Sebetulnya Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024) menjadi peristiwa yang harus dikawal dengan baik. Artinya semua pemilu harus memiliki perhatian khusus dari pemerintah dan siapapun dalam pelaksanaannya. Para pasangan calon presiden (capres) dan pasangannya tidak bersaing dengan manusia yang memiliki roh dan jiwa namun bagaimana ia menunjukkan dirinya mampu menjawab kecerdasan buatan. Apabila mereka menolak maka bukanlah pilihan bijaksana karena dunia semakin menuju ke arah sana dan jika mereka menerima maka harus ada penyertaan yang bijaksana. Ketika para capres memiliki visi misi yang terkesan untuk menghidupi manusia pad aumumnya maka akan timbul penolakan halus pada kecerdasan buatan. Misalnya saja bagaimana memenuhi pasal-pasal hak asasi manusia dalam Pasal 28A hingga Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 dengan kecerdasan buatan.
Sebagai contoh Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 termaktub bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Cara ortodoks yaitu dengan membuka saluran penerimaan informasi dan penegakan hukum yang menolak keadilan restoratif. Tetapi apabila dikolaborasikan dengan kecerdasan buatan maka bisa dilakukan dengan membuka layanan 24 jam melalui robot yang terkoneksi dengan algoritma penyelesaian permasalahan anak. Bisa saja dibedakan sesuai sifat umum atau khususnya kasus. Penyebaran video kampanye yang masif akan kekerasan dan diskriminasi harus menjadi bagian penting. Sebaran-sebaran telnologi demikian menjadikan siapapun harus berbenah tetapi tidak meninggalkan peran manusia itu sendiri. Tentu ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan kecerdasan buatan tetapi harus ada batasan juga sejauh mana ia bisa menyelesaikan masalah terkait pasal ini.
Kecerdasan buatan sebaiknya menjadi saran untuk memberikan edukasi yang bebas hoaks karena negara harus memberi informasi yang terpercaya. Kaitan lainnya terhadap Pemilu 2024, kecerdasan buatan dapat menarik generasi penerus paham akan siapa yang dipilihnya. Kadang kala kampanye hanya berusaha menarik suara generasi yang mereka memiliki hak untuk memilih sedangkan mereka yang masih duduk di sekolah dasar atau sekolah menengah pertama bukanlah tujuan utama. Dalam hal ini haruslah dipahami bahwa proses kepedulian para capres terhadap anak-anak sekolah bukanlah membebani mereka akan dunia politik namun bagaimana mereka agar memiliki kepedulian akan negaranya. Tidak ada salahnya memberikan visi dan misi yang konkret akan program yang diajukan untuk anak-anak sekolah. Dengan demikian akan menjadikan program yang bisa mengenai seluruh pihak.
Tampaknya simulasi untuk melakukan pemilihan umum bisa dijadikan program Komisi Pemilihan Umum untuk anak-anak sekolah. Anak-anak diajarkan teknik memilih dengan melakukan penelusuran terlebih dahulu, setelah mereka mengetahui maka keinginan mereka yang tidak terpenuhi akan bisa dipenuhi secara bertahap atau langsung hingga respons dalam melakukan kerjasama jika mengalami kekalahan. Semua ini bisa dikemas melalui kecerdasan buatan dan secara tidak langsung pendidikan terkait pemilu menjadi kemajuan suatu bangsa.
Ketika kecerdasan buatan sudah teratas maka lagom pun tercipta. Lagom dalam bahasa Swedia diartikan sebagai “in moderation”, “just right” atau “not too much and not too little”. Ketika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “secukupnya”, “tepat” atau “tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit”, sebagaimana orang Swedia biasa menjawab pertanyaan ini dengan aksen Swedia mereka yang manis. Orang Swedia percaya bahwa memiliki kata yang menggambarkan “secukupnya” adalah hal yang unik dan tidak dimiliki oleh bahasa lain di dunia. Sebetulnya banyak filosofi adat di Indonesia yang memiliki kesamaan dengan lagom dan itu bisa menjadi pegangan dalam mengatasi kecerdasan buatan jikalau rasa khawatir masih mengikuti.lagom tercapai maka seluruhnya mendapatkan haknya masing-masing. Kembali lagi pada esensi pemilu yang diadakan di Indonesia bulan Februari mendatang. Pemilu 2024 tidak sekadar memilih namun ada kontrak sosial yang harus diterima oleh para calon dari masyarakat untuk dipenuhi. Pemikiran-pemikiran futuristis harus menjadi tujuan utama tanpa meninggalkan agama dan moral bangsa.
Kita tidak lagi berbicara akan penyelesain masalah secara personal namun harus mendunia. Peran serta negara sebagai subjek hukum harus terlihat jelas. Masyarakat global adalah masyarakat Indonesia dan sebaliknya.
*) Oleh: Tomy Michael adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi