Saat Indonesia Harus Pinjam Piring dan Sendok dari Toko Tetangga untuk Sambut Tamu Negara

Jurnalis: Muhammad Faizin
Editor: Mustopa

1 Agustus 2023 02:47 1 Agt 2023 02:47

Thumbnail Saat Indonesia Harus Pinjam Piring dan Sendok dari Toko Tetangga untuk Sambut Tamu Negara Watermark Ketik
Kereta api yang membawa Presiden Sukarno dan rombongan pemerintahan, dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946 untuk pemindahan ibukota sementara. . (Foto: Repro buku "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" karya Cindy Adams)

KETIK, JAKARTA – Jamuan diplomatik kenegaraan identik dengan kemewahan atau sesuatu yang bagus. Bukan sekadar untuk hura-hura, jamuan diplomatik kenegaraan terkait dengan harga diri suatu bangsa saat menjamu tamu diplomatik atau kenegaraan dari negara sahabat.

Namun apa jadinya jika sebuah negara besar harus menyambut tamu diplomat dari negara lain dengan penyambutan yang amat sederhana atau ala kadarnya? Situasi ini pernah dialami Indonesia saat baru merdeka.

Sebagai pemimpin dari negara yang baru merdeka, Presiden Soekarno ingin menunjukkan harga diri bangsa Indonesia yang tidak kalah dengan negara-negara besar lain yang sudah lebih merdeka. Namun, ia dihadapkan dengan segala keterbatasan karena kondisi kas negara yang belum stabil akibat perang atau revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan.

Sejak tahun 1946, ibu kota Indonesia dipindah ke Yogyakarta demi menghindari serangan Belanda yang ingin kembali berkuasa seperti sebelum Perang Dunia II. Ide pemindahan ibu kota sementara itu berasal dari tawaran Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sosok yang amat berjasa dalam upaya meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Maka sejak 4 Januari 1946, Presiden Soekarno dan jajarannya berangkat menggunakan kereta api secara sumbunyi-sembunyi dari Jakarta. Soekarno menjalankan roda pemerintahan sementara dari Yogyakarta.

Biaya penyelenggaraan pemerintahan pun ditanggung oleh Keraton Yogyakarta dan dibantu oleh Pura Pakualaman. Meski demikian, kondisi keuangan negara masih amat terbatas. Di tengah keterbatasan itu, Pemerintahan Indonesia tetap menjalankan misi diplomatik ke berbagai negara untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan dunia internasional.

Upaya untuk mengimbangi perjuangan gerilyawan dan militer Indonesia itu membuahkan hasil. Sejumlah negara mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengirimkan diplomatnya guna menjalin persahabatan dengan Indonesia yang baru beberapa bulan merdeka.

Suatu ketika, India dan Cina yang sudah mengakui kemerdekaan Indonesia, hendak membuka kantor perwakilan di Yogyakarta. Presiden Soekarno sangat mengapresiasi keputusan dua negara besar, sehingga ingin menyambutnya secara langsung. Penyambutan diplomatik akan dilakukan di Gedung Agung, yang sekarang berganti nama menjadi Istana Yogyakarta.

“Aku ingin menjamu mereka di kediaman resmi Kepala Negara. Istana putih di balik dinding yang tinggi itu dulunya adalah kediaman gubernur di zaman Belanda dan rumah pembesar di masa Jepang,” ujar Bung Karno mengisahkan pengalaman itu kepada Cindy Adams, jurnalis yang juga istri diplomat AS. Kisah itu termuat dalam buku yang dianggap salah satu biografi paling penting Sukarno berjudul “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat”.

Meski berstatus sebagai istana di masa pemerintahan kolonial, Gedung Agung ternyata tak memiliki fasilitas yang layak untuk menyambut negara. Jepang yang diusir oleh pejuang kemerdekaan, menyapu bersih seluruh perabotan yang ada di dalam istana. Bahkan termasuk perkakas rumah tangga seperti piring, sendok dan gelas.

“Istana ini tidak memiliki peralatan makan. Orang-orang Jepang mengangkut semua barang sebelum mereka pergi. Aku hanya punya satu set cangkir plastik hijau yang murah dan tatakannya, hasil penyelundupan dari toko di Manila,” ujar Bung Karno.

Demi menjaga muruah negara yang baru merdeka, pegawai protokol istana kepresidenan lalu berinisiatif untuk meminjam piring, sendok dan gelas yang dianggap cukup bagus, ke sejumlah warung dan toko yang ada di sekitar Gedung Agung Yogyakarta. Pegawai protokol istana kepresidenan yang bekerja untuk menyambut tamu negara itu juga bukan sosok yang berpengalaman dan elit, sebagaimana pegawai protokol istana kepresidenan masa kini.

“Kami tidak tahu sama sekali urusan protokol. Petugas yang mengurus protokol di sini adalah Mutahar, mantan pelaut,” kenang Bung Karno.

Beruntung, Mutahar yang sama sekali tidak mengetahui protokoler penyambutan duta besar, bisa mengatasi persiapan penyambutan tamu negara itu dengan optimal.

“Sama sekali tidak sulit,” kata Mutahar yang mencoba menenangkan Presiden Soekarno. Tak hanya meminjam piring, sendok dan garpu dari toko dan restoran tetangga. Mutahar juga buru-buru pergi dan mengetuk semua pintu tetangga, demi meminjam taplak meja yang akan digunakan menyambut tamu negara penting.

Di lain hari, Presiden Soekarno kedatangan tamu negara dari Filipina, yakni Jenderal Romulo. Soekarno ingin menyambutnya dengan mewah demi menjaga gengsi negara. Sayangnya, Indonesia saat itu tak punya cukup uang untuk menyambut sang tamu negara dengan layak.

“Kami tidak punya anggur. Jadi dia hanya minum air putih, karena itulah yang ada pada kami,” kenang Bung Karno.

Dalam situasi serba terbatas, para founding fathers & mothers bangsa Indonesia terbukti mampu mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945 itu, akhirnya mendapat pengakuan luas pasca dicapaiknya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Sejak itu pula, secara perlahan pemerintahan Indonesia terus tertata menjadi lebih baik dan modern. (*)

Tombol Google News

Tags:

Bung Karno SUKARNO presiden Jamuan kenegaraan Diplomatik Ibu Kota Negara Yogyakarta Jakarta Sri Sultan Hamengkubuwono Cindy Adams Biografi