Menghadapi Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), sudah beberapa kali kepala daerah berupaya menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka. Di antaranya, Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajudin yang tersandung kasus korupsi di PDAM. Ilham Arif lolos meski kemudian ditetapkan tersangka lagi oleh penyidik KPK.
Hal yang sama pernah dialami oleh Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome yang tersandung kasus korupsi dan pendidikan luar sekolah dan merugikan negara Rp 77 miliar.
Semua kasus tersebut ditangani kejaksaan. Namun, karena mandek, maka perkara diambil alih KPK dengan dalih koordinasi dan supervisi. Setelah ditetapkan tersangka, Marthen melawan dengan pra peradilan dan menang. KPK tak menerimanya. Marthen ditetapkan tersangka lagi. Sayang, di langkah hukum kedua, Marthen kalah.
Pra peradilan juga dimanfaatkan oleh Ketua DPR Setya Novanto yang tersandung kasus e KTP. Setya Novanto juga memenangi pra peradilan meski akhirnya ditetapkan tersangka lagi.
Langkah yang sama pernah juga ditempuh Ketua BPK Hadi Poernomo, bahkan yang terbaru adalah Wamenkumham Eddy Hiariej yang terbelit kasus dugaan gratifikasi senilai Rp 7 miliar.
Pra peradilan memang efektif untuk menanggalkan status tersangka bagi mereka yang tersandung kasus hukum. Namun, tidak efektif untuk mendapatkan kepastian lepas dari jerat hukum secara permanen.
Bisa juga dikatakan bahwa pra peradilan sekadar untuk mengulur upaya paksa di KPK. Sebab, biasanya setelah dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka langsung digiring ke tahanan.
"Kemenangan" di meja pra peradilan bisa dibilang hanya sementara waktu. Sebab, biasanya para penyidik KPK justru "tertantang" untuk menetapkan tersangka kembali. Tentu saja, penyidik akan melengkapi semua "kekurangan" yang disebutkan hakim dalam putusan pra peradilan tersebut.
Dari beberapa kasus-kasus korupsi yang diamati sejauh ini, biasanya KPK akan kembali mereguk kemenangan di pra peradilan kedua.
Apalagi putusan MK No 21/PUU-XII/2014 memberikan Batasan. Di antaranya, bahwa penetapan tersangka tidak sah bila tidak memenuhi dua alat bukti yang cukup. Alasan lain bahwa pra peradilan terhadap suatu perkara yang sudah diputuskan tidak bisa dikatakan nebis in idem, karena belum menyangkut materi perkara.
Hal itulah yang memungkinkan KPK untuk tidak akan lelah meminta pertanggungjawaban pidana kepada seseorang sudah lolos dalam pra peradilan.
Saat bertugas menjadi wartawan beberapa tahun di Jakarta di KPK, saya kerap mengamati persidangan-persidangan korupsi. Rata-rata tidak ada cerita bahwa KPK kekurangan bukti dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Bahkan, bisa dibilang bukti yang diajukan lebih dari cukup. (*)
*Peneliti pada Sidoarjo Research and Initiative (SRI) Sidoarjo, pernah jadi jurnalis dan bertugas beberapa tahun di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
*) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
**) Ketentuan pengiriman naskah opini:
* Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
* Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
* Panjang naskah maksimal 800 kata
* Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
* Hak muat redaksi