KETIK, SURABAYA – Beberapa hari terakhir, media sosial Indonesia diramaikan dengan beredarnya kabar bahwa polisi bisa langsung menyita kendaraan masyarakat yang terkena tilang bila surat tanda nomor kendaraan atau STNK mati selama dua tahun.
Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Bagong Suyanto Drs M.Si menilai isu ini harus dilihat dalam konteks keadilan sosial.
“Kewajiban membayar pajak berlaku universal. Siapapun wajib membayar pajak sesuai hak dan kewajibannya. Kalau ada warga yang kesulitan membayar pajak, tentu bisa dilakukan diskresi,” ungkapnya melalui keterangan tertulis pada Kamis 20 Maret 2025.
Namun, permasalahan utama bukan sekadar masyarakat kecil yang menunggak pajak, melainkan bagaimana para kelompok ekonomi atas justru lebih lihai dalam menyiasati kewajiban perpajakan mereka.
“Skandal yang terjadi selama ini di birokrasi pemerintah soal pajak membuktikan bahwa isu ini membutuhkan konsistensi,” tegasnya.
Masyarakat kelas bawah seringkali terjebak dalam kesulitan ekonomi berpotensi menjadi kelompok yang paling rentan oleh kebijakan ini.
Mereka tidak hanya mengalami kesulitan dalam membayar pajak kendaraan, tetapi juga akan terancam kehilangan kendaraan yang mereka gunakan untuk mencari nafkah jika aturan penyitaan diberlakukan tanpa adanya mekanisme keringanan.
Menurut Dekan FISIP ini, perlu kebijaksanaan dari para elit politik untuk menerapkan pemutihan pajak, terutama situasi ekonomi sedang sulit seperti saat ini. Jika tidak ada kebijakan yang lebih fleksibel, kebijakan ini dapat memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi.
Dalam konteks penerapan tilang elektronik (ETLE), Prof Bagong mengungkapkan bahwa sistem ini memiliki keterbatasan dalam melakukan diskresi.
“Tilang elektronik tidak memungkinkan adanya diskresi,” ujar Prof Bagong.
Ini berarti bahwa sistem akan menindak pelanggar secara otomatis, tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi atau alasan di balik keterlambatan pembayaran pajak kendaraan.
Meski pihak kepolisian menegaskan bahwa tidak ada perubahan aturan tilang dan tetap mengacu pada regulasi yang sudah ada. Namun, fakta bahwa isu ini menimbulkan kegelisahan di masyarakat menunjukkan adanya celah dalam sistem sosialisasi kebijakan.
Di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan pajak kendaraan. Namun disisi lain, tanpa adanya mekanisme perlindungan bagi masyarakat kecil, kebijakan ini bisa berujung pada ketidakadilan sosial.
"Perlu sistem keringanan atau cicilan pajak bagi warga kurang mampu, sementara pelaku usaha besar harus diawasi ketat agar tak menghindari pajak. Jika tak seimbang, kebijakan ini bisa memperlebar kesenjangan sosial,” pungkasnya.(*)