FSPPB Akan Laporkan KPPU ke KPK: Pekerja Pertamina Siaga, Layanan Avtur Tetap Lancar Terjaga

Editor: Muhammad Faizin

1 Oktober 2024 17:00 1 Okt 2024 17:00

Thumbnail FSPPB Akan Laporkan KPPU ke KPK: Pekerja Pertamina Siaga, Layanan Avtur Tetap Lancar Terjaga Watermark Ketik
Presiden FSPPB, Arie Gumilar (tengah) bersama Marwan Batubara (kanan) dalam seminar yang membahas tentang Avtur pada Selasa, 01 Oktober 2024. (Istimewa/FSPPB)

KETIK, JAKARTA – Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menyatakan akan melaporkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penyelidikan dugaan praktik monopoli dalam penyediaan avtur di bandara.

FSPPB menilai tudingan KPPU tidak berdasar dan mencerminkan ketidakadilan dalam pengawasan persaingan usaha di sektor penerbangan.

Presiden FSPPB, Arie Gumilar, menegaskan bahwa masalah mahalnya tiket penerbangan domestik lebih disebabkan oleh kemungkinan praktik kartel maskapai penerbangan, bukan harga avtur.

"Harga avtur Pertamina secara historis tidak lebih mahal dari kompetitor di Asia Tenggara. Pertamina tetap melayani seluruh bandara, meskipun geografis Indonesia rumit dan kadang tidak ekonomis," ujarnya dalam seminar “Keran Avtur Dibuka untuk Asing dan Swasta, Bagaimana Nasib Pertamina?” yang dilaksanakan hari Selasa, 01 Oktober 2024. 

Marwan Batubara, pengamat energi, yang juga narasumber seminar memberikan pendapatnya bahwa regulasi yang ada seperti Peraturan BPH Migas Nomor 13 Tahun 2008, sudah memperbolehkan pihak swasta untuk terlibat dalam distribusi avtur. Jadi tidak ada monopoli mutlak sebagaimana yang dituduhkan KPPU. "Di sisi lain, konstitusi juga menjamin peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam sektor-sektor strategis, termasuk avtur," ujarnya. Marwan menegaskan bahwa monopoli yang diberikan kepada BUMN seperti Pertamina, adalah monopoli alami (natural monopoli). Bukan hanya untuk kepentingan bisnis semata, tetapi juga untuk kepentingan negara. Dan konsep memberi protection maupun privilege kepada perusahaan milik negara ini jamak ditemui juga di negara-negara lain.

Marwan menjelaskan bahwa ada manfaat dari natural monopoli ini, terutama dalam hal kemampuan BUMN untuk melakukan cross subsidi.

"Contohnya, Pertamina dapat menjual avtur dengan volume besar di bandara utama seperti Cengkareng atau Surabaya, dan menggunakan keuntungan tersebut untuk menutupi biaya distribusi avtur di daerah-daerah terpencil seperti Papua, Maluku, atau Kalimantan yang memiliki volume lebih kecil dan biaya distribusi lebih tinggi. Dengan cara ini, harga avtur di seluruh Indonesia dapat tetap terjangkau," jelasnya.

Adapun Alvin Lie, pengamat penerbagan, yang juga hadir sebagai pembicara menyatakan bahwa Pemerintah tidak benar-benar serius menurunkan harga tiket.

Transportasi udara adalah satu-satunya moda transportasi publik yang tiketnya dibebani PPN. Ada juga beragam biaya bandara yang dibebankan pada operasi airlines seperti izin ganda bandara enclave sipil, security clearance fee, pass bandara, PJP4U, sewa counter check in, biaya garbarata, dll.

"Pemerintah perlu evaluasi biaya bandara dan tinjau kembali regulasi yang membolehkan pengelola bandara setiap 2 tahun menaikkan PJP4U & PJP2U. Libatkan konsumen dalam evaluasi kelaikan biaya bandara, terutama PJP2U. 

Bila serius menurunkan harga tiket pesawat lakukanlah audit atas aspek biaya bandara", ujarnya.

Di tengah situasi ini, FSPPB meminta seluruh pekerja Pertamina untuk tetap fokus pada tugas utama mereka, terutama dalam pelayanan avtur di 72 Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) yang tersebar di bandara seluruh Indonesia.

"Kami meminta seluruh pekerja tetap menjalankan tugas dengan profesionalisme tinggi sembari tetap siaga dan waspada mengikuti perkembangan dinamika yang terjadi. 

Tunggu satu komando dari FSPPB untuk langkah selanjutnya," pungkas Arie. (*) 

Tombol Google News

Tags:

Avtur Harga avtur FSPPB Pertamina KPPU KPK