Senjakala Museum Sriwijaya yang Rindu Pengunjung

Jurnalis: Wisnu Akbar Prabowo
Editor: Millah Irodah

27 Desember 2024 13:30 27 Des 2024 13:30

Thumbnail Senjakala Museum Sriwijaya yang Rindu Pengunjung Watermark Ketik
Tampak depan Museum Sriwijaya yang merupakan satu dari tiga bangunan utama di kawasan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Saat memasuki museum, pengunjung akan disambut oleh Arca Buddha Bukit Siguntang. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)

KETIK, PALEMBANG – Siang itu, suasana hening sekali. Setiap kali aku mengambil langkah, aku bisa mendengar jelas suara tapak sepatuku menggema di sepanjang lorong Museum Sriwijaya.

Sepertinya, bukan aku yang melihat-lihat benda historis di museum ini, melainkan merekalah yang mengamati gerak-gerikku melirik satu persatu koleksi bersejarah yang menceritakan kisah Kerajaan Sriwijaya di masa lampau.

Prasasti-prasasti di sana tampak rapi namun dingin, seolah jarang berbicara dengan manusia. Namun ketika diperhatikan lebih lanjut, tampaknya mereka hendak bercerita banyak hal akan kesaksian di zaman dulu.

Aku berdiri menghadap sebuah replika dari Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini dianggap sebagai salah satu penemuan terpenting dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya, sebab benda ini merupakan bukti tertulis pertama tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di Kota Palembang.

Prasasti, yang diperkirakan berasal dari tahun 683 Masehi, itu bercerita tentang Dapunta Hyang, seorang raja besar Sriwijaya. Dia tengah melakukan perjalanan suci "siddhayatra" (perjalanan spiritual) dari Minanga Tamwan dengan membawa armada dan 20.000 pasukan.

Tujuannya, untuk mencapai kemakmuran. Perjalanan ini dianggap sebagai awal mula ekspansi Kerajaan Sriwijaya dan peneguhan kekuasaannya sebagai kerajaan maritim raksasa di Asia Tenggara.

Ketika sedang asyik melamun di hadapan prasasti itu, pikiranku langsung teralihkan saat aku mendengar suara seorang pria dari balik dinding pembatas. "Hmm, ini menarik," tutur pria itu. Apa yang menarik? Aku harus ke sana.

Tak jauh dari tempatku semula, terlihat seorang pria berpakaian rapi dan nyetil. Dia mengenakan kemeja biru dongker panjang yang dilipat ujung lengannya. Tangannya diangkat setinggi wajah dengan menggenggam ponsel. Kedua kakinya berjalan dari satu tempat ke tempat lain.

Rupanya, dia tengah merekam video. Mulutnya juga komat-kamit membaca deskripsi tiap koleksi bersejarah, dengan sesekali mengeraskan suaranya seperti yang kudengar barusan.

Karena tak ada orang lain selain kami berdua, maka keinginanku untuk berbincang dengan pria itu semakin kuat. Maka, kudekatilah pria itu. Sesaat sebelum kusapa, dia berbicara lagi, "Besok, aku bawa anak-anak ke sini biar tahu sejarah Palembang, sejarah Sriwijaya." Sepertinya, dia benar-benar takjub melihat koleksi prasasti di sini.

Foto Lorong utama pada Museum Sriwijaya menyajikan kisah tentang Kerajaan Sriwijaya berdasarkan kronologis cerita, dari awal hingga akhir. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)Lorong utama pada Museum Sriwijaya menyajikan kisah tentang Kerajaan Sriwijaya berdasarkan kronologis cerita, dari awal hingga akhir. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)

Setelah merasa puas membaca isi prasasti-prasasti tersebut, dia baru menyadari bahwa ada aku di sebelahnya. Lantas, kami pun berbincang-bincang santai sembari memerhatikan sebuah pahatan batu bernama Prasasti Kota Kapur. Prasasti itu berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm di bagian bawah dan meruncing ke atas dengan lebar 19 cm pada bagian puncak. Dengan senang hati, pria itu menceritakan isi dari Prasasti Kota Kapur yang berada di hadapan kami.

Alkisah, pada abad ke-7 Masehi, raja Sriwijaya, Dapunta Hyang mengeluarkan perintah untuk melakukan ekspedisi militer ke Pulau Jawa. Ekspedisi ini disebut sebagai upaya Sriwijaya menaklukkan penduduk Jawa yang dianggap melawan dan, dalam Prasasti Kota Kapur, disebut sebagai “yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya”—tidak disebutkan siapa, tetapi kemungkinan besar “saya” di sini adalah sang raja Dapunta Hyang.

Selain berisi tentang perintah ekspedisi militer, Prasasti Kota Kapur juga memuat inskripsi berupa doa kepada para dewa—memohon perlindungan, terutama dari Dewa Wajrapani, untuk melindungi Kerajaan Sriwijaya—dan kutukan terhadap siapa saja yang melanggar aturan atau mengkhianati Kerajaan Sriwijaya. Secara keseluruhan, isi Prasasti Kota Kapur bercerita mengenai ambisi raja Sriwijaya untuk menaklukkan siapapun yang menghalangi jalannya.

Usai bercerita, barulah dia memperkenalkan namanya: Sahrun. Pria 46 tahun itu merupakan putra asli Ogan Komering Ulu (OKU) Timur yang saat ini tinggal di Kecamatan Gandus, Kota Palembang, tepatnya di dekat Jembatan Musi II. Walaupun sudah lama tinggal di Kota Palembang, Sahrun mengaku baru tahu kalau ada museum di dekat tempat tinggalnya. Hal ini menumbuhkan sebuah pertanyaan, apakah nama Museum Sriwijaya tak seagung nama kerajaan yang dipakai sebagai julukan Kota Palembang “Bumi Sriwijaya”?

Hanya satu bangunan “kecil”

Museum Sriwijaya adalah satu dari tiga bangunan utama yang terletak di dalam kompleks Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) di Jalan Syakyakirti, Karang Anyar, Kecamatan Gandus, Kota Palembang. Luas bangunannya sendiri adalah 600 meter persegi. Museum Sriwijaya memiliki koleksi benda prasejarah sebanyak kurang lebih 2.000 artefak, termasuk berbagai pecahan artefak yang belum terdata dan teridentifikasi karena jumlahnya sangat banyak.

Kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa ada museum di Kawasan TPKS. Orang-orang tahunya mengenal TPKS sebagai tempat wisata dengan kanal dan suasana alam yang “instagramable”. Itulah yang disampaikan Sahrun mengenai keberadaan Museum Sriwijaya.

“Sebenarnya sering kalau lewat sini dan masuk ke Kawasan TPKS, tapi baru tahu ada museum di sini. Ini juga baru sekali masuk melihat isi Museum Sriwijaya,” terang Sahrun, Rabu 25 Desember 2024.

Kami pun lanjut mengobrol sembari berjalan berkeliling museum. Tak lama berselang, langkah kami pun terhenti di depan sebuah batang kayu yang digunakan sebagai kemudi kapal pada masa Kerajaan Sriwijaya. Sahrun lalu menceritakan pengalaman pertamanya ketika memasuki ruangan museum berumur 30 tahun tersebut.

Awalnya, dia berpikir bahwa museum hanyalah sebagai tempat penyimpanan benda-benda tua. Stigma ini dia peroleh dari lingkungan sosial dan lingkaran pertemanannya. Sebelum dia memutuskan untuk memasuki Museum Sriwijaya, Sahrun masih menganggap miring keberadaan museum itu sendiri.

Namun, dalam pengakuannya, dia merasa bahwa apa yang dipikirkan itu kurang benar. Setelah dirinya mondar-mandir menyaksikan setiap artefak di sana, Sahrun merasa jiwanya terbawa ke masa di mana artefak tersebut digunakan atau dibangun oleh orang-orang terdahulu, contohnya seperti kemudi kapal yang kini berada di hadapan kami.

“Kemudi ini panjangnya mencapai empat meter, artinya ini kapalnya dulu sangat besar, wajar orang-orang kita dulu itu pelaut hebat. Ini ‘kan sejarah penting, sayangnya orangtua itu jarang memberi pelajaran sejarah seperti ini kepada anaknya, termasuk kepada saya,” tutur Sahrun.

Foto Sahrun (46) saat sedang merekam video Prasasti Kota Kapur yang berisi inskripsi tentang doa, kutukan, serta ekspedisi militer yang dilakukan Kerajaan Sriwijaya. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)Sahrun (46) saat sedang merekam video Prasasti Kota Kapur yang berisi inskripsi tentang doa, kutukan, serta ekspedisi militer yang dilakukan Kerajaan Sriwijaya. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)

Sahrun turut menyayangkan tempat wisata edukatif seperti Museum Sriwijaya justru sepi dari pengunjung. Sepi di sini bukan hanya bicara jumlah orang yang berkunjung, tetapi juga berbicara tentang sepinya orang yang haus akan sejarah. Padahal menurut Sahrun, Museum Sriwijaya sangat terawat dan bersih.

Itulah yang menjadi alasan Sahrun ingin mengajak anak-anaknya ke sini. Dia ingin memperkenalkan kepada putra-putrinya bahwa wisata sejarah sangat menyenangkan, apalagi di kota tua seperti di Kota Palembang.

Tak acuh akan sejarah

Rupanya anggapan awal Sahrun mengenai pandangan orang-orang terkait keberadaan museum diiyakan oleh Pemandu Wisata Museum Sriwijaya, Nadila (21). Dia menyebutkan bahwa masyarakat masih belum sadar kalau di Kawasan TPKS menyimpan sebuah museum dengan segudang temuan arkeologis dengan nilai sejarah tinggi.

Rendahnya tingkat kesadaran tersebut berbanding lurus dengan jumlah pengunjung perhari yang masih dapat dihitung dengan jari. Menurut Nadila, rata-rata pengunjung harian Museum Sriwijaya berjumlah sepuluh orang. Sepuluh! Tak kurang dan tak lebih dari jumlah normal jari tangan manusia. Angka itupun didominasi oleh kalangan pelajar dan mahasiswa yang tengah mengerjakan studi atau penelitian sejarah. Jadi jangan ditanya seminim apa jumlah masyarakat umum yang ke sana.

“Sehari itu bisa sampai sepuluh pengunjung. Itu kebanyakan dari orang-orang tertentu seperti mahasiswa, anak-anak sekolah,” ungkap Nadila.

Padahal, Museum Sriwijaya telah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah—Kemendikdasmen) agar tiap sekolah di Kota Palembang mengadakan kunjungan rutin ke sana. Namun, hal itu nyatanya tak begitu mendongkrak popularitas Museum Sriwijaya.

“Kita ada kerja sama dengan Kemendikbud agar anak-anak sekolah dari SD sampai SMA direkomendasikan ke sini. Mereka kalau ke sini gratis karena dibiayai menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS),” lanjutnya.

Popularitas inilah yang menjadi PR Museum Sriwijaya. Selain kerja sama dengan Kemendikdasmen dan Dinas Pariwisata Kota Palembang, sejumlah upaya untuk memanggil pengunjung juga sudah dilakukan oleh pihak pengelola Museum Sriwijaya, di antaranya mengadakan kegiatan umum seperti lomba dan memanfaatkan media sosial untuk keperluan promosi.

Hanya saja, strategi tersebut belum begitu ampuh untuk mendongkrak angka kunjungan Museum Sriwijaya. Kalau beruntung, dalam sebulan Museum Sriwijaya bisa dikunjungi sebanyak 400 orang. Kalau tidak, menyentuh angka 300 orang saja sudah luar biasa.

Sebagai perbandingan, beberapa museum besar di Kota Palembang seperti Museum Balaputra Dewa dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) pada tahun 2023 memiliki jumlah pengunjung rata-rata perbulan masing-masing sebanyak 4.700 orang dan 1.500 orang.

“Tantangan terberat kita ya harus dipublikasikan lagi, mengingat kalau masyarakat main ke sini (TPKS) juga tidak terlalu dihiraukan museumnya. Meski minat mereka belajar tentang sejarah masih minim, kita tetap berharap setiap hari akan menjadi lebih baik lagi, lebih banyak pengunjung yang bisa melihat semua artefak di sini,” harapnya.

Untuk ukuran museum sekaya ini, angka kunjungan itu terdengar amat menyedihkan. Meski museum ini mewarisi nama besar Sriwijaya, tetapi keagungan nama itu ternyata belum bisa menggugah rasa keingintahuan orang-orang untuk datang dan mendengar cerita dari dunia lama.

Lantas, begitulah kisah senjakala Museum Sriwijaya, rumah bagi para artefak dari sebuah kerajaan maritim raksasa di Asia Tenggara. Artefak-artefak itu ingin menceritakan banyak hal dari masa lalu. Mereka rindu pengunjung. (*)

Tombol Google News

Tags:

museum sriwijaya sepi Pengunjung Rindu senjakala Wisata liburan Destinasi Palembang