KETIK, SURABAYA – Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia terkait kebijakan distribusi LPG 3 kg menuai kritik. Pengamat politik Universitas Airlangga Prof. Henri Subiakto menilai langkah Bahlil terkesan melangkahi Presiden RI Prabowo Subianto.
Bahkan, Henri menyebut Bahlil tidak begitu menguasai kebijakan. Padahal merupakan doktor hebat lulusan Universitas Indonesia (UI). Kuliah selama 18 bulan dan berhasil lulus dengan predikat cumlaude.
"Dengan predikat cumlaude bisa nampak begitu bodohnya saat membuat kebijakan tentang distribusi gas LPG 3 kg, harusnya dia sudah tahu kalau infrastrukturnya belum siap," terangnya kepada Ketik.co.id, Kamis 6 Februari.
"Kenapa Bahlil serta merta kok berani membuat kebijakan yang jelas-jelas berdampak langsung menciptakan keresahan dan kemarahan rakyat," imbuhnya.
Henri menegaskan, Menteri ESDM yang mengatur LPG 3 kg agar tidak dijual ke pengecer jelas berdampak langsung pada keresahan dan kemarahan masyarakat.
"Apakah seorang menteri yang bergelar doktor hebat itu tak mampu berpikir panjang, dan tak mampu mengantisipasi akan munculnya kehebohan karena kebijakannya," ucap Pakar Bidang Ilmu Komunikasi Politik.
Muncul tanda tanya besar, lanjutnya, apakah kebijakan itu memang sengaja dibuat dalam perhitungan waktu yang singkat untuk membuat masyarakat heboh.
"Atau semua ini adalah sandiwara politik belaka yang kemudian heronya adalah pak Prabowo. Namun ada juga yang curiga jangan-jangan semua ini hanya sandiwara, untuk menenggelamkan isu-isu besar yang sedang ramai, tiba-tiba tenggelam dengan adanya kelangkaan tabung gas melon," paparnya.
Kebijakan ini membuat rakyat semakin berspekulasi atas kekisruhan yang meluas dan mempertanyakan siapa yang menjadikan Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
"Siapa yang menjadikan Bahlil sebagai Ketua Umum Golkar? Diakui sendiri oleh Bahlil, itu karena peran tangan Raja Jawa yang menjadi endorser dan pendorong utama," tutur Prof Henri.
Menurut Henri posisi Bahlil sebagai Menteri ESDM ini sebagian besar merupakan peran dari Presiden Joko Widodo.
"Siapa lagi kalau bukan Jokowi, presiden RI ke 7 yang jadi bos utama Bahlil, yang telah menyodorkan dan menitipkan nama Bahlil ke Presiden Prabowo," terang Dosen Unair ini.
"Nah kalau sekarang rakyat curiga bahwa ribut-ribut gas melon itu adalah sebuah keadaan yang mungkin sengaja diciptakan oleh Bahlil, untuk memunculkan dampak buruk pada persepsi tentang kurang pekanya Pemerintah Prabowo," imbuh Prof Henri.
Mengenai kekisruhan kebijakan LPG 3 kg tidak berlangsung lama karena Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi diperbolehkannya pengecer berjualan gas melon.
"Sekarang tinggal kita lihat bagaimana kepatuhan Bahlil dan kelompoknya terhadap instruksi Presiden Prabowo," tutur Staf Ahli Menkominfo ini.
Mengenai kebijakan yang membuat gonjang-ganjing masyarakat, Prof Henri berharap Presiden Prabowo lebih bisa menilai sosok di internal pemerintahannya.
"Siapa yang kemarin membela Bahlil, dan siapa yang menjaga marwah Presiden Prabowo? Karena pernyataan para pejabat pun banyak yang saling bertentangan, hingga menunjukkan tidak adanya koordinasi yang baik," urai Prof Henri.
Manuver dari Menteri ESDM, menurutnya, melangkahi Presiden Prabowo Subianto hingga membuat heboh masyarakat.
Apakah nantinya, Bahlil Lahadalia dapat dicopot dari Menteri ESDM. Henri menyebut hal ini tergantung keberanian dan keseriusan Prabowo.
"Jika apa yg nampak ini hanyalah drama politik, maka Prabowo tidak akan berani mengganti Bahlil. Berarti Prabowo masih dalam bayang-bayang kekuatan politik Jokowi," tutur Pakar Politik Unair ini
"Ini sekaligus juga test case untuk Prabowo. Dia presiden yang berdaulat, atau dia sekadar dejure dan simbolik sebagai presiden," pungkas Prof Henri Subiakto.(*)