KETIK, JAKARTA – Pengamat Kebijakan Publik Sholihin MS menilai anjuran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian agar rakyat mulai makan ubi atau sorgum adalah sebuah opsi yang tidak cerdas dan bijak.
Kelangkaan bahan baku gabah karena gagal panen itu ia sebut akibat keteledoran dan salah strategi pemerintah dalam pengelolaan pertanian.
"Ya, karena pemerintah yang hobi mengimpor beras walaupun stok beras sedang melimpah. Sementara itu para petani kurang diproteksi," kata Sholihin, Sabtu (7/10/2023).
Ia mencatat banyak sekali keluhan dari para petani yang ketika panen raya dan stok melimpah, justru pemerintah malah mengimpor beras dari luar negeri.
Akhirnya para petani banyak yang frustrasi dan meninggalkan tanam padi, karena ketika petani sedang panen harga gabah jatuh, sementara harga pupuk sangat mahal dan kadang barang susah didapat.
"Jika Indonesia mengalami krisis pangan, gara-garanya rezim ini yang tidak becus mengurus negara. Satu-satunya solusi adalah mundur, bukan rakyat yang disuruh prihatin dengan makan ubi atau sorgum," tegasnya.
"Karena elitnya sendiri senantiasa berfoya-foya tanpa memikirkan rakyat kecil," tambahnya.
Sholihin menambahkan, masa-masa krisis juga pernah dialami ketika tahun 1965, yaitu masa-masa transisi di mana PKI pada waktu itu melakukan pemberontakan. Saat itu rakyat banyak makan ubi, bulgur, beras menir, dan lain-lain.
"Situasi sekarang apakah akan kembali ke masa 1965, dengan tanda-tanda bangkitnya PKI?," duganya penuh tanya.
Situasi 1965, lanjut Sholihin, bisa berulang kembali jika pemerintahan tidak segera menyadari berbagai kebijakan mereka yang salah.
Krisis 1965 baru bisa teratasi ketika Presiden Soeharto yang anti PKI menjabat sebagai Presiden RI Ke-2.
"Di tangan Soeharto Indonesia mampu swasembada pangan," sambungnya.
Rezim saat ini, kata Sholihin, dari awal sangat abai terhadap kesejahteraan rakyat. Semua kebijakan hanya mementingkan oligarki dan segelintir pejabat korup.
"Sedangkan rakyat terus diperas dan dihisap darahnya. Ada 10 kesalahan rezim ini dalam mengelola negara sehingga rakyat tidak mungkin akan bisa sejahtera," bongkarnya.
Kesalahan pertama yang dinilai oleh Sholihin adalah tidak adanya kemandirian dalam membuat grand design pengelolaan negara.
"Rezim ini sudah terjerat suap oleh oligarki, sehingga mereka cuma boneka yang harus tunduk kepada majikannya," ujarnya.
Kesalahan kedua, semua kebijakan pemerintah hanya mengutamakan kepentingan oligarki.
Mulai dari amandemen UUD 45 menjadi UUD 2002, semua produk Undang-undang selama ini (UU HIP, UU Minerba, UU Tata Lingkungan, KUHP, UU Cipta Kerja, UU Covid-19, UU Kesehatan, dan lain-lain), berbagai peraturan pemerintah dan Perppu hingga kebijakan Program Strategis Nasional (PSN).
"Semua dirancang hanya untuk kepentingan oligarki," tegas Sholihin.
Kesalahan ketiga, hukum dijadikan alat kekuasaan. Bukan saja hukum yang dijadikan alat penguasa, tetapi juga semua lembaga penegakan hukum jadi alat kekuasaan.
"Mulai KPK, MK, MA, kejaksaan dan kepolisian," ujar Sholihin.
"Keempat, tidak ada kemandirian lembaga legislatif, semuanya tunduk di bawah ketiak oligarki. DPR/MPR selama ini cuma jadi buzzer dan stempel rezim. Tidak ada kemandirian, semuanya sudah terjerat suap oligarki," sambungnya meretas.
Kelima, pemerintah dinilai tidak serius memberantas korupsi. Korupsi dibiarkan merajalela.
"Mulai dari korupsi elit, lingkar istana, pejabat negara, para menteri, sampai kepada para pejabat parpol ramai-ramai berkorupsi ria tanpa ada penanganan serius baik dari KPK, kejaksaan, MA, dan kepolisian. Siapa yang mau menjilat penguasa dijamin aman, siapa yang berani mengusik pasti terancam," tegasnya.
Keenam, tidak ada kewibawaan dari top leader. Semua pejabat negara di era ini dinilai tidak ada yang berperilaku terpuji.
"Banyak omong tapi akhlak dan moral mereka sudah rusak, tidak ada yang bisa diteladani. Para pemimpin negeri ini sudah tidak ada yang berwibawa di mata rakyat," sesalnya.
Ketujuh, sambung Sholihin, semua menteri kabinet bekerja atas tekanan penguasa. Semua menteri kabinet tidak ada yang mempunyai kemandirian, semuanya diorkestrasi yang dikendalikan oligarki, mereka bekerja hanya untuk melayani majikan, bukan untuk rakyat.
Kedelapan, Sholihin menilai pemerintah tidak mampu membela kaum buruh, petani, nelayan, dan pedagang kecil. Demi melayani kepentingan oligarki dan China, rakyat dikorbankan, baik buruh, petani, nelayan, pedagang kecil dan lainnya.
"Kesembilan, tidak mampu mempersatukan elemen bangsa. Di era ini terjadi pembelahan," ungkap Sholihin.
Rizal Ramli: Kebijakan Amburadul
Harga beras memang semakin mahal sejak Agustus hingga Oktober ini terus menanjak. Sementara pembelian beras di ritel modern mulai dibatasi. Masyarakat resah dan meminta pemerintah menstabilkan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya.
Ekonom senior Rizal Ramli (RR) mengaku prihatin dengan pengelolaan bahan kebutuhan pokok yang amburadul hingga membuat sejumlah harga kebutuhan pokok meroket. Kali ini beras yang harganya semakin meroket dan pembeliannya juga dibatasi.
Rizal Ramli mengaku sudah mengingatkan soal kondisi tersebut sejak 6 bulan lalu.
“RR sudah ingatkan sejak 6 bulan yll. Pemerintah hamba oligarki ini memang payah. Ngurus minyak goreng payah, sekarang ngurus beras amburadul, bikin rakyat susah doang!!,” ujarnya melalui akun Twitternya, @RamliRizal di Jakarta, Selasa (3/10/2023).
Tidak Pro Rakyat
Pengamat kebijakan publik dari Political and Publik Policy Studies (P3S), Jerry Massie mengatakan, harga beras yang semakin meroket dan pembeliannya harus dibatasi merupakan kebijakan yang tidak pro rakyat kecil. Tidak terkendalinya harga beras menunjukkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Jokowi semakin urakan.
“Ini nggak benar, masa urus beras aja tidak bisa? Harusnya pemerintah mencari solution and the way out solution atau jalan keluar mengatasi persoalan pangan,” ujar Jerry kepada Harian Terbit, Selasa (3/10/2023).
Jerry menegaskan, sangat tidak masuk akal adanya kebijakan pembelian kebutuhan pokok yang harus dibatasi. Sebelumnya pembelian minyak goreng juga dibatasi. Kali ini pembelian beras juga dibatasi. Sehingga membuat sulit masyarakat yang akan membeli beras.
Jerry mempertanyakan pembelian beras dibatasi karena selama ini Indonesia dikenal sebagai negara penghasil beras.
“Lahan kita cukup besar tapi Jokowi memerintahkan untuk mengimpor beras dari Cina. Tak tanggung-tanggung 1 juta ton. Ini melukai petani kita dan menyengsarakan nasib mereka,” jelasnya.
Kebijakan pro farmer (pro petani) juga disebut nihil.
"Jadi selama ini Jokowi banyakan blusukan ke petani-petani dan turun ke sawah-sawah hanya sebuah dusta,” imbuhnya.
Apalagi, katanya, saat ini keberadaan mafia pangan juga tetap bergentayangan. Para mafia pangan akan mengatur harga atau menyimpan stok beras jelang hari raya umat Kristen dan akhir tahun.
“Kalau dia tetap impor padahal subsidi pupuk buat petani agar produksi pangan khususnya beras terjaga stoknya. Tapi stok beras di Bulog masih bisa dicover. Untuk menjaga fluktuatif harga beras maka sidak di pasar harus gencar dan tim satgas pengawas dan pemantau di lapangan,” paparnya.
Toko Ritel Batasi Pembelian Beras
Sejumlah toko ritel papan atas seperti Super Indo dan Alfamart mulai membatasi pembelian beras premium yaitu sebanyak 10 kg per hari untuk setiap konsumen.
Dengan pembatasan itu, masyarakat hanya bisa memboyong 2 kantong kemasan beras per hari dari toko ritel tersebut.
Maksimal 2 kemasan per konsumen per hari. Pembelian produk beras all variant," tulis keterangan di rak penyimpanan beras tersebut di Super Indo Duren Tiga, Jakarta Selatan, Senin (2/10/2023).
Seperti diberitakan, salah satu crew Super Indo di Jakarta Selatan membenarkan pembatasan tersebut. Ia menyebut langkah itu berlaku serempak di seluruh gerai Super Indo di Indonesia.
"Iya sekarang semua jenis beras lagi dibatasi pembeliannya, sekali transaksi cuma boleh bawa pulang 2 kemasan ukuran 5 kg. Sudah dari awal September (2023) kemarin kalau enggak salah, semua Super Indo sama aturannya," ujarnya.
“Dibatasi karena kan stoknya sedikit, ada El Nino itu kan. Stoknya tipis sekarang, jadi dibatasi. Kalau sudah banyak lagi pasti enggak dibatasi kok," imbuhnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan pembatasan itu sesuai dengan arahan yang diterima asosiasinya saat bertemu dengan Badan Pangan Nasional.(*)