Fenomena keterlibatan generasi muda Indonesia dalam politik akhir-akhir ini menunjukkan beberapa dinamika menarik. Terlihat pada Pemilu 2024 dimana Gen Z menjadi salah satu sasaran utama kampanye karena tingginya minat mereka terhadap isu politik yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Berdasarkan hasil survei CSIS, karakter calon pemimpin 2024 oleh pandangan generasi muda mengalami perubahan dibanding 2019 lalu. Gen Z cenderung memilih pemimpin yang jujur, bebas korupsi, dan mengutamakan isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan realita, seperti, keadilan sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia.
Hal tersebut mencerminkan peningkatan kesadaran dan perhatian mereka terhadap situasi politik yang lebih baik. Namun, apakah itu menunjukkan bahwa Gen Z sudah tahu betul akan pilihannya? Lalu, bagaimana jika hanya segelintir yang paham dan sisanya ikut-ikutan? Mari kita simak dalam artikel ini!
Di tengah kuatnya arus globalisasi, media sosial memainkan peran krusial dalam membentuk pandangan politik Gen Z terutama melalui platform, seperti instagram, twitter, yang paling sering digunakan untuk mengakses informasi politik, diikuti oleh Youtube, TikTok, dan Facebook. Menurut APJII, jumlah penggunaan internet Indonesia tahun 2024 didominasi oleh Gen Z dengan presentase sebesar 34,40 persen.
Hal itu menunjukkan seberapa pentingnya peran generasi muda dalam dinamika politik di Indonesia, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi yang semakin berkembang. Mereka dapat menggunakan media sosial tidak hanya sebagai alat untuk menyuarakan ketidakpuasan atau tuntutan, tetapi juga untuk membangun kesadaran akan isu-isu sosial dan politik yang relevan, serta menginspirasi aksi-aksi konstruktif dalam masyarakat.
Karya-karya seperti tulisan (karya tulis ilmiah, puisi), seni visual (lukisan), dan kampanye online (kitabisa.com, Change.org) yang dapat berkontribusi secara signifikan dalam membangun kesadaran publik dan merumuskan solusi untuk tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa ini sehingga menciptakan perubahan yang positif bagi kemajuan Indonesia.
Instagram, Twitter, TikTok, dan Youtube adalah beberapa platform online paling populer dalam mengakses informasi politik oleh banyak orang, terutama Gen Z. Namun, tingginya konsumsi informasi melalui media sosial membuat mereka rentan terhadap informasi palsu atau hoax, yang sering dieksploitasi oleh aktor politik untuk menggiring opini secara negatif.
Hal tersebut merupakan tantangan dalam memilah informasi valid dan yang tidak valid, serta dapat membuat pemahaman politik Gen Z terdistorsi. Akibatnya, meskipun generasi muda sangat vokal melalui sosial media, mereka kerap mengalami kebingungan ketika harus mengambil sikap di dunia politik nyata. Fenomena tersebut dikenal sebagai gagap politik, yang terjadi karena minimnya pengalaman dan literasi politik yang mendalam.
Gagap politik tidak hanya terjadi karena faktor kurangnya pemahaman oleh generasi muda terhadap isu politik, tetapi juga tentang kesulitan penyesuaian dengan dunia politik nyata. Meskipun mereka berpotensi besar untuk membawa perubahan dalam politik, tetapi pengalaman politik mereka masih terbatas.
Secara garis besar, gagap politik menunjukkan adanya jarak antara apa yang mereka anggap penting di dunia maya dan apa yang terjadi di dunia nyata dalam proses politik. Ketika dihadapkan pada dunia nyata, banyak yang merasa cemas dan tidak siap karena belum terbiasa dengan dinamika politik yang kompleks.
Hal tersebut dapat menciptakan shock culture ketika Gen Z mulai terlibat lebih jauh dalam politik. Dengan begitu, gagap politik yang muncul karena ketidakpahaman terhadap sistem politik bisa menjadi pintu gerbang menuju shock culture. Ketika Gen Z mulai menyadari kompleksitas politik yang lebih mendalam dan penuh kompromi, mereka bisa merasa bahwa dunia politik tidak sesuai dengan harapan mereka yang idealis.
Hal ini, pada gilirannya, bisa membuat mereka merasa putus asa atau terasing, bahkan jika mereka tetap aktif dalam dunia politik. Kedua fenomena ini—gagap politik dan shock culture—merupakan bagian dari proses yang dialami Gen Z ketika mereka mencoba menavigasi dunia politik yang lebih kompleks dan penuh tantangan.
*) Navyra Angie Supriyanto merupakan mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)