Tunggu Tubang, Model Kedaulatan Pangan Masyarakat Suku Semende di Sumsel

Jurnalis: Wisnu Akbar Prabowo
Editor: Millah Irodah

18 Januari 2025 14:12 18 Jan 2025 14:12

Thumbnail Tunggu Tubang, Model Kedaulatan Pangan Masyarakat Suku Semende di Sumsel Watermark Ketik
Komunitas Ghompok Kolektif mengadakan Lokakarya Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan pada Kamis, 16 Januari 2025 di Kedai Kawan Ngopi, Palembang. (Foto: Ghompok Kolektif)

KETIK, PALEMBANG – Dalam rangka melakukan riset terkait Tunggu Tubang, Komunitas Ghompok Kolektif mengadakan Lokakarya Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan pada Kamis, 16 Januari 2025 di Kedai Kawan Ngopi, Palembang. 

Lokakarya ini merupakan rangkaian kegiatan program Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan melalui Dana Indonesiana dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tahun 2025. Agenda ini menghadirkan Akademisi UIN Raden Fatah Palembang, Dr. Eni Murdiati dan Budayawan Sumatera Selatan (Sumsel), Taufik Wijaya.

Ketua Ghompok Kolektif, sekaligus koordinator program Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan, Muhammad Tohir menjelaskan, Tunggu Tubang bisa diartikan sebagai sebuah “jabatan” atau tanggungan kepada anak tertua perempuan− untuk menjaga, mengurus dan mengelola peninggalan atau warisan puyang (nenek moyang) berupa rumah, sawah, dan tebat yang tidak boleh diperjualbelikan. 

Tunggu Tubang sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat Semende yang menetap dan menyebar di sejumlah wilayah di sepanjang bukit barisan di Sumsel. 

Tohir menambahkan, melalui karya buku foto dan film dokumenter, Ghompok Kolektif akan berupaya meramu beragam pengetahuan yang ada pada masyarakat Semende, khususnya Tunggu Tubang. Dia berharap, diskusi ini bisa memberikan wawasan baru yang bermanfaat.

“Harapannya, diskusi ini dapat memberikan input yang bermanfaat untuk riset film dan buku foto ‘Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang’ yang akan segera kami garap,” kata Tohir.

Selanjutnya, Budayawan Sumsel, Taufik Wijaya mengatakan, Tunggu Tubang merupakan salah satu bagian penting dalam sistem pemerintahan adat di tingkat keluarga pada masyarakat Suku Semende, yang sudah berjalan secara turun temurun. 

Selain Tunggu Tubang, dalam sistem pemerintahan tersebut, dikenal juga Payung Jurai atau Meraje yang merupakan turunan anak laki-laki tertua dalam Jurai (keluarga). Payung Jurai memiliki wewenang untuk menegur, menasehati, atau memperingatkan Tunggu Tubang jika melakukan kesalahan atau melanggar ketentuan adat. 

“Bahkan, Tunggu Tubang dapat diganti melalui keputusan atau rapat besar para Meraje. Dinamika peran Tunggu Tubang dan Payung Jurai inilah yang mungkin telah menciptakan keseimbangan sosial dan budaya masyararakat Suku Semende selama ratusan tahun,” katanya.

Sistem pemerintahan adat ini, kata Taufik, merupakan bentuk kecerdasan para puyang masyarakat Suku Semende. Hal ini bermuara pada kedaulatan pangan berkelanjutan yang didukung oleh spirit mother earth pada sosok Tunggu Tubang. 

Konsep Tunggu Tubang yang menjaga lanskap pangan (hutan, mata air, sawah, hingga tebat) bisa menjadi sebuah model atau strategi ketahanan pangan berkelanjutan. Apalagi, kata Taufik, bumi akan mengalami puncak perubahan iklim di Tahun 2030.

"Dengan populasi manusia yang semakin meningkat hingga 8.025 miliar jiwa dan ditambah suhu bumi sudah mencapai 1,3 derajat, maka kita perlu menggali berbagai pengetahuan lokal untuk mitigasi perubahan iklim," terang dia.

Di sisi lain, Tunggu Tubang merupakan lumbung pengetahuan dan aktor penting dalam proses tranformasi pengetahuan terkait pengelolaan lanskap pangan serta alam secara arif kepada generasi muda di Semende. 

“Contoh kecilnya, mereka melakukan penanaman padi satu kali dalam setahun. Semuanya hampir tidak pernah gagal [panen] dan diserang hama. Karena pada periode penanaman, para burung melakukan migrasi," jelasnya.

Pengetahuan tersebut diajarkan sedari kecil oleh orangtua para Tunggu Tubang. Pemahaman menjaga lahan persawahan dan kebun juga dihubungkan dengan pemahaman dalam mempertahankan hutan dan sungai sebagai mitigasi perubahan iklim.

"Sebab, selama ini saya belum pernah mendengar di Semende itu krisis pangan, dan ini merupakan bukti pentingnya peran Tunggu Tubang yang membawa spirit ibu bumi yang mampu menghidupi semua makhluk hidup,” tutur Taufik.

Sementara itu, Akademisi UIN Raden Fatah Palembang, Dr. Eni Murdiati mengatakan, dengan berkembangnya jaman, ada banyak perubahan yang dianggap masih relevan dilakukan oleh para Tunggu Tubang, seperti aktualisasi diri, di mana realitanya, para Tunggu Tubang banyak ditemukan sudah tidak berada di desa untuk menuntut ilmu.

“Namun, kewajibannya sebagai Tunggu Tubang tetap dilakukan. Keberlanjutan di sini menjadi kata kunci,” kata Eni.

Fotografer dari Ghompok Kolektif sekaligus salah satu fotografer dokumenter yang akan terlibat dalam penggarapan buku foto Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang, Ahmad Rizki Prabu mengatakan, beberapa hari sebelumnya, Ghompok Kolektif sudah melakukan riset lapangan ke sejumlah desa di wilayah Semende, yakni Desa Muara Tenang, Desa Palak Tanah, dan Desa Kota Agung. 

Dari riset itu, dia menjelaskan, ada banyak pola adaptasi yang dilakukan oleh sejumlah Tunggu Tubang untuk mempertahankan ketahanan pangan keluarga, di antaranya menanam sayuran, kacang-kacangan, dan berkebun kopi.

“Ada banyak pola adaptasi atau inovasi yang dilakukan oleh sejumlah Tunggu Tubang salah satunya adalah menanam sayuran, kacang-kacangan, atau kopi. Semua itu merupakan bentuk inovasi atau adaptasi Tunggu Tubang dalam mempertahankan ketahanan pangan keluarga,” kata dia. 

Sejumlah Tunggu Tubang di Desa Muara Tenang, lanjut Prabu, juga ada yang menjadi guru, namun tetap mengurus kebun atau sawah mereka. 

“Hal ini tentu menarik untuk ditelusuri lebih dalam, dan kami berharap dapat menjadi pengetahuan bersama,” lanjutnya. (*) 

Tombol Google News

Tags:

ghompok kolektif Lokakarya tunggu tubang adat masyarakat semende Sumsel pangan