Melalui tulisan ini saya pribadi berharap bisa lebih giat lagi untuk memupuk minat baca, sebagai generasi milenial tentu ini menjadi persoalan tersendiri, ditambah lagi menekuni literasi dan minat baca, saya tekuni tak kurang dari 6-7 tahun belakangan ini.
Sebagai pendamping desa yang di-hire oleh Kementerian Desa dituntut harus ‘tau segala’. Bagaimana tidak, desa dampingan sering ‘menggantung nasib’ mereka kepada kejelian dan ketelitian dari pendamping desa, tak heran jika keberadaan pendamping desa ibarat ‘dokter’.
Semua permasalahan di desa, pendamping wajib dan harus tahu serta mampu memberikan solusi yang tepat sampai-sampai timbul anekdot ‘salah resep, pasien mati’. Lebih ngeri lagi ada yang sampai meng-analogi-kan strata pendamping desa itu ‘di bawah Tuhan di atas setan’.
Hal inilah yang kemudian membuat saya lebih banyak belajar literasi tentang desa atau yang berkaitan dengan dunia pendampingan mulai dari ‘alif hingga ya’ itupun belum hatam dan terus diulang.
Bicara literasi dan minat baca, beberapa waktu yang lalu Kementerian Desa PDTT mengeluarkan sebuah Keputusan Menteri Desa tentang Panduan Pengelolaan Taman Bacaan Masyarakat Desa, tentu saja ini untuk menjawab tantangan zaman yang kian hari berubah dan serba canggih. Ditambah lagi minat baca orang Indonesia berdasarkan data UNESCO tahun 2021 hanya 0.01% saja dalam artian dari 1.000 orang hanya 1 orang yang memiliki minat baca.
Belum lagi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berdasar data dari UNDP, Indonesia masih kalah jauh dengan Malaysia yang mencapai 28% sementara kita hanya gak sampai 15%. Hal inilah yang kemudian menjadi ‘persuwalan’ dan menyebabkan SDM kita kesulitan dalam beradaptasi di era revolusi industri 4.0 dan Society 5.0.
Ancaman Serius
Sepanjang Tahun 2020, Microsoft merilis tingkat kesopanan pengguna internet di seluruh dunia termasuk Indonesia, dalam laporan Digital Civilty Index (DCI) Indonesia menempati rangking paling bawah se- Asia Tenggara alias paling tidak sopan, dengan skor 76 naik 8 Poin dari tahun 2019.
Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani mengasumsikan jika pengguna internet di negara kita masih minim literasi, sehingga dengan mudah percaya dan menerima begitu saja berita yang belum jelas kebenaranya.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Central Connecticut State University bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked (2016), negara Indonesia menempati rangking ke-60 dari 61 negara perihal minat baca dibawah Thailand (59) dan diatas Bostwana (61), hal ini berbanding terbalik dengan penilaian Infrastuktur pendukung membaca dimana peringkat Indonesia berada diatas negara eropa.
Padahal sebagai negara penganut Islam terbesar didunia, kita berkeyakinan bahwa Allah SWT memberikan perintah pertama melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, yakni turunnya surat Al Alaq di Gua Hira’. Ayat pertama surat Al Alaq yang artinya “Bacalah!” jika dikaji memiliki makna sangat dalam yakni memerintahkan agar manusia untuk gemar membaca dan belajar. Dengan membaca, diharapkan manusia dapat memahami arah langkah yang dapat dilakukan ke depannya, sehingga dapat dirasakan manfaatnya bagi orang lain.
Ada pernyataan menarik dari Maman Suherman seorang kolumnis saat tampil pada acara QnA salah satu televisi nasional baru-baru ini, dia menyatakan seorang penulis terjebak diantara pajak dan bajak, dan menyesalkan dalam perdebatan capres dan cawapres tidak ada yang membahas tentang literasi.
Sementara itu, Tom Lembong mantan Menteri Perdagangan dan Menteri Investasi menegaskan bahwa masyarakat sudah terbiasa mengkonsumsi konten media sosial sehingga terkadang informasi yang disampaikan tidaklah utuh, sementara informasi yang akurat dan utuh bisa berasal dari buku atau literasi.
Sementara di era digital ini, berita atau informasi lebih mudah diakses lewat gadget, namun sayang banyak informasi yang didapat bukan dari media yang kredibel sehingga banyak masyarakat yang terjebak dalam fake news yang sengaja dibuat oleh untuk mengambil perasaan pembaca dengan story-telling yang dibuat sedemikan rupa dan mengabaikan kebenaran.
Reuters Institute menyebutkan bahwa masyarakat lebih percaya pada fake news dari pada media yang valid atau kredibel, jika diukur mengunakan Alexa.com beberapa media fake news mampu mengalahkan media mainstream seperti tempo.co atau Antaranews
Ahmad Rifa’i dalam buku Generasi Emas, menyimpulkan bahwa dampak kurangnya literasi adalah tumbuh kembangnya generasi muda yang malas sehingga berdampak serius bagi perkembangan wawasan, sulitnya bersosialisasi dan mengembangkan diri serta antipati terhadap lingkungan sekitar sehingga tampak cenderung egois.
Munculnya Keputusan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2023 tentang Panduan Pengelolaan Taman Bacaan Masyarakat Desa, mempertegas keberadaan dan manfaat Dana Desa yang digelontorkan semenjak 2014, Keputusan Menteri ini selaras dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Lahirnya Kepmen ini akan mempermudah pemerintah daerah utamanya desa dalam mengelola dan meningkatkan sumber daya manusia.
Ke depan diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang terjebak lagi dengan berita hoax disamping itu dengan adanya Keputusan Menteri Desa ini mampu menjawab tantangan zaman serta bisa mewujudkan pendidikan yang berkualitas sebagaimana tujuan dari SDGs ke-4.
Adanya Kepmen adalah upaya komprehensip dan terintegrasi dalam pemenuhan enam literasi dasar, yakni literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital serta literasi budaya dan kewargaan. Dan pada akhirnya kita akan melihat sejauh mana stakeholdes mampu membawa perubahan di ranah akar rumput.(*)
*) Moch. Efril Kasiono adalah Pendamping desa Bondowoso
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)