(Sebuah Catatan dalam Rangka Perayaan Natal 2022)
Oleh: Freddy Thie, Bupati Kaimana Periode 2020-2024
“Kita memimpikan dunia tanpa kekerasan, keadilan, dan harapan. Dunia yang mengulurkan tangan ke sesamanya. Sebagai simbol perdamaian dan persaudaraan”
Kalimat di atas merupakan potongan lirik lagu berjudul “The Prayer” oleh penyanyi ternama berdarah Italian, Celine Dion dan Andrea Bocelli yang dirilis pada tahun 1999. Dalam lagu ini tak hanya menyuguhkan perpaduan irama melodi dan suara yang indah. Lebih dari itu, pesan perdamaian disampaikan secara kental dalam setiap bait lirik lagu kepada dunia. Bahwa segala bentuk kekerasan, rasa sakit, dan penderitaan di dunia hendak dihentikan. Sehingga manusia bisa hidup berdampingan nan harmoni dalam sebuah ikatan cinta damai.
Pada akhir tahun nanti, bertepatan dengan tanggal 25 Desember, umat Nasrani di dunia akan merayakan hari Natal. Momen yang diperingati sebagai hari kelahiran Yesus Kristus ini akan dirayakan dengan menyebarkan pesan kasih sayang dan perdamaian. Untuk menggambarkan kasih sayang Tuhan Yesus bagi dunia, dan merenungi kehadiran Yesus dalam iman Kristiani. Seluruh umat Nasrani akan berkhidmat memanjatkan permohonan doa perdamaian dan keselamatan untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
Oleh karena esensi Natal adalah untuk menebar perdamaian, maka perayaan Natal kiranya menjadi momentum bersama. Natal bukan hanya untuk umat beragama Nasrani, tetapi untuk semua umat lintas agama dan kepercayaan. Oleh sebab itu, Natal menjadi momentum yang sangat tepat, terutama bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan diri sekaligus melakukan muhasabah. Dalam rangka memperkokoh ukhuwah demi terciptanya perdamaian antar sesama.
Hal ini berangkat dari potret bangsa Indonesia yang memiliki keragaman ras, etnis, budaya, dan agama. Yang di satu sisi keragaman ini menjadikan Indonesia bak mercusuar yang menjulang tinggi dan lainnya adalah kegelapan. Bahkan Indonesia dikenal di mata internasional sebagai “Taman Sari Dunia”. Di sisi lain, jika keragaman tidak dirawat dengan baik akan menjadi rentan ditunggangi oleh berbagai praktik isu yang berpotensi menimbulkan polarisasi dan konfrontasi yang sungguh merepotkan.
Memutus Disparitas Mayoritas-Minoritas
Dalam sejarah umat manusia, hubungan antar pemeluk agama terutama hubungan mayoritas-minoritas tak jarang bersifat antagonistik bahkan berujung korban nyawa. Buktinya, lihat saja tragedi Bosnia Herzegovina, kasus Chechnya di Rusia, hingga Muslim di India yang terjadi baru-baru ini. Tampilan hubungan mayoritas-minoritas sarat akan kemusykilan. Faktor penyebabnya tak lain karena konstelasi dan konfigurasi sosial-politik, watak dan sikap eksklusivisme, serta aspek teologis yang diekspresikan secara arogan yang mengitari antar kelompok ini.
Demikian juga di Indonesia, hubungan umat Kristen dengan Muslim adalah yang paling menghasilkan benturan. Muslim sebagai mayoritas merasa menjadi tuan di negeri ini, sementara kaum Kristiani juga merasa memiliki hak yang sama meski mereka minoritas. Ditambah lagi dengan fenomena klaim kebenaran absolut yang semakin memperkuat disparitas yang ketat antara mayoritas dan minoritas. Situasi ini berakibat pada terciptanya hubungan antar agama yang intoleran.
Fenomena persinggungan antar agama yang memprihatinkan di atas mendapat justifikasi dalam sebuah hasil survei. Rilis Setara Institute pada tahun 2019-2020 menunjukkan bahwa jenis pelanggaran atas kebebasan beragama dan keyakinan (KBB) paling banyak terjadi yakni tindakan intoleransi. Tercatat, peristiwa pelanggaran atas KKB paling banyak terjadi di Jawa Barat dengan total 39 peristiwa pelanggaran. Disusul Jawa Timur dengan 23 peristiwa, kemudian Aceh 18 peristiwa pelanggaran atas KKB.
Lebih lanjut, praktik intoleransi ini dilakukan oleh aktor non negara seperti kelompok warga, individu, ormas keagamaan hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam catatan Setara Institute, sekitar 32 kasus terkait pelaporan penodaan agama, 17 kasus penolakan pendirian tempat ibadah, dan 8 kasus pelarangan aktivitas ibadah. Kemudian, 6 kasus perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan kegiatan dan 5 kasus kekerasan.
Data di atas menunjukkan bahwa ternyata keragaman ras, budaya, etnis serta agama yang dimiliki bangsa ini tidak serta merta dengan mudah terbingkai dalam satu tatanan kehidupan yang harmonis. Melainkan kita sering kali terjerumus atau terjebak pada egoisme dan fanatisme sebuah paham yang kita anut. Mengglorifikasikan bahwa kelompok saya lah yang paling benar dan diakui. Sementara yang lain salah dan tidak diakui. Yang barang tentu sikap ini akan berujung pada retaknya keragaman yang kita miliki.
Apalagi dalam situasi politik internasional maupun nasional yang diwarnai dengan konflik antar aliran ini. Maka untuk memutus disparitas hubungan negatif mayoritas-minoritas, bangsa ini tentunya sangat membutuhkan pikiran dan sikap setiap warga negara yang terbuka, inklusif, dan sadar akan pluralisme.
Membangun Dialog
Pada konteks masyarakat Indonesia yang multikultur, alternatif yang sekiranya ideal dalam merajut nuansa toleransi untuk memperteguh perdamaian bisa melalui upaya dialog. Tujuan dari dialog ialah dalam rangka mencari titik temu diantara keragaman. Sehingga keragaman menjadi sebuah energi positif dalam pembangunan umat dan bangsa. Tentu saja hal ini bisa ditempuh dengan hati dan otak yang terbuka serta kedewasaan emosional.
Memang sejauh ini, sebagaimana yang ditunjukkan Karel Adriaan Steenbrink dalam “Perkembangan Teologi dalam Dunia Kristen Modern (1987)” bahwa praksis ruang lingkup dialog baru menyentuh pada tingkatan pragmatis-politis. Dalam artian, dialog dilakukan hanya untuk meminimalisir konflik yang terjadi karena agama, misalnya berkaitan dengan hal-hal seputar penyiaran agama, pendirian tempat ibadah, perkawinan antar agama, dan peringatan hari besar agama.
Akan tetapi kita menginginkan lebih dari itu agar jalan dialog ini bisa menghasilkan sebuah formulasi peran agama dan para pemeluknya dalam konteks kepentingan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Dalam artian para pemeluk agama yang berbeda-beda itu bisa menghasilkan sebuah karya kolektif yang kinerjanya bisa dirasakan bersama pula. Serta yang tak boleh dilupakan ialah dialog pada tataran intelektual. Sehingga keilmuan agama tidak lagi masuk ke wilayah ilmu terapan (applied science) yang eksklusif, melainkan masuk ke dalam ilmu dasar (pure science). Sehingga batang tubuhnya bersifat inklusif.
Dengan membangun dialog antar agama, kita berharap mampu menguak kesadaran para pemeluk agama akan realitas yang selama ini tertutupi oleh mental serta sikap akut eksklusivisme. Ikhtiar-ikhtiar semacam ini memberikan optimisme bahwa kita mampu melepaskan diri dari berbagai macam bentrokan, diskriminasi, konflik, pertikaian, perang, dan kejahatan yang merusak martabat manusia dan peradaban itu sendiri. Yang semua itu menjadi tembok penghalang kerinduan dan mimpi-mimpi kita akan terwujudnya kehidupan yang damai.
Beberapa gambaran di atas kiranya akan menjadi modal besar bagi bangsa ini untuk memperteguh perdamaian di tengah perbedaan. Sehingga pada momen sakral keagamaan, seperti Natal, Paskah, Kenaikan Yesus, Idul Fitri, Maulid Nabi, Nyepi, Waisak, Galungan, Pagerwesi, Imlek dan sebagainya berlangsung damai tanpa gangguan apa-apa di masa depan.
Pesan-pesan tentang perdamaian juga kelak tidak hanya disampaikan menunggu momentum ritual keagamaan belaka. Akan tetapi, telah menjadi sebuah rutinitas yang berkualitas. Yang secara terus menerus diikhtiarkan secara konkrit. Dari semua itu, perdamaian sejati dimana relasi manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta bisa terjalin serasi.
Merry Christmas! Selamat merayakan Natal, Semoga membawa harapan damai, cinta, dan berkat yang berlimpah bagi kita semua. Tuhan Yesus memberkati.
Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi ketik.co.id.