Bangsa Indonesia kehilangan tokoh penting sekaliber Prof. Dr. BJ Habibie, mantan Presiden RI ke-3 yang dikenal sebagai “Bapak Teknologi Indonesia”. Kiprahnya membawa dampak besar terhadap dunia riset dan inovasi di Indonesia.
Ada beberapa efek yang dapat diantisipasi akibat kehilangan tokoh seperti BJ Habibie dalam hal riset dan masa depan di Indonesia
Pertama, kehilangan inspirasi dan kepemimpinan visioner, Habibie dikenal sebagai sosok yang memiliki visi besar untuk memajukan teknologi dan ilmu pengetahuan Indonesia. Kehilangannya berpotensi menciptakan kekosongan dalam kepemimpinan visioner di bidang ini.
Figur seperti Habibie memberikan inspirasi bagi generasi muda dan memberikan dorongan untuk mengejar karier di bidang teknik, riset, dan pengembangan teknologi. Kita tahu bahwa Habibie adalah pelopor di bidang kedirgantaraan, teknologi penerbangan, dan inovasi teknologi lainnya.
Tanpa tokoh besar yang terus-menerus menyoroti pentingnya investasi dalam riset teknologi tinggi, ada risiko bahwa dorongan untuk mendukung industri teknologi canggih bisa melemah. Habibie memiliki jaringan luas di luar negeri yang membantu Indonesia mengembangkan teknologi dan inovasi melalui kolaborasi.
Kehilangannya dapat membuat hubungan internasional di sektor riset dan teknologi menjadi kurang kuat, terutama dalam mengakses teknologi terbaru atau berkolaborasi dengan negara-negara maju dalam proyek-proyek teknologi.
Kedua, kehilangan Habibie bisa mempengaruhi momentum inovasi yang sedang dibangaun, terutama bagi mereka yang menaruh harapan pada penciptaan industri berbasis teknologi di dalam negeri. Tanpa tokoh ikonik yang menginspirasi upaya-upaya inovatif, ada risiko stagnasi dalam perkembangan inovasi.
Pemerintah perlu berupaya untuk mencetak pemimpin-pemimpin riset dan inovasi baru. Pemerintah, akademisi, dan pihak swasta perlu lebih berperan aktif dalam mengidentifikasi dan mendukung generasi muda yang dapat menjadi inovator di masa depan.
Melalui beasiswa, pelatihan, dan investasi, diharapkan akan muncul tokoh-tokoh baru yang memiliki komitmen untuk mengembangkan inovasi di Indonesia, sehingga bisa menjadi momen refleksi bagi pemerintah dan industri untuk mengevaluasi strategi riset dan inovasi.
Ini bisa menjadi peluang untuk memperbarui pendekatan dan meningkatkan kolaborasi antara universitas, sektor swasta, dan pemerintah dalam memajukan teknologi nasional, bukan malah sebaliknya.
Jika BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) hilang atau dibubarkan, dampaknya terhadap inovasi di Indonesia akan sangat signifikan, terutama dalam upaya melanjutkan warisan para pendahulu seperti BJ Habibie. Maka pemerintah akan kehilangan koordinasi dan konsolidasi riset karena BRIN dibentuk untuk mengintegrasikan riset yang sebelumnya terpecah di berbagai kementerian dan lembaga.
Tanpa BRIN, riset di Indonesia berpotensi kembali terfragmentasi, membuat koordinasi antar-lembaga riset menjadi sulit dan tidak efisien. Ini akan menghambat inovasi yang membutuhkan kolaborasi multidisiplin, seperti teknologi kedirgantaraan dan energi terbarukan.
Kita tahu bahwa BRIN memungkinkan pendanaan riset disalurkan dengan fokus dan prioritas yang jelas. Tanpa badan yang menyatukan ini, alokasi dana riset bisa menjadi kurang terarah dan berpotensi terhambur ke berbagai proyek tanpa dampak signifikan.
Ini juga bisa menurunkan efisiensi pembiayaan proyek jangka panjang, termasuk teknologi tinggi yang dulu diperjuangkan oleh BJ Habibie, seharusnya pemerintah mendorong riset teknologi tinggi yang mendukung kemandirian Indonesia di bidang strategis seperti kedirgantaraan dan manufaktur.
Tanpa BRIN, riset berfokus teknologi tinggi seperti pesawat terbang, satelit, atau teknologi pertahanan termasuk teknologi pertanian dll mungkin kehilangan dukungan prioritasnya. Fokus riset nasional dapat bergeser ke proyek yang lebih terfragmentasi dan jangka pendek, mengurangi kesempatan untuk bersaing di tingkat global.
BRIN juga membantu mengembangkan infrastruktur riset yang modern, seperti laboratorium dan fasilitas teknologi canggih. Tanpa lembaga khusus ini, pengelolaan fasilitas riset bisa kurang optimal, membuat penelitian dalam negeri sulit berkembangan dan mengakibatkan ketergantungan yang lebih tinggi pada teknologi dari luar.
Di sinilah posisi BRIN yaitu mempermudah kolaborasi Indonesia dengan lembaga riset internasional untuk proyek-proyek inovasi. Tanpa lembaga yang mengelola kolaborasi ini peluang untuk bekerjasama dengan pihak luar menjadi berkurang, dan peneliti Indonesia bisa kehilangan akses ke jaringan global yang mendukung riset dan pengembangan.
Pemerintah yang kuat butuh mencetak talenta riset muda melalui beasiswa, pelatihan, dan akses ke teknologi canggih. Jika BRIN dibubarkan, dukungan yang konsisten untuk mengembangkan generasi peneliti baru yang berkualitas akan menurun.
Hal ini dapat menghambat munculnya sosok-sosok penerus yang mampu mewujudkan visi Habibie tentang teknologi Indonesia yang mandiri. Pemerintah harus sadar bahwa inovasi membutuhkan waktu, dan banyak proyek riset adalah investasi jangka panjang. BRIN sebagai lembaga yang terpusat mampu memberikan komitmen berkelanjutan terhadap proyek jangka panjang tersebut.
Tanpa BRIN tidak ada jaminan bahwa proyek yang memerlukan waktu bertahun-tahun akan terus mendapatkan dukungan dan bisa berlanjut hingga selesai, mengancam keberhasilan proyek-proyek besar seperti yang pernah di inisiasi Habibie, dengan BRIN menjadi simbol keseriusan pemerintah dalam mendukung riset dan inovasi.
Jika BRIN hilang, hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran di kalangan ilmuwan dan peneliti mengenai komitmen negara terhadap ilmu pengetahuan. Ini beresiko menurunkan semangat dan motivasi para peneliti, yang pada akhirnya dapat berdampak pada produktivitas riset di Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah harus sadar bahwa jika BRIN dibubarkan atau hilang, hilangnya badan ini dapat mengganggu upaya mewujudkan mimpi BJ Habibie untuk menciptakan teknologi yang mandiri dan inovatif.
Di samping itu, akan semakin sulit membangun fondasi riset yang kuat dan berkelanjutan di Indonesia tanpa adanya lembaga yang secara khusus memfasilitasi dan mengelola riset dan inovasi secara terpadu.
Efek psikologis yang dirasakan para peneliti secara keseluruhan akibat hilangnya BRIN atau lembaga riset nasional serupa bisa cukup mendalam. Beberapa dampak psikologis yang mungkin dirasakan para peneliti meliputi efek psikologis yang dirasakan para peneliti secara keseluruhan akibat hilangnya BRIN atau lembaga riset nasional serupa bisa cukup mendalam.
Beberapa dampak psikologis yang mungkin dirasakan para peneliti meliputi:
Pertama, kehilangan motivasi dan semangat, BRIN sebagai lembaga nasional menunjukkan komitmen pemerintah terhadap riset dan inovasi. Jika BRIN dibubarkan, peneliti dapat merasa bahwa riset mereka kurang dihargai atau tidak dianggap penting, yang dapat mengurangi motivasi mereka untuk berkontribusi. Penurunan semangat ini dapat memengaruhi produktivitas dan komitmen mereka terhadap proyek-proyek jangka panjang.
Kedua, rasa ketidakpastian dan cemas tanpa lembaga pusat yang menjamin kesinambungan pendanaan dan dukungan, peneliti mungkin merasakan ketidakpastian tentang masa depan pekerjaan dan proyek riset mereka.
Ketidakpastian ini bisa menciptakan rasa cemas terkait keberlangsungan riset dan nasib karier mereka, terutama bagi peneliti yang telah menghabiskan bertahun-tahun dalam proyek-proyek tertentu dan ini menyebabkan penurunan kepercayaan diri peneliti yang kehilangan dukungan dan fasilitas riset cenderung mengalami penurunan kepercayaan diri, baik dalam kemampuan pribadi maupun dalam keyakinan mereka terhadap nilai penelitian yang dilakukan.
Ini bisa membuat mereka ragu untuk melanjutkan penelitian dan menurunkan tingkat inovasi, karena merasa penelitian mereka tidak akan berdampak signifikan.
Ketiga, rasa frustasi dan kecewa ketika dedikasi mereka untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional terhambat oleh kurangnya dukungan yang konsisten, para peneliti bisa merasa frustasi dan kecewa. Frustrasi ini timbul dari ketidaksesuaian antara harapan mereka akan kemajuan riset nasional dan realitas situasi yang mereka hadapi.
Keempat, dalam jangka panjang, ketidakpastian dan hilangnya dukungan ini bisa memicu keinginan para peneliti untuk meninggalkan karier di bidang riset atau pindah ke luar negeri untuk mencari peluang yang lebih stabil dan menjanjikan. Ini menyebabkan "brain drain," di mana para peneliti berbakat mencari peluang yang lebih baik di negara lain, yang pada akhirnya merugikan potensi inovasi nasional.
Karena BRIN juga berfungsi sebagai wadah kolaborasi bagi para peneliti lintas disiplin dan daerah. Tanpa lembaga pusat yang memfasilitasi jaringan riset, peneliti mungkin merasa terisolasi dan kehilangan akses ke jaringan komunitas yang biasanya memberikan dukungan emosional dan profesional.
Rasa kesepian ini bisa memengaruhi rasa percaya diri dan antusiasme mereka terhadap proyek yang sedang dijalani. Wahai Presiden yang hebat tolong engkau perhatikan betapa pentingnya lembaga BRIN. Hilangnya BRIN atau lembaga sejenis akan menciptakan ketidakstabilan emosional yang dapat merusak iklim riset dan inovasi di Indonesia.
Para peneliti bisa kehilangan optimisme mereka untuk berkontribusi secara maksimal, dan bahkan mengalami keinginan untuk mencari jalan keluar dari karier riset nasional, yang berdampak besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di tanah air. Jika ini terjadi? maka kita akan ketinggalan dan negara maju lainya.
*) Abdul Hamid merupakan Peneliti Kebijakan Publik
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)