Diskusi Sejarah Nusantara di Sidoarjo; Sejarah Itu Ibarat Kue Pelangi

Jurnalis: Fathur Roziq
Editor: M. Rifat

20 Agustus 2023 04:00 20 Agt 2023 04:00

Thumbnail Diskusi Sejarah Nusantara di Sidoarjo; Sejarah Itu Ibarat Kue Pelangi Watermark Ketik
Suasana diskusi bincang budaya bertema Membangun Kemerdekaan Sejarah Nusantara. Dari kiri depan, moderator dr Sudi Harjanto, narasumber Rendra Agusta, dan pendiri Rumah Budaya Malik Ibrahim Sidoarjo, Satriagama Rakanseta. (Foto: Fathur Roziq/Ketik.co.id)

KETIK, SIDOARJO – Satu atau dua penggal waktu adalah momentum. Bagi anak-anak muda, momentum itu bisa menjadi kesempatan emas untuk mengukir karya-karya besar yang akan dikenang di masa depan. Jangan pernah takut menciptakan sejarah.

---

Banyak orang mementaskan cerita sejarah dengan hanya berkiblat pada masa lalu. Satriagama Rakanseta, budayawan dan pemerhati sejarah, mengatakan bahwa sejarah perlu dibicarakan dengan bahasa yang dimengerti. Konteks sejarah masa lalu disambungkan dengan sejarah kekinian.

”Sejarah itu bukan hanya candi,” ungkap Seto, sapaan akrab pemangku Rumah Budaya Malik Ibrahim, Sidoarjo, ini.

Kamis malam, 17 Agustus 2023, Seto membuka acara bincang budaya di tempat yang teduh itu. Temanya Membangun Kemerdekaan Sejarah Nusantara.

Sekitar pukul 18.30, audiens sudah berdatangan. Ada pencinta sejarah, pengamat budaya, pemerhati kebijakan dan politik, sampai jurnalis. Dari Sidoarjo maupun Surabaya. Ada pula para mahasiswa. Anak-anak muda ini malah mendominasi kursi peserta diskusi. Mereka membelakangi rerumputan dengan aroma udara segar di belakang rumah di Jalan Malik Ibrahim No. 39, Pucang Anom, Sidoarjo tersebut.

Di bawah cahaya setengah terang, mereka terlibat obrolan gayeng. Narasumber perbincangan adalah Rendra Agusta, penulis dan peneliti Sraddha Institute dari Surakarta, Jawa Tengah. Paparan Rendra dimoderatori dengan cair oleh Ketua Komunitas Sidoarjo Masa Kuno dr Sudi Harjanto.

Sejarah sering diajarkan hanya dalam bentuk tertulis serta dibuktikan secara fisik. Dibatasi hanya dalam instrument dari waktu ke waktu. Disusun berdasar timeline berupa sebuah buku. Misalnya, perang Diponegoro terjadi pada tahun berapa hingga ke berapa. Kerajaan Singhasari ada pada abad ke berapa. Ken Arok hidup pada tahun berapa hingga berapa. Seakan-akan peristiwanya berseri.

Dan, di dalam catatan seri-seri sejarah itu, rakyat jelata hanya berada dalam posisi terpinggirkan. Peran mereka tidak tercatat signifikan. Kiprah seorang raja tertulis besar-besar. Sebaliknya, peran rakyat seakan hilang ditelan zaman.

Dia mencontohkan, apa saja yang dilakukan seorang presiden selalu menjadi berita besar di media massa. Kata-kata sampai busananya pun menjadi perhatian berbagai pihak.

Bagaimana nasib rakyatnya? Masuk koran pun, bisa jadi, hanya karena anaknya mati kesurupan. Atau, ditangkap polisi karena terlibat kejahatan. ”Rakyat harus berbuat lebih baik agar punya posisi dalam sejarah. Itu kemerdekaan sejarah,” papar Rendra.

Orang masa lalu, lanjut dia, mungkin tidak pernah menyangka nasib nama-nama besar kerajaan di Nusantara akan menjadi seperti sekarang. Misalnya, Kerajaan Kediri yang tinggal menjadi nama sebuah kabupaten dan kota di Jawa Timur.

Orang-orang Sidoarjo yang hidup di abad ke-19 tidak pernah membayangkan bahwa Kadipaten Sidokare (sekarang Kabupaten Sidoarjo) kini hanya menjadi nama sebuah kelurahan di Kecamatan Sidoarjo.

Bagaimana dengan Mojopahit? Di mana jejak kerajaan yang sangat besar dan disebut-sebut pernah menguasai Nusantara tersebut? Cuma menjadi nama jalan di Sidoarjo; Jalan Mojopahit. Juga menjadi nama sebuah perumahan: Perumahan Sidokare Indah dan Sidokare Asri di Kecamatan Sidoarjo.

”Bagaimana nasib nama Indonesia. Kita tidak pernah tahu?” tanya Rendra disambut tepuk tangan hadirin.

Rendra juga mengkritik sistem penulisan sejarah yang selalu absolut. Dari seri satu ke seri berikutnya. Sering melupakan masa transisi. Bahwa sejarah itu tidak terpisah dari satu episode ke episode lain.

Bagi dia, sejarah itu mirip kue pelangi. Ada irisan dari warna yang satu warna ke warna lain. Dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Padahal, masa-masa sebenarnya saling berhubungan satu dengan lainnya.

”Nah, kita ini kekurangan orang di tengah-tengah. Sebagai science communicator,” ungkap Rendra. (*)

Tombol Google News

Tags:

Sejarah Sidoarjo Sejarah Nusantara Rumah Budaya Malik Ibrahim Kabupaten Sidoarjo Kadipaten Sidokare Diskusi Budaya sidoarjo