Catatan Cahaya Sugiharto, Sahabat Dr Rizal Ramli
Talaud, mungkin akrab di telinga kita. Ya ini adalah salah satu pulau yang ada di ujung Indonesia. Tinggal tiga jam perjalanan kapal laut, kita akan tiba di pulau Miangas, pulau terluar dan paling utara Indonesia.
Di Talaud hanya ada sebuah perguruan tinggi. Namanya Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Rajawali. Adanya di Kawasan Kelurahan Beo Barat, Kecamatan Beo Talaud. Dari pelabuhan ke sekolah ini ditempuh selama 45 menit menggunakan mobil.
Jalannya kecil dan hanya cukup untuk dua mobil, tapi memang di sini mobil pun tidak banyak yang berlalu lalang. Tapi, hati-hati saat mengemudi, banyak anjing tidur di tengah jalan dan tidak takut dengan mobil, bahkan katanya, jika malam hari ada juga pemabuk yang tidur di tengah jalan.
Perguruan tinggi di sini cuma satu, berorientasi pada pendidikan Komputer. Cuma sayang, sekolah ini masih penuh perjuangan untuk menjalankan kegiatan belajar dan mengajar secara rutin.
Pendidikan tinggi di Talaud ini penting, karena kawasan ini hanya tiga jam perjalanan laut dari Pulau Miangas, pulau terluar wilayah Indonesia.
Jangan sampai anak-anak di Talud harus pergi ke Manado, Jawa atau bahkan pergi di Filipina untuk mengejar pendidikan tinggi mereka. Jika mereka anak orang mampu, mungkin tidak masalah. Tapi di Talaud banyak anak yang memerlukan pendidikan di kampung mereka.
Seberapa hiraukah para pemimpin kita dengan masalah pendidikan ?
Bung Karno, pendiri negara ini adalah orang yang hirau pada pendidikan. Ia harus berjuang untuk sekolah di AMS atau setara SMA untuk kemudian masuk ke perguruan tinggi.
Berkat kerja kerasnya, Bung Karno masuk ke Technische Hogeschool atau sekarang menjadi ITB, jurusan Teknik Sipil. Bung Karno sungguh dekat dengan dunia pendidikan.
Bukan hanya memaksakan dirinya untuk mengenyam pendidikan di era Belanda, tapi ketika ia dibuang ke Bengkulu, Bung Karno menjadi Ketua Dewan Pengajar Muhammadiyah dan ikut mengajar.
Saat Bung Karno sekolah di tingkat AMS Surabaya, pendidikan dari kalangan pribumi juga sudah mulai bermunculan seperti Muhammadiyah yang lahir pada tahun 1912.
Kedekatan Bung Karno bukan hanya soal pendidikan, tetapi ketika diasingkan ke Bengkulu, Bung Karno memperistri Fatmawati yang merupakan anak dari Hasan Din, tokoh Muhammadiyah di sana.
Bahkan sebegitu cintanya dengan Muhammadiyah, ketika wafat, salah satu wasiatnya adalah beliau ingin jenazahnya diselimuti bendera Muhammadiyah.
Dalam sebuah diskusi di UNJ bulan November 2020 lalu, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menuturkan, apa yang dilakukan Bung Karno sebenarnya bermuara pada falsafah bangsa dan tujuan bernegara seperti dimuat konstitusi. Yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan, menurut Bung Karno, adalah cermin kehidupan sebuah bangsa. Dan melalui pendidikan lewat sekolah, merupakan salah satu lokus untuk memulai revolusi mental.
Oleh sebab itu, Bung Karno mulai mengusung program wajib belajar. Program Wajib Belajar khususnya Wajib Belajar 6 Tahun sudah diperkenalkan melalui Undang-Undang No.4 Tahun 1950 tentang Pokok Pengajaran di Sekolah. Tapi hal ini butuh waktu lama, butuh waktu 34 tahun hingga wajib belajar mulai menjadi Undang- Undang Pendidikan pada tahun 1984.
Tapi sebentar dulu, bagaimana ceritanya dibalik wajib belajar itu muncul setelah 34 tahun? Ada mahasiswa ITB yang dulu tempat Bung Karno juga belajar.
Mahasiswa ini Rizal Ramli atau Bung RR. Waktu jadi mahasiswa pada tahun kedua, Bung RR memenangkan sebuah perlombaan menulis, hadiahnya mengikuti kuliah Asian Studies di Sophia University, Jepang. Ia kuliah di sana selama 30 hari.
Jepang adalah negara yang pertama kali ia kunjungi. Meski kalah Perang Dunia ke II, tapi Jepang demikian maju, memastikan rakyatnya dapat pendidikan yang baik sehingga bisa bekerja dengan baik dan berujung pada kehidupan yang baik.
Pulang dari Jepang, Bung RR bersama seorang kawannya alm. Irzadi Mirwan (Adi) menyusuri pantai utara Jawa sampai Bali Utara. Tanpa modal banyak, mereka menggunakan berbagai macam cara untuk pergi atau kerennya sekarang disebut backpacker.
Dalam perjalanannya ini, ada satu hal yang amat berkesan dan diingatnya, saat berada di Tegal. Di sana ia bertemu dengan seorang nelayan, yang memiliki seorang anak namanya Sugriwa.
Ceritanya, mereka berempat mencari ikan dari malam hingga pagi pergi ke bagan, sebuah tempat di tengah laut untuk menangkap ikan. Angin malam cukup kencang dan dingin. Yang menyentuh perasaan Bung RR adalah, ketika nelayan itu membagi makanan sederhana dan sedikit yang mereka bawa malam itu.
Tapi lebih sedih lagi ketika tahu Sugriwa, anak sang nelayan yang berumur 12 tahun, belum pernah duduk atau mengenyam pendidikan. Pengalaman inilah yang membuat Bung RR ketika kembali ke ITB, bertekad untuk mewujudkan seluruh anak Indonesia untuk wajib belajar. Paling tidak, wajib belajar selama 6 tahun bisa membuat setiap orang bisa membaca, menulis dan berhitung.
Bersama dengan teman-temannya di ITB, Bung RR mengundang WS Rendra untuk datang ke ITB, yang kemudian menghasilkan puisi terkenal yang berjudul “Sebatang Lisong”.
Risky Mulyani dalam blognya mengungkapkan Puisi Sajak Sebatang Lisong ini memiliki makna penting, yakni membahas soal kesenjangan sosial, khususnya pendidikan.
Penguasa yang berbuat sewenang-wenang, sedangkan banyak masyarakat kesusahan. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga mengundang sutradara terkenal Sjuman Jaya, yang kemudian melahirkan film “Yang Muda Yang Bercinta”.
Gerakan yang massif ini diperhatikan oleh Presiden Soeharto dan kemudian Pak Harto memenuhi tuntutan itu dan mencanangkan wajib belajar di Hari Pendidikan pada 2 Mei 1984. Lima tahun kemudian, berdasarkan UU No. 2/1989 tentang Pendidikan Nasional, wajib belajar diberlakukan 9 tahun.
Meski kemudian Bung RR menjadi begawan ekonomi, berkali-kali menjadi menteri dan Menko, tapi putrinya, saya menyebutnya Mbak Ditta, ternyata memiliki perhatian luar biasa besar pada dunia pendidikan.
Mbak Ditta juga lulusan ITB dan alumni Inggris bersama kawan-kawan guru membuat “Gerakan Belajar Matematika" bernalar dan kontekstual, berhasil melatih 4000-an guru dari seluruh Indonesia untuk memperbaiki cara mengajarkan matematika sehingga lebih menarik dan menyenangkan. Pilihan ini membuat Bung RR terharu dan bangga, putrinya penuh perhatian pada dunia pendidikan.
Bung RR, pernah sukses sebagai pengawal pertama program wajib belajar 6 tahun di Indonesia. Mudah-mudahan di 2024, Bung RR bisa memimpin lagi negeri ini, kemudian menyempatkan diri jalan jalan ke Talaud, mancing ikan lagi di utara Indonesia lebih jauh daripada dulu saat di Tegal dan tentu akan mampu membenahi banyak masalah pendidikan di pulau-pulau terluar di Indonesia. Pendidikan ? Merdeka! Merdeka! Merdeka!.(*)