KETIK, BLITAR – Terkait kasus maraknya alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan tebu ilegal, Kejaksaan Negeri (Kejari) Blitar menjamin tidak akan pandang bulu dalam menindak pelaku perusakan hutan. Tak hanya para pelaku di lapangan, namun juga aktor intelektual yang ada di balik layar.
Hal ini diungkapkan Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejari Blitar Syahrir Sagir dalam kegiatan sosialisasi yang diadakan Perum Perhutani KPH Blitar di Kantor Desa Ngembul, Kecamatan Binangun.
"Kalau memang buktinya ada, para sultan-sultan yang ada di balik layar pun akan kita sikat juga, kita tidak pandang bulu," ujar Syahrir, Selasa (18/7/2023).
Diketahui, mayoritas perusakan hutan di Blitar adalah pembabatan hutan untuk dijadikan ladang tebu. Sesuai data yang dihimpun Perhutani, 10 ribu hektare lebih hutan di Blitar yang digarap secara ilegal. Sebagian besar, khususnya di wilayah Blitar Selatan, kawasan hutan telah disulap jadi ladang tebu, terutama di sepanjang Jalur Lintas Selatan.
Melihat hal ini, Syahrir mengatakan jika tujuan penegakan hukum yang utama adalah melakukan pencegahan. Penegakan hukum yang tegas dan humanis, bermaksud untuk memberikan pemahaman hukum pada masyarakat agar tidak melanggar hukum. Jadi, bukan hanya sekadar memenjarakan sebanyak-banyaknya orang.
"Kalau fokus kita hanya memenjarakan orang, otomatis hanya pelaku dilapangan saja yang kena. Maka, dengan adanya sosialisasi ini, diharapkan masyarakat paham hukum dan tidak akan melakulan pelanggaran ketika nantinya para sultan itu menawarkan uang untuk membuka hutan," jelasnya.
Sebagai informasi, aturan terkait larangan perusakan hutan, telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Dalam Pasal 17 Angka 2, disebutkan setiap orang dilarang:
a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;
b. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan;
c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin;
d. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin; dan/atau
e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
Sementara terkait pembiaran perusakan hutan, dalam Pasal 28 disebutkan, setiap pejabat dilarang:
a. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya;
b. menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan
hutan dan/atau izin penggunaan kawasan hutan
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
d. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
e. melakukan permufakatan untuk terjadinya
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
f. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak;
g. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam
melaksanakan tugas; dan/atau
h. lalai dalam melaksanakan tugas.
"Dalam UU itu juga ada saksi pidana dan dendanya, baik untuk perseorangan, koorporasi, bahkan pejabat yang ikut bermain. Itu ancamannya ada minimal dan maksimal pidananya. Sanksi dendanya pun sangat besar, ada yang sampai miliiaran rupiah," lanjut Syahrir.
Tindak pidana perusakan hutan, masuk dalam kategori Extraordinary. Kerusakan hutan memiliki dampak yang besar bagi masyarakat. Di Blitar, eksploitasi hutan mengakibatkan keparahan tingkat bencana alam yang terjadi.
"Tindak pidana perusakan hutan, seperti hal nya tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan narkoba, ada minimal pidananya, karena masuk kategori Extraordinary atau kejahatan luar biasa juga," pungkasnya .(*)