Jadi Fenomena Sosial, Begini Antropologi Memandang Akar Persoalan Rasisme

Jurnalis: Lutfia Indah
Editor: Marno

15 Juli 2023 07:18 15 Jul 2023 07:18

Thumbnail Jadi Fenomena Sosial, Begini Antropologi Memandang Akar Persoalan Rasisme Watermark Ketik
Ilustrasi perbedaan (foto: freepik)

KETIK, MALANG – Belakangan ini, perilaku rasisme sempat terlihat kembali di permukaan. Terutama pasca pengeroyokan yang menewaskan salah satu mahasiswa Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berkuliah di Universitas Tribuana Tunggadewi (Unitri). 

Kendati Pemerintah Kota Malang telah memastikan bahwa kondisi telah kondusif, perasaan was-was masih menyelimuti warga. Perasaan tersebut banyak dilampiaskan oleh masyarakat melalui akun media sosial.

Ketua Departemen Seni dan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB), Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel mengungkapkan bahwa hal tersebut wajar saja terjadi. Reaksi warga lokal yang memberikan stigma negatif terhadap masyarakat Timur yang ada di Kota Malang adalah hal yang dapat dipahami.

"Pengeroyokan sampai menyebabkan korban meninggal kan peristiwa yang memalukan. Jika masyarakat Malang bereaksi rasis, itu dapat dimengerti sebagai ungkapan kekecewaan dan kemarahan," ungkapnya, Sabtu (15/7/2023).

Meskipun korban dan pelaku berasal dari kelompok yang sama, warga Malang sebagai 'pemilik tanah' wajar saja merasa marah. Mengingat perbuatan keji tersebut terjadi di wilayah mereka. 

Foto Ketua Departemen Seni dan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB), Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel (foto: Dr. Hipolitus)Ketua Departemen Seni dan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB), Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel (foto: Dr. Hipolitus)

Dr. Hipo menjelaskan secara mendetail mengenai akar dari rasisme. Menurutnya, rasisme muncul karena ras telah menjadi salah satu identitas yang melekat pada seseorang. Identitas tersebut dapat memicu reaksi yang cepat jika mendapatkan gangguan atau stimulus.

"Sikap rasisme akan selalu ada karena dia sudah menjadi identitas. Kalau berbenturan dengan sesuatu, dia akan cepat bereaksi. Sama dengan agama dan golongan, itu juga rawan karena sudah menjadi identitas. Apalagi jika ditambah dengan perasaan superior, hal itu akan lebih menjadi-jadi," tutur Dr. Hipo.

Terlepas dari kasus rasisme akibat pengeroyokan, Dosen asal Lembata, NTT ini menegaskan bahwa rasisme dalam kasus tertentu memang bisa dimengerti dan dipahami. Namun pada prinsipnya, rasisme merupakan sikap yang menjadi musuh bersama. 

“Rasisme itu bisa terjadi karena orang ingin membersihkan kelompoknya dari perbuatan-perbuatan keji. Rasisme juga bisa terjadi karena orang merasa superior dan tidak mau berjumpa dengan orang lain. Rasisme yang macam ini berbahaya karena orang tidak mau terbuka pada perbedaan," tambah Dosen Antropologi Filsafat tersebut.

Menarik diri dari perjumpaan dengan pihak yang berbeda dapat menjadi pemantik timbulnya benih-benih rasisme. Seseorang akan lupa bahwa keberadaan kelompok masyarakat yang berbeda, merupakan sebuah keniscayaan.

"Kalau orang menarik diri dari perjumpaan dengan orang lain maka dia akan kehilangan kesempatan untuk belajar. Bahwa yang lain ternyata juga penting, itu sesuatu keniscayaan. Kita tidak bisa menolaknya secara permanen," lanjut Dr. Hipo.

Pihaknya juga mendorong supaya masyarakat tak enggan keluar dari zona nyaman dalam pergaulannya. Sebab hal tersebut merupakan kesempatan untuk belajar mengerti bahwa perbedaan merupakan hal yang bermakna dan memiliki kontribusi bagi hidup.

"Sebagaimana dalam kasus pengeroyokan beberapa waktu lalu, pelaku dan korban berasal dari kelompok ras yang sama. Tapi hal itu terjadi juga karena tetap saja ada perbedaan. Entah dari cara pandang, prinsip hidup, dan lain-lain," serunya.

Ia tak dapat memungkiri bahwa rasisme akan selalu menghantui kehidupan masyarakat. Hanya saja, dia berpesan supaya setiap orang bertugas menjaga keseimbangan dalam bersikap dan memandang perbedaan supaya perbuatan rasis kalau toh terjadi, bisa dipahami dan dimaklumi. 

"Saya kira, sikap rasisme akan selalu ada dalam dinamika hidup manusia. Tugas kita adalah menekannya supaya kalau terjadi, itu terjadi secara wajar dan bisa dipahami. Rasisme yang ekstrim akan menghancurkan hidup bersama secara permanen yang untuk memulihkannya dibutuhkan tenaga dan upaya ekstra pula," jelasnya.(*)

Tombol Google News

Tags:

Rasisme Antropologi Universitas Brawijaya Keragaman Akar Rasisme