Muhammadiyah: Peringatan Maulid Nabi Tidak Ada Dalilnya, Boleh Dirayakan untuk Meningkatkan Keimanan Umat

Jurnalis: Samsul HM
Editor: M. Rifat

16 September 2024 08:13 16 Sep 2024 08:13

Thumbnail Muhammadiyah: Peringatan Maulid Nabi Tidak Ada Dalilnya, Boleh Dirayakan untuk Meningkatkan Keimanan Umat Watermark Ketik
Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh (Foto: Khaesar/Ketik.co.id)

KETIK, SURABAYA – Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW telah menjadi tradisi umat muslim Indonesia. Momentum ini diperingati sebagai wujud cinta kepada Rasulullah.

Namun, sebenarnya tidak ada ayat Al-Qur’an maupun Hadis yang memerintahkan umat Islam untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Karena itu pembahasan terkait hal ini tidak lepas dari perdebatan panjang.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Muhammadiyah.or.id menyebutkan, dalam hukum Islam, tidak ada nash yang secara langsung membolehkan atau melarang perayaan Maulid.

Karena itu, Maulid Nabi masuk dalam ranah ijtihādiyyah. Yaitu permasalahan yang memerlukan penalaran hukum melalui ijtihad, termasuk penggunaan metode qiyas atau analogi hukum.

Salah satu argumen yang sering diangkat dalam diskusi Maulid Nabi adalah kisah Abu Lahab, paman Nabi yang dikenal karena penolakannya terhadap Islam. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Abu Lahab mendapat keringanan siksa di neraka setiap Senin karena ia merasa senang atas kelahiran Nabi dan memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, yang turut menyusui Nabi.

Sebagian ulama menggunakan qiyas ini sebagai landasan, jika Abu Lahab yang kafir saja mendapat manfaat karena kegembiraannya atas kelahiran Nabi, maka umat Islam tentu lebih layak mendapatkan pahala jika memperingati Maulid Nabi.

Namun, perlu dicatat qiyas ini lemah jika ditinjau dari sisi kekuatan riwayat. Sebagai landasan hukum, kisah ini tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar yang sahih.

Riwayat tersebut memang sering dijadikan argumen, tetapi tidak dapat menjadi pegangan utama dalam menetapkan hukum Maulid Nabi.

Oleh karena itu, pendekatan lain yang lebih tepat mungkin melalui ijtihad istishlāhi, yakni penalaran hukum yang didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan umat.

Dalam konteks ini, kemaslahatan yang bisa diambil dari peringatan Maulid Nabi adalah manfaat yang dapat diperoleh umat Islam. Itu seperti mempererat cinta kepada Nabi dan menguatkan pengamalan ajaran-ajarannya.

Ketika tidak ada nash yang memerintahkan atau melarang, maka hukum Islam membuka ruang bagi penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan.

Namun, kemaslahatan tersebut harus memenuhi kriteria tertentu, antara lain mampu menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, kehormatan, dan keturunan.

Kemaslahatan yang dicapai juga harus lebih dominan, yakni membawa kebaikan lebih besar dan menghindarkan umat dari kerusakan.

Dalam konteks ini, Maulid Nabi bisa dianggap sah jika pelaksanaannya diarahkan untuk meningkatkan kualitas keagamaan umat. Perayaan ini bisa diisi dengan kegiatan seperti pengajian, ceramah tentang keteladanan Nabi, atau kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.

Namun, jika perayaan Maulid justru diwarnai dengan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti kemusyrikan, maksiat, atau pemborosan yang tidak perlu, maka lebih baik peringatan tersebut ditinggalkan untuk menghindari mudarat yang lebih besar.

Pada akhirnya, dalam menyikapi perdebatan seputar Maulid Nabi, umat Islam perlu mencari keseimbangan antara tradisi dan tuntunan syariat. Perayaan ini bisa menjadi sarana yang positif untuk memperkuat iman dan kecintaan kepada Rasulullah, selama dilakukan dengan niat yang tulus dan cara yang benar.

Maulid Nabi seharusnya bukan hanya sekadar perayaan seremonial yang dirayakan setiap tahun, melainkan menjadi momen refleksi untuk meneladani kehidupan Rasulullah SAW dalam setiap aspek kehidupan.

Umat Islam sebaiknya menjadikan peringatan ini sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman terhadap ajaran Islam dan meningkatkan kualitas ibadah, sehingga tujuan utama dari peringatan ini, yaitu kemaslahatan umat, benar-benar tercapai. (*)

*)Referensi: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 4, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), 271-272.

Tombol Google News

Tags:

Maulid Nabi Muhammadiyah perdebatan perayaan maulid nabi