Perguruan Tinggi dan Bayang-Bayang Klientelisme Politik

Editor: Mustopa

4 Oktober 2024 17:50 4 Okt 2024 17:50

Thumbnail Perguruan Tinggi dan Bayang-Bayang Klientelisme Politik Watermark Ketik
Oleh: W. Eka Wahyudi*

Pada bulan November, Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Masyarakat Indonesia sekali lagi, setelah pemilu April lalu, akan diajak untuk merayakan pesta demokrasi untuk menentukan pemimpin baik gubernur, bupati dan wali kota. 

Agenda ini sebagaimana diatur dan ditetapkan dalam Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024. 

Berdasarkan surat tersebut, pemungutan suara Pilkada serentak tahun ini dijadwalkan akan berlangsung pada Rabu, 27 November 2024. Pada hari Senin (23/9) kemarin, KPU di berbagai daerah di Indonesia juga telah melaksanakan rapat pleno terbuka dalam rangka pengundian nomor urut pada masing-masing pasangan calon.

Namun sebelumnya, di sekujur jalan di beberapa wilayah sudah banyak baliho dan poster yang terpampang di jalan-jalan kota dan poros desa. Mereka tengah berpose untuk mengerek popularitasnya di tengah masyarakat. 

Para tim sukses juga bergerilya dengan berbagai cara dan strateginya. Fenomena gegap gempita Pilkada saat ini, suara perguruan tinggi seakan absen. Bunyinya cenderung kalah nyaring dibanding dengan saat pemilihan presiden beberapa bulan lalu. 

Padahal dalam konteks lokalitas, perguruan tinggi selayaknya tampil ke permukaan sebagai lokomotif demokrasi yang sehat, jujur, rasional dan adil di tingkat regional. Lalu, seperti apa posisi strategis perguruan tinggi di tengah hiruk pikuk perebutan kursi kepala daerah yang akan berlangsung beberapa bulan ke depan?

Pilkada dan Godaan Kekuasaan

Tak bisa dipungkiri bahwa demokrasi ibarat pedang bermata dua. Sebagai sebuah sistem, ia memang menjamin kebebasan masyarakat dalam berpendapat, berserikat dan menentukan pilihannya. 

Namun di sisi lain, potensi konflik horizontal, intervensi dan laku transaksional masih menjadi benalu pada khittah penyelenggaraan demokrasi yang sesungguhnya. 

Ongkos demokrasi di Indonesia, konon sangat mahal. Itulah mengapa para kontestan pemilu harus siap dengan kuda-kuda finansialnya untuk menjadi yang terpilih. Realitas inilah yang mendorong para politisi berselingkuh dengan para pemilik modal. 

Dari sinilah transaksi menemukan tempatnya yang paling subur. Semua diperjualbelikan dan dijanjikan dengan harapan akan mendapatkan kue di kemudian hari.

Tak sampai disitu, para tokoh agama dan pemimpin ormas keagamaan juga dirangkul untuk melegitimasi profilnya sebagai calon yang dekat dan perhatian terhadap kelompok keagamaan tertentu. 

Perselingkuhan antara politisi, pengusaha dan tokoh agama berjemalin menjadi satu energi yang mengiringi pesta demokrasi.

Pilkada menjadi ajang saling klaim, rasionalitas menjadi terkubur, visi dan gagasan menjadi kabur, yang disuguhkan justru sensitivitas kelompok tertentu dan jual beli suara yang oleh Burhanudin Muhtadi diistilahkan sebagai votes for sale.

Jebakan Klientelisme

Dalam konteks demokrasi dan pemilihan kepala daerah (pilkada), perguruan tinggi memiliki peran strategis yang seharusnya berfokus pada pengembangan pendidikan politik yang sehat, membangun kesadaran kritis masyarakat, dan mengawasi dinamika politik agar tetap berada dalam koridor demokrasi yang bersih.

Namun, perguruan tinggi dihadapkan pada jebakan klientelisme relasional yang justru akan menjadi sangat rumit dalam tataran praktisnya.

Klientelisme relasional yang dimaksud mengacu pada hubungan antara patron (elite politik) dan klien (pemilih atau kelompok masyarakat) yang saling menguntungkan.

Patron memberikan manfaat langsung atau bantuan kepada klien dalam bentuk uang, pekerjaan, atau layanan lainnya sebagai imbalan dukungan politik. Hubungan ini bersifat personal dan jangka panjang, berbeda dengan bentuk patronase langsung yang cenderung transaksional.

Dalam konteks ini, pemilihan kepala daerah (pilkada) sering kali menjadi ruang di mana praktik klientelisme ini tumbuh subur. Kandidat-kandidat mungkin berupaya mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok masyarakat melalui jaringan relasional, termasuk dari lembaga pendidikan perguruan tinggi.

Menghadapi realitas ini, perguruan tinggi, sebagai lembaga akademik perlu konsisten menjadi pengawas demokrasi dan mempromosikan nilai-nilai integritas, transparansi, dan keadilan sosial.

Hal ini mengingat dalam praktiknya, perguruan tinggi riskan untuk terlibat dalam atau bahkan terpengaruh oleh klientelisme relasional, misalnya pengaruh elite lokal. 

Beberapa elite politik lokal mungkin memiliki hubungan dekat dengan pimpinan perguruan tinggi atau kelompok akademisi. Perguruan tinggi bisa menjadi kendaraan bagi elite politik untuk memobilisasi dukungan dengan menjanjikan proyek penelitian atau bantuan lainnya.

Selain itu, posisi mahasiswa dan dosen sering kali menjadi agen dalam proses politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka bisa menjadi motor penggerak kampanye atau bahkan terlibat dalam relasi klientelistik jika mereka mendapatkan keuntungan langsung dari kandidat tertentu. 

Akibatnya, pendidikan politik akan terpolarisasi, jika perguruan tinggi terlibat dalam klientelisme, mereka akan gagal menjalankan fungsi pendidikan politik yang netral dan objektif. Hal ini dapat menyebabkan fragmentasi masyarakat dan mempromosikan polarisasi politik yang tidak sehat.

Tantangan dan Harapan

Perguruan tinggi menghadapi tantangan besar untuk menjaga independensi politiknya dan mencegah keterlibatan dalam praktik klientelisme relasional. 

Perguruan tinggi harus mampu menjadi pendulum dalam membangun kesadaran kritis di kalangan mahasiswa untuk mengenali dan menolak praktik-praktik politik yang tidak sehat. 

Melakukan riset independen untuk mengawasi proses demokrasi dan pemilu menjadi khittah politik perguruan tinggi yang lebih ilmiah, akademis dan non elektoral. 

Selain itu, perguruan tinggi dapat mengembangkan kolaborasi dengan lembaga-lembaga anti-korupsi atau pemantau pemilu untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam menjaga marwah demokrasi di tingkatan grass root.

Dalam agenda demokrasi yang bersih, perguruan tinggi diharapkan menjadi benteng moral dan rujukan etis, bukan sekadar alat untuk mencapai kekuasaan politik melalui jaringan klientelisme.

*) W. Eka Wahyudi adalah Wakil Rektor Universitas Islam Lamongan

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini W. Eka Wahyudi