. Kalau dipergunakan, bisa menjadi pengusaha sukses,” kata JK.
Meski kerap mengkritik keras tata kelola ekonomi 10 tahun pemerintahan SBY yang neoliberal, Rizal Ramli juga tetap bersahabat dengan SBY.
Dia menjenguk SBY ketika dirawat di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat), Juli 2018.
Sesudah membezuk, kepada wartawan Rizal Ramli berbagi cerita:
“Tadi kami berpelukkan. Cipika-cipiki. Bergurau. Tertawa ngakak, karena kami memang bersahabat sejak lama banget ...”
Kritik keras Rizal Ramli tentang oligarki dan kondisi demokrasi kita saat ini juga bukanlah tentang pribadi orang-orangnya.
Kalau kita renungi dan sadari esensi mendengarkan perkataan Rizal Ramli yang berbicara mengenai kebenaran sesungguhnya adalah mendengarkan ungkapan hatinya. Yang terdorong oleh rasa cintanya kepada rakyat dan tanah air negeri ini.
Opini oleh: Tulus Budi Karso, pemerhati masalah sosial dan politik