Kisah Penyelam Gili Ketapang: Hadapi Risiko Gendang Telinga Pecah, Kelumpuhan hingga Kematian

Jurnalis: Siti Fatimah
Editor: M. Rifat

2 Juni 2024 23:01 2 Jun 2024 23:01

Thumbnail Kisah Penyelam Gili Ketapang: Hadapi Risiko Gendang Telinga Pecah, Kelumpuhan hingga Kematian Watermark Ketik
Syarifuddin saat berbincang dengan Ketik.co.id di atas kapal miliknya (1/6/2024) (Foto: Yusuf/Ketik.co.id)

KETIK, SURABAYA – “Jadi penyelam itu takdir dibikin sendiri, bukan dari Yang Maha Kuasa. Kalau sudah tahu badan tidak mampu, kenapa diteruskan? Itu namanya bunuh diri.”

Begitulah kalimat yang diucapkan Syarifuddin, pemilik kapal yang mengantarkan rombongan Ketik.co.id menuju Pulau Gili Ketapang, Probolinggo, Sabtu (1/6/2024).

Di atas kapal miliknya, Syarif (33) bercerita mulanya ia bukanlah seorang pemilik kapal yang menyewakan kapalnya pada para wisatawan secara privat. Sebelumnya, ia seorang nelayan yang bertugas mencari ikan di tengah laut.

Namun karena hasil tangkapan ikan tidak pasti, ia memutuskan meninggalkan profesi yang sudah digelutinya selama 15 tahun itu. Dia beralih menjadi penyelam yang membantu menaikkan kapal karam atau menata terumbu karang bawah laut.

Ia mengaku pekerjaan itu lebih menjanjikan dibanding jadi nelayan. Sekali menyelam, ia bisa mengantongi sekitar Rp1 juta 250 ribu.

“Kadang seminggu bisa tiga kali. Sekali menyelam dapat 5 juta, itu dibagi sama empat orang,” beber Syarif.

Meski menjanjikan, di bawah kedalaman 20 meter lebih tentu saja mengandung risiko besar. Tekanan bawah air yang membahayakan bisa saja merusak organ. Salah satunya alat pendengaran.

“Gendang telinga saya pernah sampai bocor, mengeluarkan darah. Tapi lama kelamaan sembuh sendiri, normal lagi. Habis ngalamin itu kuat sudah telinganya,” katanya sembari memegang kedua daun telinga.

Benar saja, saat Ketik.co.id mencoba melakukan snorkeling di kedalaman kurang dari 2 meter saja, telinga terasa sedikit sakit. Apalagi penyelam seperti Syarif yang kedalaman menyelamnya bisa menyentuh 20 meter.

“Kalau saya paling banter 30 meter, melewati itu saya nggak berani,” imbuh bapak dua anak itu.

Tidak hanya mengancam pendengaran, penyelam bisa saja menghadapi risiko kelumpuhan apabila terus menerus dipaksakan. Syarif mengungkap ada salah seorang temannya yang nyaris lumpuh hingga akhirnya memilih berhenti menjadi penyelam.

“Risikonya besar, nyawa taruhannya. Kalau sudah tidak mampu tapi masih diterusin, cari mati namanya,” tegasnya.

Foto Kamil, penyelam sekaligus tour guide snorkeling di Pulau Gili Ketapang (Foto: Fatimah/Ketik.co.id)Kamil, penyelam sekaligus tour guide snorkeling di Pulau Gili Ketapang (Foto: Fatimah/Ketik.co.id)

Selaras dengan Syarif, Kamil sebagai penyelam juga sempat menceritakan risiko menjalani profesi penyelam seperti dirinya. Mulai dari gendang telinga pecah, stroke, lumpuh sampai nyawa jadi taruhan .

“Makanya kalau sudah nggak kuat nyelam di atas 10 meter tapi tetap maksa itu bahaya, bisa cepat rusak gendang telinganya. Risiko stroke juga ada,” ungkap Kamil.

Untuk alat bantu menyelam, Kamil menjelaskan mereka menggunakan kompesor, yakni alat bantu pernapasan menggunakan selang yang diletakkan di atas kapal. Alat tersebut lebih murah ketimbang tabung oksigen yang biasa digunakan untuk diving, namun tentu lebih membahayakan.

“Tentu lebih membahayakan, apalagi kalau alat itu udah nggak jalan, ya mati,” lanjutnya.

Itulah mengapa di usianya yang sudah berkepala tiga ini, Syarif lebih memilih membuka jasa sewa kapal untuk mengantar para wisatawan ke Pulau Gili Ketapang. Sebab semakin tua usia penyelam, risiko yang dihadapi semakin besar.

“Usia di atas 30 tahun itu besar risikonya. Sekarang enak begini meski modalnya mahal hampir 90 juta waktu itu buat bikin kapal, tapi aman,” ujar Syarif.(*)

Tombol Google News

Tags:

gili ketapang Pulau Gili Ketapang Penyelam Gili Ketapang