KETIK, JAKARTA – Pertengahan November di Tokyo. Tulus Sugiharto, seorang pengamat geopolitik, tengah melakukan sebuah perjalanan travelling. Niatnya menonton Coldplay.
Ponselnya bergetar. Seorang sahabat mengirim pesan singkat melalui akun WhatsApp. Isinya : "Gue udah di Tokyo, ready nonton Coldplay".
Memang , 6 dan 7 November 2023 ini ada konser Coldplay di Ibu Kota Negara Matahari Terbit tersebut.
Penonton di Tokyo Dome penuh, tapi banyak juga penonton orang asingnya termasuk dari Indonesia.
Tiket nonton Coldplay di Tokyo memang lebih mahal. Padahal, band asal UK Inggris ini juga akan menggelar konser serupa di Jakarta 15 November nanti.
"Harga tiket di Jepang lebih mahal belum lagi hitung ongkos naik pesawat, akomodasi, makan semua mahal," Tulus bergumam.
Tulus ingat kata seorang kawan. Jepang negara yang indah dan memiliki sensasi sendiri. Negara yang memadukan antara inovasi tetapi tetap mengedepankan tradisi.
Mau naik kereta cepat tercanggih ada, mau lihat orang berjalan-jalan melihat anime atau cosplay ada. Tapi, mau lihat kuil atau taman yang sangat bersih dan terjaga ada juga. Kalau mau kuliner yang tradisional dengan riasan yang indah, ada.
Jadi tak heran, jika banyak orang Indonesia yang berpikir bukan sekedar jalan-jalan tapi juga untuk kerja atau sekolah di Jepang.
Tapi kenapa Jepang kini mengalami depopulasi atau penurunan tingkat kelahiran? Sebagai seorang pengamat, ia berpikir jauh ke sana. Tentang perbandingan demografi.
Nah, ternyata salah satu penyebab utama Jepang kekurangan penduduk adalah karena banyak pasangan enggan mempunyai anak.
The Mainichi, salah satu media Jepang, tahun 2021 menyebutkan, dari 400 responden berusia antara 18 hingga 29 tahun, sebanyak 49,4 persen mengaku tidak menginginkan anak.
Angka ini disebut sebagai persentase tertinggi dari survey yang pernah dilakukan pertama kali tahun 1899. Sementara di Indonesia, angka kelahiran cukup tinggi, Hasil survei Badan Pusat Statistik tahun 2020, angka kelahiran total (total fertility rate) sebesar 2,10.
Ini berarti rata-rata perempuan di Indonesia akan melahirkan minimal dua anak pada masa reproduksinya. Di Jepang, angkanya 1,34 yang artinya jelas akan ada penurunan jumlah penduduk.
Memiliki anak di Indonesia seperti sebuah keharusan. Waktu kuliah ditanya, udah punya pacar belum? Baru selesai kuliah, ayo cepet kerja biar bisa nikah. Baru tiga bulan kerja, ditanya, kapan menikah.
Setelah menikah, kapan punya anak. Punya anak satu, kapan punya anak kedua dan seterusnya.
Padahal punya anak itu tidak mudah, mulai dari proses melahirkan, bayi, balita, anak kecil, remaja hingga dewasa memiliki masalah sendiri-sendiri.
"Itu pentingnya parenting atau cara mengasuh, membimbing, serta mendidik anak dengan cara baik dan benar," ujar Tulus.
Dalam parenting, anak juga harus diajarkan untuk berani bicara, berani mengemukakan pendapat. Seorang anak harus dididik untuk berani mengemukakan pendapatnya, mengemukakan keinginan masa depannya.
Anak itu tidak pernah minta dilahirkan atau dapat memilih orang tuanya, tapi dia bisa menentukan masa depannya sendiri dan tugas orang tua memberikan dukungannya.
Tapi, ada orang tua melakukan over parenting dengan menentukan nasib masa depan si anak berdasarkan keinginannya sendiri bukan keinginan si anak.
Over parenting bisa berdalih untuk kepentingan si anak tapi sebenarnya itu si orang tua, entah si bapak atau si ibu.
Anak itu harus berani speak up karena memiliki pengetahuan yang luas. Tulus kemudian teringat seorang sahabat di Indonesia, Rizal Ramli. Ia memanggilnya Bang RR. Lebih singkat dan asik.
"Bang RR itu diajari oleh ibundanya membaca, sehingga Bang RR memiliki minat yang besar membaca, berpikir out of the box dan kemudian berani mengemukakan pendapatnya. Sayang, orang tuanya meninggalkannya pada usianya yang baru 8 tahun, yatim piatu," Tulus bercerita pada sahabatnya saat di Jepang, hari ini.
RR lahir dari keluarga sederhana, bahkan sejak umur 8 tahun sudah yatim piatu dan harus berjuang mencari uang untuk melanjutkan sekolahnya di ITB. Sekolah yang sama dengan idolanya, Bung Karno.
Untuk dapat uang membayar kuliah, ia jadi penerjemah Bahasa Inggris, jadi pengawas percetakan juga mau. Meski pas-pasan kuliah, tapi RR berani melawan penguasa, melawan pemerintahan Soeharto.
Dulu, memang mencari uang dengan menjadi penerjemah, tapi kemampuan Bahasa Inggrisnya dan kecintaanya pada matematika mengantarnya belajar ekonomi ke Amerika di Boston.
Pecinta Albert Einstein ini lulus dengan mengondol gelar doktor tahun 1990, balik ke Indonesia bersama beberapa orang ekonom lain seperti Arif Arryman, Laksamana dan M.S. Zulkarnaen mendirikan ECONIT Advisory Group.
Bikin ECONIT nampaknya bukan untuk hanya untuk profesi, tapi menjadi “devil advocate“ bagi pemerintahan Soeharto dengan mengkritisi pemerintah agar berpihak pada kepentingan nasional, kepentingan rakyat.
Pulang dari Amerika kelasnya bukan “pengamat ekonomi“, tapi kemampuan di tingkat internasional.
RR pernah dipercaya sebagai anggota tim panel penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama 3 Ekonom Pemenang Nobel dan beberapa tokoh ekonom dari berbagai negara.
Karena ingin fokus mengabdi pada negara dan bangsa Indonesia, Rizal pernah menolak tawaran jabatan internasional sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Economic & Social Commission of Asia and Pacific (ESCAP) yang ditawarkan PBB pada November 2013.
Soal relasi internasionalnya di PBB ini, RR pernah menolong Jokowi-Ahok dalam kasus MRT. Berteman dengan DR. Tanaka-san, Tim PBB dan Ketua JICA yang membiayai proyek-proyek Jepang di seluruh dunia, RR meminta agar proyek di MRT jangan mahal-mahal.
Lobby inilah yang kemudian menjadikan proyek MRT berjalan dan sangat bermanfaat hingga sekarang. Opini RR pun banyak dimuat diberbagai media internasional seperti media di Singapura Straits Times, Business Time, New Srait Times Nakaydua dan media di Amerika Wall Street Journal, The Diplomat, Nikeii Jepang dan lain-lain.
Jadi, pemikiran-pemikirannya ini mendapat respon positif dari media internasional.
Usia RR mungkin sudah tidak muda lagi, tapi jiwanya masih muda dalam membela rakyat, berpendidikan tinggi hingga sanggup membawa Indonesia di pentas internasional.
Memang sangat menarik. RR selalu resah jika melihat negara ini diatur oleh orang yang berpikir untuk kelompok atau keluarganya sendiri dan merugikan banyak rakyat Indonesia.
RR menjadi pembela wajib belajar setelah bertemu Sugriwa, anak seorang nelayan, yang semalam menangkap ikan bersamanya dan makan seadanya. Pertemuan itulah yang membuat RR 'emosi' dan bersama kawan-kawannya berjuang agar program wajib belajar 6 tahun terlaksana.
Hingga usianya sekarang, RR masih membela rakyat kecil. Ia pernah mengkritik Pemda DKI tahun 2016 soal rakyat korban penggusuran.
Pada 2019. Rumahnya pernah digeruduk oleh lima kopaja penuh orang-orang kecil, mereka datang minta satu hal, kalau jadi presiden, harga pangan jangan mahal-mahal!
Sementara dalam sebuah Musra 11 Agustus lalu, di media online Presiden Jokowi secara berapi-api mengemukakan, rakyat butuh pemimpin yang paham, yang ngerti bagaimana memajukan negara ini.
"Karena pemimpin itu, harus paham dan tahu potensi serta kekuatan negara ini, kekuatan bangsa ini apa," kata Presiden Jokowi kala itu.
Jika meloncat pada masa kini, siapa kira-kira tokoh di Indonesia yang sejak masa mudanya sampai sekarang memiliki kemiripan dengan apa yang digapai bung Karno. Apakah calon-calon presiden nanti memiliki kepekaan pada rakyat sejak masa mudanya? Memiliki pendidikan yang tinggi dan mempunyai pemikiran global dan memiliki reputasi internasional ?
Kembali Tulus mengingat Rizal Ramli. Seharusnya, pikir Tulus, kalau Jokowi paham mencari pemimpin seperti di atas sangat mudah.
"Apalagi pernah dekat sama Jokowi, jadi Menko dia, tapi dia pecat Bung RR tahun tahun 2016 lalu. Pak, Bang RR itu lebih paham tentang persoalan dan solusi bangsa ini, daripada anakmu. Anak yang kasihan, hasil over parenting," sesalnya.
Tulus jadi teringat penggalan lirik lagu The Scientist Coldplay. Running in circles, chasing our tails, Heads on a science apart.
"Soal cinta mungkin rumit dan berbelit, tapi urus negara harus pakai pengetahuan, akal sehat dan hati yang melayani, itu ada di Bang RR," ucap Tulus tersenyum.(*)