Ketergantungan AI dalam Penulisan Ilmiah, Bahayakah?

Jurnalis: Siti Fatimah
Editor: M. Rifat

18 Mei 2024 00:16 18 Mei 2024 00:16

Thumbnail Ketergantungan AI dalam Penulisan Ilmiah, Bahayakah? Watermark Ketik
Ali Mursyid Azisi saat mengisi seminar yang diadakan LPM Forma Fakultas Ushuludin dan Filsafat UINSA (17/5/2024) (Foto: Fatimah/Ketik.co.id)

KETIK, SURABAYA – Pesatnya perkembangan teknologi memunculkan berbagai kemungkinan, salah satunya hadirnya Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Ketergantungan AI dalam penulisan ilmiah digadang-gadang bisa menggerus nalar kritis manusia dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan.

Benarkah demikian? Lantas, bagaimana cara tepat menyikapinya?

Bahaya Ketergantungan AI

Ali Mursyid Azisi, pengurus Asosiasi Penulis-Peneliti Islam Nusantara LTN NU Jawa Timur memaparkan bahaya ketergantungan kecerdasan buatan terhadap dunia akademis, khususnya penulisan ilmiah.

Ia menyebut kehadiran AI memang bisa memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas ilmiah. Seperti memberikan ide-ide baru, membuat pengerjaan lebih cepat, dan efisien.

Namun di sisi lain, AI juga bisa memberi dampak negatif apabila mahasiswa maupun akademisi tidak bijak menggunakannya.

“AI itu memang bagus karena bisa membantu, tapi jangan terlena sama kekurangannya, sama dampak negatifnya,” ujarnya saat mengisi seminar yang diadakan Lembaga Pers Mahasiswa Forma UINSA bertajuk Artificial Intelligence: Kawan atau Lawan dalam Kepenulisan Ilmiah, Jumat (17/5/2024).

Ketergantungan terhadap AI, lanjutnya, memiliki efek cobra yang merugikan mahasiswa. Misalnya AI bisa membuat kemampuan menulis dan analisis mahasiswa hilang. Padahal, kemampuan analisis yang kuat sangat diperlukan dalam dunia akademis.

AI bisa membunuh ketajaman berpikir mahasiswa dan berpotensi besar terjerat plagiasi. 

“Plagiasi ini tidak sekadar plagiasi teks, tapi bisa ide, judul, pendahuluan, metodologi, dan lain-lain,” paparnya.

Tidak berhenti di situ, ia juga memaparkan kekurangan AI yang punya keterbatasan dalam memahami konteks. Sehingga pemahaman terhadap suatu ilmu tidak bisa utuh.

“Berarti AI buruk? Oh enggak. AI tidak buruk. Tinggal bagaimana kita memposisikannya dengan tepat, harus lebih selektif lagi,” ungkap anggota Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation itu.

Bukan Penulis Kedua

Menyikapi kehadiran AI, ia memposisikan kecerdasan buatan ini sebagai tempat untuk menemukan inspirasi, bukan sebagai penulis kedua.

“Apa saya pernah menggunakan AI? Pernah, bahkan disarankan waktu itu. Cuma saya memposisikan teknologi ini untuk menemukan ide, variable-variabel dalam penelitian, bukan menggunakannya sebagai penulis kedua,” tegasnya.

Kecerdasan buatan baginya lebih tepat diposisikan sebagai alat bantu. Alat yang membantu manusia untuk mengerjakan pekerjaannya, bukan sebagai pemain utama dalam pengerjaan sebuah karya.

Senada dengan itu, Dr. H. Andi Suwarko, S.Ag., M.Si., Wakil Dekan 3 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat memposisikan AI sebagai mitra kritis yang membantu manusia dalam proses pemecahan masalah.

“Maka dari itu ketika menerima informasi dari AI tetap harus ada proses kritisnya, baik dalam penalaran, pembelajaran, maupun pemecahan masalah,” tandasnya dalam sambutan.

Meski begitu, sebenarnya kelebihan dan kekurangan AI ini masih menjadi perdebatan dan perbincangan serius di dunia akademisi, terutama bagi para dosen.

Cara Bersikap Bijak

Ali memaparkan langkah bijak menyikapi perkembangan teknologi seperti AI adalah memposisikannya sebagai alat bantu dalam mencari referensi atau gagasan.

Di depan peserta, ia mengatakan jangan langsung menjadikan AI sebagai jalan pintas mengatasi kebuntuan saat menulis karya ilmiah. 

“Kenapa begitu? Karena kalau sudah ketergantungan, nanti sulit sedikit saja sudah lari ke AI. Harus belajar bagaimana cara menganalisis sistematik literatur untuk melakukan kajian,” tuturnya.

Mahasiswa perlu berlatih memparafrase manual dengan tujuan agar kemampuan menulis bisa terasah. Mahasiswa juga perlu memiliki mentor yang bisa mengarahkan bagaimana cara menulis yang baik.

Ia mengatakan pentingnya penulis memperkaya literasi dengan banyak membaca buku, jurnal, maupun karya tulis lain. 

“Minimal baca. Entah itu baca novel, buku ilmiah, buku populer, baca jurnal. Untuk apa? Supaya  memperkaya diksi kita. Biar kita nggak kebingungan saat menulis,” ucapnya.

Terakhir, ia kembali menegaskan kepada para peserta bahwa boleh saja menggunakan AI asalkan tidak berbenturan dengan etika penulisan ilmiah.

“Tolong gunakan AI secara bijak, supaya tidak membunuh karakter teman-teman sebagai mahasiswa atau pelajar. Karena di sini tugasnya belajar sungguh-sungguh, biar nanti kalau sudah keluar punya bekal skill penulisan matang,” imbaunya. (*)

Tombol Google News

Tags:

Artificial Intelligence Penulisan karya ilmiah AI dalam kepenulisan ilmiah Dampak penggunaan AI