Menghapus Pilkada Langsung, Kemajuan atau Kemunduran Demokrasi?

Jurnalis: Wawan Saputra
Editor: Mustopa

15 Desember 2024 08:59 15 Des 2024 08:59

Thumbnail Menghapus Pilkada Langsung, Kemajuan atau Kemunduran Demokrasi? Watermark Ketik
Oleh: Wawan Saputra*

Wacana untuk mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali mencuat akhir-akhir ini. Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, mengusulkan agar pilkada tidak lagi dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat, melainkan cukup melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Wacana tersebut mengundang pro dan kontra. Mana yang lebih relevan, mempertahankan Pilkada langsung dengan perbaikan yang tepat atau cukup menyerahkannya kepada anggota legislatif masing masing daerah.

Pilkada langsung mulai diterapkan setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Aturan ini mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sebagai wujud demokrasi partisipatif. Sistem ini memberikan rakyat hak untuk menentukan pemimpinnya sendiri, menciptakan akuntabilitas langsung antara kepala daerah dan masyarakat.

Mengembalikan Pilkada kepada DPRD, sebagaimana diatur pada masa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974,  tentunya bertentangan dengan semangat demokrasi reformasi.

Sistem lama tersebut rentan terhadap politik transaksional, di mana kepala daerah terpilih cenderung lebih loyal kepada partai politik atau kelompok tertentu daripada kepada masyarakat yang mereka pimpin. Selama ini Pilkada langsung telah mengurangi ketergantungan itu dan menciptakan pemimpin yang lebih peka terhadap aspirasi rakyat.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pilkada langsung memiliki tantangan. Biaya penyelenggaraan yang besar, praktik politik uang, dan potensi konflik sosial sering menjadi masalah yang terus berulang. Meski demikian, tantangan ini dapat diatasi tanpa harus menghilangkan hak rakyat untuk memilih.

Langkah yang perlu dilakukan adalah memperbaiki mekanisme pengawasan. Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 memberikan wewenang kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk mengawasi pelaksanaan pilkada.

Penguatan Bawaslu, baik dari segi kewenangan maupun anggaran, dapat menjadi solusi untuk menekan pelanggaran seperti politik uang. Selain itu, transparansi pendanaan kampanye harus diperketat, dengan kewajiban melaporkan secara rinci sumber dan penggunaan dana kampanye, sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2017.

Biaya kampanye yang tinggi juga dapat ditekan dengan menyederhanakan mekanisme kampanye. Pemanfaatan teknologi untuk kampanye digital atau debat publik terbuka dapat menggantikan metode konvensional yang mahal. Edukasi politik bagi masyarakat juga harus ditingkatkan agar pemilih lebih kritis dalam menentukan pilihan berdasarkan visi, misi, dan rekam jejak kandidat.

Digitalisasi dalam penyelenggaraan pemilu juga dapat menjadi solusi yang relevan. Penggunaan teknologi seperti e-voting, sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dapat mengurangi biaya teknis serta meningkatkan transparansi dan efisiensi. Namun, penerapannya harus disertai dengan penguatan keamanan siber untuk mencegah potensi manipulasi data.

Sekali lagi, dari sudut pandang penulis, menghapus pilkada langsung bukanlah jawaban atas tantangan yang ada.

Demokrasi adalah proses dinamis yang membutuhkan perbaikan terus-menerus, bukan kemunduran. Hak rakyat untuk memilih pemimpin mereka adalah pilar utama demokrasi. Oleh karena itu, solusi terbaik adalah memperbaiki sistem pilkada langsung agar lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Dengan begitu, demokrasi Indonesia tetap kuat dan mampu menjawab tantangan zaman.

*) Wawan Saputra merupakan jurnalis senior Ketik.co.id yang kini bertugas di Biro Pasaman Barat
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

Pilkada Langsung opini Demokrasi Prabowo Subianto