Kisruh Olahraga di Sumsel, Dari Hilangnya Prestasi Hingga Politisasi

Jurnalis: Wisnu Akbar Prabowo
Editor: Muhammad Faizin

28 September 2024 16:00 28 Sep 2024 16:00

Thumbnail Kisruh Olahraga di Sumsel, Dari Hilangnya Prestasi Hingga Politisasi Watermark Ketik
Sekretaris Umum Persatuan Atlet Seluruh Indonesia (PASI) Sumsel, Zulfaini M Rofi menilai target Sumsel di PON XXI tidak realistis dan perlu pembenahan. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)

KETIK, PALEMBANG – Menurunnya prestasi atlet olahraga di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) khususnya di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) menjadi sorotan banyak pihak.

Tak sedikit yang memberikan pandangan mengenai prestasi atlet Sumsel yang terus merosot dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah pengamat politik Sumatera Selatan (Sumsel), Bagindo Togar. 

Menurut Bagindo, prestasi atlet-atlet di Sumsel terus mengalami penurunan akibat masyarakat dan pemerintah tidak tahu substansi olahraga yang sebenarnya.

Hal ini diungkapkannya saat Diskusi Publik bertajuk "PON 2024 dan Masa Depan Olahraga Sumsel" yang diselenggarakan di Kawan Ngopi Cafe pada Jumat, 27 September 2024 malam.

Sebelum memikirkan prestasi, terus dia, masyarakat dan pemerintah harus mengetahui substansi dan menerapkan fungsi olahraga.

"Unsur olahraga itu ada tiga, yang pertama substansi, kedua fungsi, lalu yang ketiga profesi atau prestasi. Kita itu terlalu fokus dengan unsur ketiga dan melupakan yang lain," ungkapnya.

Bagindo menegaskan bahwa sebelum mengharapkan prestasi, para atlet-atlet olahraga di Sumsel harus dibina dengan maksimal, salah satunya adalah dengan melakukan pelatihan secara bertahap.

Kemudian, untuk menciptakan ekosistem olahraga yang sehat, masyarakat dan pemerintah harus menjadikan olahraga sebagai kebutuhan.

"Jadikan olahraga sebagai kebutuhan. Kalau sudah merasa butuh kita pasti bakal berlomba-lomba untuk berolahraga. Setelah itu baru kita bisa ngomongi soal prestasi," tegasnya.

Bagindo juga menekankan bahwa olahraga tidak seharusnya dijadikan sebagai kendaraan politik. Dia mengkritik keras para 'atlet' politik yang memanfaatkan olahraga untuk kepentingan pribadi, seperti mengadakan nonton bareng (nobar) dengan diselingi unsur-unsur politik.

"Hindari politisasi olahraga. Kita ini apa, dikit-dikit nobar bola untuk kepentingan politik. Para calon wali kota, bupati, semua berlomba-lomba bikin nobar. Tapi ada gak mereka peduli dengan olahraga? Nihil. Dana aja cuma Rp20 miliar," kata Bagindo.

Anggaran minim dan target yang terlalu tinggi

Akademisi dari Universitas Sriwijaya, Prof. Meirizal Usra menilai, menurunnya prestasi Sumsel di PON terjadi karena kurang maksimalnya anggaran pemerintah yang diberikan kepada para atlet.

Meski menurut Meirizal, motivasi atlet di Sumsel sangat baik, namun karena anggaran pembinaan yang kurang menyebabkan para atlet juga kesulitan untuk berlatih.

"Anggaran tentunya berpengaruh. Dengan adanya anggaran, atlet akan lebih aktif berlatih," ungkap Meirizal.

Diketahui, anggaran yang dituangkan oleh Pemprov Sumsel pada PON XXI Aceh-Sumut sebesar Rp20 miliar. 

Jumlah tersebut jauh lebih sedikit ketimbang saat Sumsel mengikuti PON XX Papua. Waktu itu, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sumsel mengajukan dana sebesar Rp95 miliar, dengan jumlah yang dicairkan sebesar Rp37,5 miliar yang berasal dari APBD induk (Rp12,5 miliar) dan APBD Perubahan (Rp25 miliar).

Di sisi lain, Sekretaris Umum Persatuan Atlet Seluruh Indonesia (PASI) Sumsel, Zulfaini M Rofi menaksir, dengan anggaran demikian, mustahil untuk mencapai target yang diangankan KONI Sumsel.

Sumsel sempat menargetkan untuk bertengger di 10 besar dan membawa pulang 58 medali di PON XXI Aceh-Sumut dengan rincian 20 emas, 12 perak, dan 26 perunggu.

Namun kenyataannya, Kontingen Bumi Sriwijaya hanya mampu mendulang enam medali emas, 15 perak, serta 30 perunggu dan menduduki urutan 21.

"Waktu saya dengar target itu saya cuma bilang mimpi. Target setinggi itu tapi support kita belum maksimal," tutur Zulfaini.

Fasilitas gelanggang olahraga berbayar

Selain masalah anggaran, Zulfaini mengungkapkan bahwa sampai sejauh ini, para atlet di Sumsel tidak mempunyai akses untuk memakai gelanggang olahraga yang ada.

Salah satu tempat dengan fasilitas olahraga terlengkap di Sumsel terletak di Jakabaring Sport City. Akan tetapi, untuk bisa berlatih di sana, para atlet harus menggelontorkan sejumlah uang dengan nominal yang cukup tinggi.

"Kita kalau mau latihan ke Jakabaring harus bayar, dan itu tidak murah. Kalau tidak ada anggaran kita tidak bisa pakai fasilitas di sana. Kalau begitu kan atlet jadi susah mau berlatih. Paling-paling cuma bisa nyewa tempat seadanya," kata dia.

Dengan anggaran terbatas, atlet-atlet di Sumsel harus memutar otak untuk bisa berlatih dengan baik, salah satunya adalah dengan memanfaatkan fasilitas seadanya.

Di sisi lain, para atlet yang hendak berlatih biasanya harus menyiapkan semua perlengkapannya secara mandiri, termasuk untuk akomodasi mereka sehari-hari.

"Mereka (atlet) itu perlengkapan beli sendiri, makan sendiri, transportasi juga sendiri, ya gimana mau berprestasi kalau apa-apa dilakukan sendiri. Nanti kalau mereka menang semuanya ikut bersorak," ujarnya.

Zulfaini mengkritik pemerintah melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) dan KONI Sumsel mengenai prestasi olahraga di Sumsel yang kian lama semakin merosot.

Menurutnya, ini merupakan tanggung jawab besar yang harus diselesaikan, terkhusus dalam menghadapi pelaksanaan PON XXII di NTT-NTB pada 2028 nanti.

Dia berharap para pengurus cabang olahraga bisa mengevaluasi dan memberikan jalan terbaik agar atlet-atlet di Sumsel bisa berprestasi lagi.(*) 

Tombol Google News

Tags:

Olahraga Prestasi koni PON Sumsel atlet medali politik fasilitas jakabaring