Siapapun pembaca tulisan ini, terima kasih anda telah melek terhadap isu-isu sosial. Sebab butuh peta gerakan luas dan energi yang lebih untuk mengajak teman atau mahasiswa untuk bisa peduli terhadap isu-isu kerakyatan. Seharusnya sedari awal memilih menjadi mahasiswa berarti memilih menjadi tombak pemikir: memberi kritik dan saran. Kepada siapa? Kepada setiap institusi pemangku kebijakan baik lokal maupun tataran nasional.
Bulan ini telah menjadi sejarah bagi kaum buruh atau pejuang nafkah. Di setiap tanggal 1 Mei, upaya persatuan buruh untuk menyampaikan aspirasi dengan tuntutan kenaikan upah hingga jaminan kesehatan para pekerja, namun lagi-lagi tuntutan itu hanya menjadi tambahan “busa” yang bermuara di institusi negara, yang nantinya hilang tergerus angin liar. Melihat kondisi tersebut, para pejabat hanya mendiskusikannya hingga larut namun keputusannya nihil alias tidak membawa perubahan.
Pada bulan Mei ini, saya juga mendapatkan telepon dari sahabat ngopi. Awalnya saya menduga telepon dari sahabat saya itu mengajak bertemu untuk ngopi, sebab beberapa bulan kami sudah tak pernah bertatap muka untuk sekadar minum kopi dan berdiskusi.
Namun saya tersentak dengan awal obrolannya, setelah ucapan salam, ia langsung bertanya “Sam, kiro-kiro pembayaran ma’had iso dicicil ta? Soale muridku keterimo kuliah, tapi terkendala pembayaran ma’had seng langsung gedhene ngunu.” (Sam, kira-kira pembayaran ma’had bisa dicicil enggak? Soalnya muridku diterima kuliah tapi terkendala biaya ma’had yang nominalnya besar itu).
Sejenak saya berpikir lantas saya berucap dengan apa yang saya ketahui “sing tak ngerteni gaiso dicicil, Sam, soale bayar ma’had wes dadi sistem teko birokrasi kampus. Biaya ma’had e piro saiki, Sam?” (yang saya tahu tidak bisa dicicil, Sam. Soalnya pembayaran ma’had sudah tersistem oleh birokrasi. Berapa biaya ma’had sekarang?) dengan nada tinggi dan panik sahabatku menjawab “rong digit sam, 10 juta. Menowo ono iso ditolerir sam gawe awal pembayaran awal ma’had iki?” (dua digit sam, Rp. 10.000.000. siapa tahu bisa ditolerir untuk pembayaran awal ma’had ini?) dengan rasa yang kaget lantas saya jawab “pean coba ae hubungi pihak ma’had karo pihak kampus disek ae sam” (coba kamu hubungi pihak dari ma’had dan pihak dari keuangan kampus).
Percakapan kami berhenti sampai di situ. Lantas saya berpikir sejenak dan merenungkan atas musibah yang dialami calon mahasiswa sekarang, mereka ingin sekali menempuh pendidikan lebih tinggi tapi terhalang biaya yang mahal. Saya ingat, saat awal pendaftaran di kampus dengan kagetnya ada biaya untuk ma’had yang semahal itu (dulu masih 1 digit, Rp.7.500.000) dan sekarang tidak saya sangka ternyata bisa naik hingga 2 digit. ya tidak bisa dipungkiri ketika banyak calon mahasiswa yang gugur tidak melanjutkan hingga ke bangku perkuliahan.
Atas kejadian sekarang ini, saya diingatkan kembali diskusi tahun kemarin (2023) dengan beberapa sahabat perkopian dengan topik pembahasan yang sama seperti peristiwa kenaikan UKT sekarang ini. Dengan pembahasan yang santai tapi serius ini, salah satu sahabat memberikan sebuah pernyataan bahwa isu kenaikan uang kuliah tunggal ini selalu menjadi isu tahunan yang selalu menjadi problem mahasiswa. Namun sahabat saya memberikan stigma yang lain atas peristiwa tersebut “apakah dengan kenaikan UKT ini akan menimbulkan tumpulnya pemikiran kritis? Dan apakah dengan kenaikan UKT ini, perminatan gabung kepada organisasi ekstra kampus akan melemah?
Atas pertanyaan sahabat saya itu menghasilkan forum diskusi kecil-kecilan hingga larut malam. Belum sempat menjawab sahabat saya kemudian memberikan stimulus pertanyaan kembali dengan melontarkan pernyataan “masak iya, dengan dinaikkannya UKT itu menuntut kita agar cepat lulus saja lalu menjadi pengangguran dan minim pengalaman?” dengan wajah datar saya dengan sahabat yang lain memikirkan hal tersebut dan memang kita ingin berdiskusi itu untuk mendapatkan sebuah solusi yang tepat. Namun waktu terus berputar pertanyaan semua itu belum membuahkan hasil yang tepat, tapi saya yakin akan ada perubahan baik yang kembali diperjuangkan oleh kawanan mahasiswa.
Mengingat amanah Undang-undang Dasar terkait kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang harus dilakukan oleh pemerintah sekarang. Jika uang kuliah tunggal dimahalkan secara tidak langsung pemerintah tidak mengemban amanah itu dengan baik, apalagi dengan pernyataan salah satu pejabat Kemendikbud Ristek yang mengatakan bahwa tertiary education tidak masuk dalam program wajib belajar. Hal ini sangat mencederai masyarakat Indonesia sebab masih banyak anak-anak yang mendapatkan fasilitas belajar yang memadai dan juga secara tidak langsung pejabat sekarang mengkhianati nilai-nilai yang dulu pernah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Semoga nalar kritis mahasiswa selalu tajam, memberikan kritik dan pembelaan kepada masyarakat “lemah” dan semoga energi pada jiwa mahasiswa tetap menyala sebagaimana menyalanya energi para leluhur yang memperjuangkan kemerdekaan, kebebasan dan keadilan. Saya tutup tulisan ini dengan untaian bahasa latin “Vivere Militare Est” yang bermakna Hidup adalah Perjuangan.
*) Bagus Isnu H, S.Hum alumnus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan lulusan Pondok Pesantren Darun Nun.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)