KETIK, PALEMBANG – Ratusan massa yang tergabung dalam Gerakan Tuntutan Rakyat (GTR) menggelar demonstrasi di depan Pengadilan Tinggi (PT) Palembang pada Jumat 16 Mei 2025. Aksi ini merupakan respons atas rasa ketidakpuasan dan keprihatinan mendalam terhadap putusan Praperadilan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Palembang terkait kasus dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan penelantaran anak yang dialami oleh seorang perempuan bernama Erna. Dalam amar putusannya, PN Palembang mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Darmanto Efendi atas penetapannya sebagai tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan penelantaran anak yang dilaporkan oleh sang istri.
Ratusan massa dengan membawa berbagai atribut dan spanduk berisi tuntutan keadilan telah memadati kawasan di sekitar gedung PT Palembang. Aksi yang awalnya berlangsung tertib di pinggir jalan mendadak memanas ketika massa mendapati blokade ketat dari aparat kepolisian yang berjaga.
Pintu gerbang PT Palembang pun tampak tertutup rapat, luapan massa aksi tak terhindarkan hingga membanjiri sebagian badan Jalan Jendral Sudirman, arteri utama Kota Palembang, yang sontak menimbulkan kemacetan lalu lintas yang cukup signifikan.
Situasi yang sempat tegang akhirnya mencair setelah melalui serangkaian negosiasi antara perwakilan pengunjuk rasa dan pihak kepolisian. Demi menghindari dampak kemacetan yang lebih parah dan memberikan ruang bagi penyampaian aspirasi, rombongan massa akhirnya diperkenankan memasuki area halaman Pengadilan Tinggi Palembang.
Renaldi, koordinator aksi dalam orasinya menyebut, aksi demonstrasi ini sebagai bentuk dukungan mereka terhadap seorang perempuan yang menjadi korban KDRT.
Aksi ini juga merupakan representasi perjuangan untuk hak-hak seluruh perempuan di Provinsi Sumatera Selatan yang rentan menjadi korban kekerasan. Renaldi menyoroti kejanggalan dalam putusan Pra Peradilan yang dianggap mengabaikan bukti-bukti kuat yang telah dikumpulkan oleh pihak kepolisian.
"Aksi kami ini adalah bentuk solidaritas dan dukungan kami yang tak tergoyahkan kepada seorang perempuan yang telah mengalami penderitaan akibat KDRT. Kami di sini untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di seluruh Sumatera Selatan agar mendapatkan keadilan yang seharusnya. Kami menilai bahwa dalam perkara ini, seharusnya ada pengkajian ulang yang mendalam. Pelaporan dan penetapan status tersangka terhadap suami korban telah memenuhi pokok perkara. Bagaimana mungkin bukti-bukti yang begitu jelas, termasuk rekaman CCTV yang bahkan telah tersebar luas di media sosial, justru diabaikan dalam putusan Pra Peradilan? Seharusnya, putusan Pra Peradilan tersebut justru mengabulkan dan menguatkan penetapan suami korban sebagai tersangka," ujar Renaldi, Jumat 16 Mei 2025.
Sementara itu, Herwantoni, selaku Humas Pengadilan Tinggi Palembang, memberikan tanggapan ketika dikonfirmasi terkait orasi dan tuntutan massa yang memadati kantornya. la menjelaskan bahwa Pengadilan Tinggi memiliki kewenangan untuk memantau, mengawasi, dan bahkan mengoreksi kinerja pengadilan di seluruh wilayah Sumatera Selatan apabila ditemukan adanya pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim maupun perangkat pengadilan lainnya.
"Kami perlu memisahkan dengan jelas antara masalah etik dan proses hukum yudisial yang sedang berjalan. Jika memang terbukti adanya pelanggaran etik dalam penanganan perkara ini, maka kami memiliki mekanisme dan kewenangan untuk memprosesnya secepat mungkin. demikian pula jika ada ketidakpuasan terhadap putusan perkara pokok nantinya, itu juga akan kami proses sesuai dengan kewenangan kami. Namun, perlu dipahami bahwa putusan Pra Peradilan ini belum menyentuh substansi masalah benar atau salah terhadap seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka. Ini lebih kepada aspek formal prosedur penetapan tersangka," ujar Herwantoni.
Lebih lanjut, Herwantoni menyampaikan apresiasinya terhadap kedatangan massa aksi yang dinilainya sebagai bentuk kepedulian terhadap penegakan hak-hak asasi manusia. la mengimbau agar semua pihak dalam menyampaikan aspirasi tetap berpegang pada aturan hukum yang berlaku.
"Kami mengapresiasi kedatangan adk-adik sekalian dalam memperjuangkan hak-haknya. Silakan lakukan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Di satu sisi, kita harus menegakkan keadilan, namun di sisi lain, kita juga wajib menjaga hak asasi manusia agar negara kita tetap tertib dan berlandaskan hukum. Kami sarankan agar para pihak yang berkepentingan untuk meneliti kembali secara seksama putusan Praperadilan yang telah dikeluarkan," imbuhnya.
Herwantoni juga menjelaskan lebih detail mengenai fokus dari pemeriksaan dalam sidang Pra Peradilan. "Apa yang disampaikan oleh rombongan aksi massa terkait putusan Pra Peradilan ini perlu diluruskan. Pra Peradilan itu ruang lingkupnya sangat spesifik, yaitu mengenai hukum formal, tentang sah atau tidaknya status seseorang ditetapkan sebagai tersangka, dilakukan penangkapan, atau penahanan. Kemungkinan besar, dalam putusan tersebut, hakim menilai ada syarat-syarat formal yang belum terpenuhi dalam proses penetapan tersangka. oleh karena itu, kami mendorong agar pihak korban segera mengajukan perkara pokoknya ke pengadilan. Dalam perkara pokok inilah, majelis hakim akan mengadili dan memutuskan mengenai benar atau salahnya perbuatan yang didakwakan. Jika nantinya ada pihak yang tidak puas terhadap putusan perkara pokok, baik terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum yang mewakili korban, silakan mengajukan upaya hukum banding, dan Perngadilan Tinggi memiliki kewajiban untuk mengadili permohonan banding tersebut," pungkas Herwantoni, mencoba memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai tahapan proses hukum yang ada.
Sebelumnya, Darmanto Efendi mengajukan gugatan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Palembang setelah merasa keberatan dengan penetapan dirinya sebagai tersangka oleh pihak kepolisian dalam kasus dugaan KDRT dan penelantaran anak yang dilaporkan oleh istrinya, Erna. Dalam amar putusan yang dibacakan oleh hakim tunggal Romi Sinarta, gugatan Praperadilan dari pemohon dikabulkan.
Hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Darmanto Efendi sebagaimana tertuang dalam surat penetapan tersangka tertanggal 11 April 2025 adalah tidak sah menurut hukum. Putusan inilah yang kemudian memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk ratusan massa yang tergabung dalam GTR, yang menilai putusan tersebut sebagai bentuk ketidakadilan bagi korban KDRT.(*)