Kondisi Pengangguran di Tiongkok Akibat Persaingan AI dan Dampaknya Bagi Indonesia

Editor: Mustopa

2 September 2024 03:09 2 Sep 2024 03:09

Thumbnail Kondisi Pengangguran di Tiongkok Akibat Persaingan AI dan Dampaknya Bagi Indonesia Watermark Ketik
Oleh: Raditya Indrajaya*

Kondisi pengangguran di Tiongkok saat ini menjadi perhatian serius, terutama dengan adanya lonjakan pengangguran yang hampir mencapai 25 persen. Angka ini menggambarkan betapa besar dampak transformasi digital, khususnya penerapan teknologi AI (Artificial Intelligence) dan robotika, terhadap pasar tenaga kerja. 

Dalam dekade terakhir, Tiongkok telah menginvestasikan miliaran dolar dalam pengembangan teknologi AI dan robotika sebagai bagian dari ambisinya untuk menjadi pemimpin global dalam teknologi tinggi. Namun, laju perkembangan ini menimbulkan dilema yang signifikan.

Dampak Langsung di Tiongkok

Sektor manufaktur dan layanan, yang selama ini menjadi pilar utama ekonomi Tiongkok, mengalami disrupsi besar-besaran. Di sektor manufaktur, misalnya, lebih dari 70 persen pekerjaan di pabrik-pabrik tradisional telah beralih ke robotika dan otomatisasi berbasis AI. 

Pada tahun 2023, lebih dari 120 juta pekerjaan di Tiongkok telah terpengaruh oleh otomatisasi, dengan sebagian besar dari mereka tidak mampu beralih ke pekerjaan lain yang membutuhkan keterampilan lebih tinggi. Pengangguran di kalangan pemuda juga meningkat tajam, dengan angka pengangguran kaum muda mencapai 21,3 persen pada awal 2024.

Pemerintah Tiongkok telah berusaha untuk mengimbangi tren ini dengan mengalokasikan dana yang signifikan untuk pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) bagi pekerja yang terdampak. 

Namun, tantangan terbesar adalah kecepatan perubahan yang jauh melampaui kemampuan sistem pendidikan dan pelatihan untuk menyesuaikan diri. Akibatnya, ketidakpuasan sosial meningkat, dan ketidakstabilan ekonomi menjadi ancaman serius.

Dampak Bagi Indonesia

Sebagai salah satu mitra dagang utama Tiongkok, Indonesia tentu akan merasakan dampak dari perubahan ini. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan:

Perubahan dalam Permintaan Produk: Otomatisasi yang masif di Tiongkok dapat menurunkan biaya produksi secara signifikan, sehingga produk-produk dari Tiongkok menjadi lebih murah di pasar global. Ini bisa menekan industri manufaktur Indonesia yang masih bergantung pada tenaga kerja manusia. Persaingan produk dengan harga lebih rendah dari Tiongkok dapat mengancam keberlangsungan industri dalam negeri Indonesia.

Penurunan Permintaan Tenaga Kerja di Sektor Ekspor: Sektor ekspor Indonesia yang terkait dengan komoditas dan barang setengah jadi, seperti tekstil, elektronik, dan otomotif, mungkin menghadapi penurunan permintaan dari Tiongkok. Sebab, dengan semakin tingginya otomatisasi, Tiongkok dapat memproduksi komponen dan barang yang sama dengan biaya lebih rendah tanpa perlu mengandalkan impor.

Ketergantungan pada Teknologi: Indonesia harus bersiap menghadapi tekanan untuk meningkatkan adopsi teknologi dalam industrinya sendiri. Hal ini berarti akan ada kebutuhan mendesak untuk investasi dalam AI dan robotika, serta dalam pelatihan keterampilan tenaga kerja untuk menghindari peningkatan pengangguran seperti yang terjadi di Tiongkok.

Peluang Kolaborasi: Di sisi lain, situasi ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan kerjasama teknologi dengan Tiongkok, khususnya dalam hal transfer teknologi dan pengembangan SDM. Jika Indonesia mampu memanfaatkan kesempatan ini, kolaborasi tersebut bisa menjadi katalisator bagi transformasi industri dalam negeri.

Kesimpulan

Pengangguran yang diakibatkan oleh otomatisasi di Tiongkok adalah refleksi dari tren global yang tak terhindarkan, di mana teknologi AI dan robotika semakin menggantikan pekerjaan manusia. 

Bagi Indonesia, tantangan utamanya adalah bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan untuk bersaing secara global dengan upaya melindungi tenaga kerja domestik. Penting bagi pemerintah Indonesia untuk mulai merumuskan kebijakan yang mendukung peningkatan keterampilan tenaga kerja, mendorong inovasi teknologi, dan menjalin kerjasama internasional yang dapat memperkuat daya saing industri Indonesia di era otomatisasi global. 

Hanya dengan langkah proaktif dan kolaboratif, Indonesia dapat menghadapi tantangan ini dan mengubahnya menjadi peluang untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

*) Raditya Indrajaya adalah Pengamat dan Praktisi Ekonomi, Komisaris Perumda Air Minum Tirta Raharja Kabupaten Bandung.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi

Tombol Google News

Tags:

opini Tiongkok AI Artificial Intelligence Indonesia