KETIK, PROBOLINGGO – Dinamika politik yang hangat saat ini adalah terkait peluang calon wakil presiden bahkan presiden Indonesia mendatang dipercayakan pada generasi muda. Hal itu kini telah menjadi tantangan demokrasi bangsa.
Lembaga Kajian Politik John Caine Centre menyatakan tantangan tersebut harus dijawab secara tepat, bijaksana dan tidak terjebak pada wacana politik formal semata.
Berdasarkan kajian John Caine Centre, setelah 78 tahun merdeka, baru kali ini pemilihan umum didominasi pemilih muda yang tersebar pada Gen X,Y,Z dan milineal.
KPU RI per Juli 2023 mencatat daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 sebesar 204.807.222 jiwa. Dari jumlah tersebut, 52 persen di antaranya atau 106.358.447 jiwa merupakan pemilih muda.
Pemilih berusia 17 tahun terdata sebesar 0,003 persen atau sekitar 6 ribu jiwa. Pemilih dengan rentang usia 17 tahun hingga 30 tahun mencapai 31,23 persen atau sekitar 63,9 juta jiwa.
Disusul pemilih dengan usia 31 tahun hingga 40 tahun sebanyak 20,70 persen atau sekitar 42,395 juta jiwa. Sementara pemilih dengan usia di atas 40 tahun ‘hanya’ mencapai 48,07 persen atau sejumlah 98.448.775 orang.
Maka dapat dipastikan pemilih muda membutuhkan artikulator untuk membangkitkan optimisme, mewakili kepentingan dan menyalurkan aspirasi mereka. Para pemilih muda ini memiliki cara pandang sendiri melihat masalah bangsa dan masa depan adalah milik mereka.
“Pertanyaannya adalah siapkah kepemimpinan nasional diserahkan pada kaum muda? Ternyata kita belum sanggup menjawabnya,” kata Chairman John Caine Centre, Najib Salim Attamimi, (23/8/2023).
Hingga kurang dari enam bulan menuju pemilihan presiden dan wakil presiden, Indonesia belum memiliki jawaban atas pertanyaan hak dipilih kaum muda menjadi pimpinan nasional. Bangsa Indonesia menanti jawaban Mahkamah Konstitusi atas gugatan uji materi yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Juli 2023 terhadap aturan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal ini mengatur persyaratan usia untuk menjadi capres dan cawapres minimal berumur 40 tahun. Sementara tidak ada batas usia maksimal dalam pasal tersebut. Hal ini, menurut Najib, jelas membatasi kesempatan pemuda untuk tampil menjadi pemimpin bangsa.
Berbagai alasan yang mendasari Pasal 169 huruf q UU Pemilu tidak lagi obyektif dan relevan (out of date). “Usia tidak ada kaitannya dengan kualitas kematangan seseorang. Jika kaum muda dinilai masih labil atau belum cakap, tidak ada jaminan mereka yang sudah tua lebih matang,” jelas Najib.
Banyak negara di dunia, seperti Kanada, Perancis dan Arab Saudi, pemimpin muda terpilih mengalahkan tokoh atau politisi senior. Indonesia sendiri memiliki banyak pemimpin muda potensial. Para pemimpin muda yang telah teruji memimpin berbagai posisi dan jabatan publik maupun politik. Ada Puan Maharani yang pernah menjadi Menteri Koordinator dan kini menjabat Ketua DPR. Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Ketua Partai Demokrat, Giring Nidji yang mengetuai Partai Solidaritas Indonesia, Anies Baswedan yang pernah menjabat menteri dan gubernur.
Ada pula Sandiaga Uno atau Erick Thohir yang masih duduk dalam Kabinet Presiden Jokowi. Di luar itu ada Yenny Wahid yang aktif dalam gerakan masyarakat sipil, Emil Dardak dan Gibran Rakabuming Raka yang sedang menduduki jabatan pimpinan daerah. Berbagai jabatan dan pengalaman tersebut, tegas Najib, menandakan bahwa para pemimpin muda kompeten, matang dan berpengalaman.
Terlepas dari siapa calon presiden atau calon wakil presiden yang akan memasuki gelanggang pemilihan, para pemimpin muda harus didukung dan diberi ruang. “Bukan malah memasang batasan yang menghambat karir politik mereka. Apakah itu syarat minimal umur, pengalaman atau partai pengusung harus memiliki kursi di DPR,” lanjut Najib.
Faktanya dalam sejarah, tidak ada presiden dan wakil presiden Indonesia yang punya pengalaman sebelumnya.” Kecuali Jusuf Kalla, yang pernah menjabat dua kali wakil presiden,” ungkapnya.
John Caine Centre juga menyoroti kedewasaan sejumlah partai politik anah air. Beberapa partai terlihat kurang akomodatif bahkan melihat bonus demografi semata sebagai peluang pasar atau tenaga kerja. Partai politik yang lebih akomodatif sempat disambut partai lain pada awalnya. Namun dalam perjalanan, ide mereka seperti dihambat.
“Marilah kita sama-sama dewasa. Transisi sudah waktunya dijalankan. Kalau tidak sekarang, kita akan terlambat,” tegasnya.(*)