KETIK, ACEH SINGKIL – Pementasan akhir, Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS), yang diikuti 23 sekolah se-Aceh Singkil, dinilai memiliki potensi kembangkan kebudayaan lokal dan cuan dari sisi ekonomi.
Pernyataan itu diutarakan, Esi Hermaliza, Pamong Budaya Ahli Muda dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah 1 Aceh, Sabtu, 19 Oktober 2024 kemarin, di Coffee Raja, Singkil.
"Gerakan ini tidak hanya sekadar memperkenalkan seni kepada generasi muda, tetapi juga menjadi peluang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui sektor budaya," ujarnya.
Menurut Esi, BPK Wilayah 1 Aceh yang berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, memiliki peran penting dalam mendampingi dan memonitor pelaksanaan GSMS.
Program ini melibatkan enam sekolah di enam kabupaten/kota di Aceh, yang dipilih dengan harapan bisa menjadi contoh bagi wilayah lain. Yakni, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar, Aceh Timur, Langsa dan Aceh Singkil.
"Kami ingin memastikan bahwa pelaksanaan GSMS ini tidak hanya berjalan baik, tetapi juga memberikan dampak positif pada kelangsungan kebudayaan lokal," jelas Esi.
Di sisi lain, Esi juga menekankan bahwa kebudayaan bukan hanya soal tari-tarian, tetapi mencakup berbagai aspek seni. Dalam hal ini, UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menyoroti 10 objek pemajuan kebudayaan (OPK), termasuk seni dan cagar budaya.
Hal ini penting, karena potensi budaya di Aceh sangat beragam, dan setiap daerah harus memaksimalkan seluruh unsur kebudayaan yang ada.
Membangun Potensi Ekonomi dari Seni
Selain dari aspek edukasi, tambahnya, GSMS juga memiliki tujuan ekonomi. Esi menegaskan bahwa salah satu tantangan utama dalam pembangunan kebudayaan adalah bagaimana seni dapat menjadi sumber penghasilan bagi para pelaku seni.
"Indeks pembangunan kebudayaan kita masih rendah dalam hal ekonomi budaya. Seniman kita sejahtera tidak dengan karya yang mereka buat? Jika seni bisa dikembangkan menjadi pertunjukan yang berdampak ekonomi, itulah tujuan yang harus dicapai," paparnya.
Program GSMS ini dianggap bisa menjadi landasan untuk mengembangkan potensi ekonomi budaya di Aceh Singkil. Salah satu contoh yang diangkat adalah seni tari lokal, seperti Tari Dampeng, yang berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi pertunjukan profesional.
Menurut Esi, jika seni lokal ini bisa dikemas dengan baik dan dipertunjukkan secara profesional, tidak menutup kemungkinan akan mendatangkan keuntungan ekonomi, baik bagi seniman maupun daerah.
Program GSMS tidak bisa berjalan tanpa adanya kolaborasi antara pemerintah daerah, seniman, dan masyarakat. Esi mengungkapkan bahwa peran pemerintah daerah sangat krusial dalam menyediakan anggaran dan fasilitas untuk keberlanjutan program ini.
"Pemerintah daerah harus memiliki komitmen untuk mendukung program-program kebudayaan. Kalau hanya mengandalkan anggaran dari pusat, akan sulit untuk memastikan kesinambungan program ini," jelasnya.
Meski begitu, Esi juga mengapresiasi semangat para seniman yang terlibat dalam GSMS. Banyak dari mereka yang rela meluangkan waktu lebih banyak dari yang ditetapkan untuk mengajar dan melatih para siswa, menunjukkan dedikasi tinggi terhadap pelestarian seni dan budaya.
Pada akhirnya, GSMS di Aceh Singkil tidak hanya menjadi wadah edukasi seni bagi siswa, tetapi juga membuka jalan bagi pemberdayaan ekonomi budaya. Jika dikelola dengan baik, GSMS bisa menjadi panggung bagi seniman lokal untuk menampilkan karyanya, dan sekaligus menjadi bagian dari strategi pembangunan ekonomi berbasis kebudayaan.
Esi Hermaliza menegaskan, keberhasilan GSMS di Aceh Singkil memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah, seniman, maupun masyarakat. Menurutnya, GSMS tidak hanya bertujuan untuk melatih dan mengenalkan seni kepada siswa di sekolah-sekolah, tetapi juga mendorong terwujudnya ekosistem seni budaya yang mampu berkembang secara mandiri di tingkat lokal.
"Dalam beberapa tahun terakhir, kami melihat ada perkembangan positif dalam pelaksanaan GSMS, khususnya dari segi keterlibatan seniman muda yang mulai mengambil peran penting dalam regenerasi kebudayaan.
Di Aceh Singkil, misalnya, kita melihat semakin banyak anak-anak yang secara spontan bisa menampilkan tarian tradisional seperti Tari Saman dari Gayolues atau Tari Dampeng dari Aceh Singkil, Ini menunjukkan bahwa warisan budaya mulai mengakar di generasi muda," lanjut Esi.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa keterlibatan seniman dalam GSMS bukan sekadar memberikan panggung bagi mereka, tetapi harus diiringi dengan dukungan berkelanjutan dari pemerintah.
Kolaborasi dengan dinas pendidikan dan kebudayaan setempat menjadi kunci agar program ini terus berjalan, terutama dalam hal pendanaan.
Salah satu aspek penting yang menjadi fokus dalam pelaksanaan GSMS adalah bagaimana seni dan budaya bisa memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi para seniman. Menurut Esi, tantangan utama dalam pemajuan kebudayaan adalah menciptakan sebuah ekosistem di mana karya seni tidak hanya dinikmati, tetapi juga mampu memberikan penghidupan bagi pelakunya.
"Selama ini, seniman kita masih banyak yang belum merasakan dampak ekonomi dari karya yang mereka hasilkan. Dalam indeks pembangunan kebudayaan, aspek ekonomi budaya masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa karya seni, khususnya yang lahir dari GSMS, bisa dikembangkan menjadi sebuah pertunjukan yang bernilai ekonomi," jelas Esi.
Ia memberi contoh bagaimana beberapa kabupaten lain berhasil menciptakan ruang ekonomi dari program GSMS. Salah satu contohnya adalah pendirian sanggar seni yang dikelola oleh lulusan GSMS, yang kemudian bisa menjadi sumber pendapatan bagi para pelaku seni. Potensi ini, menurutnya, bisa dicapai di Aceh Singkil jika program ini dikelola dengan baik dan mendapatkan dukungan yang memadai dari pemerintah setempat.
Sementara Ahmadi Guniajati, Direktorat Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbud Riset yang juga hadir mendampingi Esi, juga menyampaikan harapannya agar panggung seni yang diciptakan melalui GSMS bisa dikelola secara lebih profesional di masa depan.
Menurutnya, bukan hanya anak-anak yang perlu ditampilkan, tetapi juga karya-karya seniman lokal yang berpotensi besar untuk dipasarkan ke khalayak yang lebih luas.
"Kalau panggung seni ini bisa dikelola dengan profesional, bukan tidak mungkin kita bisa bernilai jual dan menarik penonton dari berbagai kalangan. Ini akan menjadi salah satu cara untuk menggerakkan ekonomi budaya di tingkat lokal," tuturnya.
Seniman yang terlibat dalam GSMS, lanjutnya, juga diharapkan bisa lebih inovatif dalam menciptakan karya seni yang relevan dengan perkembangan zaman tanpa melupakan akar tradisi.
Ia menyebutkan bahwa sentuhan-sentuhan kreatif dari seniman muda sudah mulai terlihat, dan ini merupakan sinyal positif bagi masa depan kebudayaan di Aceh Singkil.
Meski GSMS menunjukkan hasil yang menjanjikan, Ahmad tidak memungkiri adanya tantangan besar dalam memastikan keberlanjutan program ini. Salah satu tantangan utamanya adalah keterbatasan anggaran dari pemerintah pusat, yang setiap tahun harus dibagi ke berbagai daerah di seluruh Indonesia.
"Semakin tahun, semakin banyak daerah yang melamar untuk ikut serta dalam GSMS. Jadi kita harus siap berkompetisi untuk mendapatkan dukungan dari pusat. Di sisi lain, pemerintah daerah juga harus mulai berpikir bagaimana caranya mendanai program ini secara mandiri jika nantinya tidak ada lagi anggaran dari pusat," jelasnya.
Kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk sektor swasta, juga bisa menjadi salah satu solusi untuk memastikan keberlanjutan GSMS. Esi menekankan pentingnya membangun kemitraan yang kuat antara pemerintah daerah, seniman, dan pihak lain yang berkepentingan untuk menjaga kebudayaan tetap hidup dan berkembang.
Dengan potensi yang ada, Ahmad berharap Aceh Singkil bisa menjadi contoh sukses pelaksanaan GSMS di Aceh dan di wilayah lainnya.
"Jika kita bisa mengelola potensi ini dengan baik, bukan hanya seni dan budaya yang berkembang, tetapi juga ekonomi masyarakat yang akan ikut terangkat," tutupnya optimis.(*)