KETIK, MALANG – Kota Malang menjadi sasaran favorit bagi anak jalanan (anjal), gelandangan, pengemis (gepeng), hingga pengamen. Meskipun telah berkali-kali ditertibkan, banyak dari mereka kembali beroperasi di sekitar Kota Malang.
Kondisi ini menjadi sorotan sebab angka kemiskinan di Kota Malang selalu turun setiap tahunnya. Pakar sekaligus Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Abdus Salam S.sos M.Si menyebut bahwa pendekatan ekonomi tidaklah cukup.
"Jangan sampai anjal dan gepeng dilihat dari sisi faktor ekonomi saja. Tapi perlu pembinaan, rehabilitasi sosial, sehingga pendekatannya bukan dipangkas dan dipulangkan," ujarnya, ditulis Ketik.co.id, Minggu, 22 Desember 2024.
Faktor ekonomi hanyalah salah satu implikasi penyebab kehadiran gepeng dan pengemis di setiap jalan Kota Malang. Alih-alih pendekatan administratif, menurutnya harus dilakukan pendekatan humanis.
"Mereka (gelandangan dan pengemis) dalam konteks sosiologis adalah manusia yang dianggap tidak memiliki fungsi sosial dengan baik atau disfungsi sosial. Jadi pendekatannya bukan pendekatan administratif dan kekerasan," lanjutnya.
Diperlukan assessment dan pembinaan secara komprehensif dari organisasi perangkat daerah. Terlebih jika gelandangan dan pengemis tersebut bukan berasal dari Kota Malang.
"Seolah-olah kalau terpenuhi masalah ekonominya, maka selesai. Tidak begitu, harus multidimensi penanganannya," kata Sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur (PWM) Jatim.
Kota Malang sendiri memiliki Kampung Topeng Desaku Menanti yang merupakan realisasi program rehabilitasi dan pembinaan dari Kementerian Sosial (Kemensos) RI di tahun 2016. Kampung tersebut berisi eks gelandangan dan pengemis yang diberikan pembinaan ekonomi.
Seiring berjalannya waktu, didapati beberapa warga yang telah bekerja sebagai buruh pabrik. Namun juga ada warga yang memutuskan untuk kembali menjadi pemulung.
Menurut Salam, hal tersebut bisa terjadi jika fokus yang diberikan hanya pada bidang ekonomi.
"Oleh karena itu pendekatannya kemanusiaan. Misalnya di assessment kenapa gelandangan, apa problemnya. Kalau karna di jalan merasa memiliki tempat dan ruang ekspresi ya gak bisa pendekatannya ekonomi," tuturnya.
Fenomena gelandangan dan pengemis di Kota Malang bukanlah hal yang bisa dihilangkan sepenuhnya. Namun pemerintah dapat berupaya untuk meminimalisir fenomena tersebut.
"Kalau dihilangkan gak mungkin karena itu bagian dari fenomena sosial. Tapi diminimalisir bisa karena akan tumbuh berkembang fenomena sosial itu terjadi," ucapnya.
Pemerintah diminta untuk waspada terhadap cara kerja pengemis yang telah tersistem. Dikhawatirkan gelandangan, pengemis, maupun pengamen tersebut telah dikoordinir oleh oknum tertentu.
"Oleh karena itu melakukan pendekatan persuasif dengan tokoh yang dropping pengemis itu penting. Bisa saja mereka tersandera oleh tokoh yang ngedrop, mendapatkan ancaman dari bos mereka," tuturnya.
Tak hanya itu, penerapan sanksi kepada masyarakat yang memberikan uang kepada pengemis juga dinilai kurang efektif untuk mengatasi masalah tersebut.
"Itu pendekatan normatif karena pasti ada orang yang gak tega, simpatik dengan tampilan kumuh. Secara normatif mereka juga gak efektif, kecuali pendekatan kemanusiaan untuk menyadarkan pelaku tapi juga bos-bos penyalur. Caranya memaksimalkan pekerja sosial, Dinsos dan LSM," tutupnya. (*)