KETIK, MALANG – Penangkapan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto dinilai sarat dengan unsur politik. Hal ini disampaikan Pakar Ilmu Politik dari Universitas Brawijaya (UB), Ja'far Muhammad.
Pasalnya, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK 24 Desember 2024, Hasto justru ditangkap pada momen krusial PDIP. Penangkapan tersebut direspon langsung Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Mega memberikan instruksi agar Kepala Daerah kader PDIP menunda keberangkatan untuk retreat.
"Bahwa penangkapan tersebut diduga berkaitan dengan perjalanan kelembagaan institusi KPK. Perlu diketahui bahwa KPK dibentuk saat Megawati menjabat sebagai Presiden RI," kata Pakar Ilmu Politik UB, Ja'far Muhamad, Jumat, 21 Januari 2025.
Terdapat kecenderungan pelemahan KPK yang digunakan sebagai alat kontrol kekuasaan jika hukum yang diterapkan tebang pilih. Namun dalam konteks penegakan hukum, KPK cenderung berani mengingat PDIP telah menjadi partai yang berkuasa selama 10 tahun.
"Kalau dilihat dari kacamata politik tentu ini bisa dibilang sangat politis. Pertama, kasus Harun Masiku ini sudah lama. Kenapa gak dari dulu waktu PDIP masih berkuasa. Di sini KPK terlihat sekali sangat lemah, tergantung siapa yang berkuasa," sebutnya.
Pakar Ilmu Politik dari Universitas Brawijaya (UB), Ja'far Muhammad. (Foto: Ja'far Muhammad)
Kondisi ini juga tidak terlepas dari hubungan Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam dinamika politik saat ini. Prabowo dinilai berkepentingan mempertahankan dukungan Jokowi demi stabilitas pemerintahannya. Komitmen tersebut ditunjukkan dari kasus hukum yang menyeret PDIP.
"Ketika PDIP berkuasa, KPK gak berani nangkap, tapi sekarang kan bukan, dan PDIP kebetulan lagi berseberangan dengan Jokowi yang mendukung Prabowo. Itu kan negara memainkan instrumen kekuasaannya untuk kepentingan politik," lanjutnya.
Selain itu momen penangkapan Hasto juga berdekatan dengan pelaksanaan Kongres PDIP. Hasto memiliki peran sangat sentral sebagai Sekjen dalam menjalankan fungsi keorganisasian partai.
"Jadi kelihatan mainan antar lembaga politik maupun institusi pemerintah. KPK kalau dilihat sebagai kacamata lembaga, dia institusi negara. Tapi karena proses politik kita bisa menilai bahwa itu sangat politis kalau dikaitkan dengan mau kongres partai," tuturnya.
PDIP mencoba unjuk gigi sebagai partai yang kuat dengan instruksi penundaan retreat kepala daerah usungannya. Selain itu, Ja'far menilai bahwa instruksi tersebut juga untuk menghindari adanya proses pelobian di belakang PDIP.
"Kalau mengumpulkan menteri karena Prabowo yang milih. Sedangkan kepala daerah, bukan Prabowo yang memilih. Makanya saya menduga di retreat itu akan ada pesan-pesan khusus yang sama sekali gak boleh dilihat oleh pihak luar," terangnya.
Jika PDIP tampil apik dalam akrobat politik ini, akan ada keuntungan yang didapatkan dari penangkapan Hasto. Salah satunya penegasan bahwa PDIP merupakan partai yang tetap kuat dan memiliki kuasa meskipun tidak berada di struktur pemerintahan Prabowo.
"PDIP menunjukkan kuasanya sekarang. Apakah terlihat lemah, justru menurut saya PDIP punya kekuatan yang sebegitunya. Belum tentu partai lain bisa seperti itu. Perkataan Hasto untuk menyelidiki Jokowi, adalah bentuk perlawanan PDIP bahwa dia gak bisa semena-mena," jelasnya.
Dalam perjalanan kasus tersebut, belum dapat dipastikan pihak mana yang akan diuntungkan dari penangkapan Hasto. Namun Ja'far menegaskan bahwa dalam politik tidak ada kemenangan serta kekalahan yang absolut. Semua pihak saling beradu seiring dengan perkembangan kasus tersebut.
"Dalam kalkulasi politik pasti dihitung, sehingga siapa yang menang, menurut saya adalah yang bisa terlihat sebagai korban. Entah itu PDIP atau pihak pemerintah dalam tanda kutip KPK di pemerintahan Prabowo dan didukung oleh Jokowi," tutupnya. (*)