Tiga periode Bupati Sidoarjo saya alami. Yang ’’indah’’ itu masa pemerintahan Bupati Win Hendrarso. Beliau figur pemimpin. Boleh dikata, lengkap antara ilmu dan laku-nya. Tampan, cendekia, berwibawa, bijaksana.
Banyak cerita yang bisa menggambarkan hubungan profesional. Antara bupati dan jurnalis yang sebenarnya bukanlah siapa-siapa. Beberapa bisa menjadi contoh. Pada sekitar tahun 2003, ratusan bangunan SD negeri di Sidoarjo rusak parah. Bekas program SD Inpres zaman Presiden Soeharto. Sebagian tidak dipakai. Sebagian lagi sudah telanjur ambruk karena hujan atau angin.
Hampir sebulan penuh saya berkeliling ke 18 kecamatan untuk menulis satu per satu SD rusak itu. Beritanya pun berseri. Semuanya faktual. Lengkap antara data, foto, dan temuan-temuan lain hasil hunting. Juga tangis guru yang ingin anak didiknya bisa belajar tanpa kecemasan.
Dikumpulkanlah kemudian oleh Pak Win, para pejabat terkait. Kepala Bappeda, kepala dinas PU Cipta Karya, kepala Dinas Pendidikan, dan sebagainya. Ada juga Ketua Komisi E DPRD Sidoarjo masa itu, Bung Tito Pradopo.
Tempatnya di Ops Room. Lantai II, tepat di atas Kantor Bupati Sidoarjo. Saya pun dipanggil. Sendirian. Yakin sudah bahwa di forum ini saya bakal ’’dibantai’’ ramai-ramai. Diberondong argumentasi. Ditimpuki klarifikasi.
Tapi, apa yang terjadi? Ternyata tidak ada ekspresi marah. Tersinggung. Tak tampak sedikit pun sikap pongah orang yang sedang berkuasa. Nah, di tengah tatapan mata para petinggi Pemkab Sidoarjo itu, Pak Win bilang begini.
’’Berita-beritamu semua kami baca. Solusinya sudah kami bicarakan. Pemkab akan meminjam dana ke Bank Jatim untuk mengatasinya. Seluruh SD rusak segera kami perbaiki. Semuanya. Supaya masyarakat senang. Anak-anak bisa sekolah dengan aman. Bagaimana menurutmu.’’
Yang pasti, tidak ada pejabat yang dimutasi. Mereka langsung dapat tugas untuk mengatasi kerusakan. Asosiasi-asosiasi pengusaha konstruksi pun berunding. Para kontraktor dapat ratusan proyek. Pemkab Sidoarjo banjir apresiasi. Masyarakat memuji.
Sekarang? Ratusan bangunan sekolah negeri juga sama. Rusak. Jumlahnya lebih dari 150-an. Rusak ringan, sedang, maupun berat. Yang dilakukan? Tentu, memperbaikinya dengan rehab dan revitalisasi sebagian. Katanya, keterbatasan anggaran. Fakta lain berbicara bahwa proyek betonisasi semakin masif. Ratusan miliar rupiah digelontorkan. Dari tahun ke tahun. Sejak 2021, 2022, hingga 2023, bahkan 2024.
Ada juga kebijakan meminjam uang ke bank. Itu untuk membangun gedung baru RSUD Sidoarjo. RSUD yang kini bernama R.T. Notopuro itu memutuskan berutang ke bank Rp 60 miliar. Sidoarjo pun sukses menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang memiliki rumah sakit tipe A. Sungguh membanggakan.
Dan, ini hebatnya, untuk mengatasi persoalan gedung sekolah rusak, yang dilakukan bukan menghimpun anggaran untuk merehabilitasi dan merevitalisasi gedung. Total memperbaiki semua ruang kelas. Agar siswa bisa tenang, aman, dan nyaman belajar.
Mau tahu langkahnya? Pejabat Bidang Pengendalian, Pengawasan, Sarana dan Pasarana di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo dimutasi. Dia dipindahkan ke Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Padahal, yang bersangkutan adalah pejabat karir yang matang di bidang pekerjaan umum. Terutama, keciptakaryaan. Mau seperti apa jadinya?
Kisah ini juga menginspirasi. Suatu malam, seorang ibu panik di RSUD Sidoarjo (sekarang RSUD R.T. Notopuro). Putranya kena demam berdarah. Dia miskin. Karena antrean ruang rawat inap padat, ibu itu menurut saja anaknya dimasukkan kelas II. Dia kalut.
Pada waktunya bayar biaya rumah sakit, dia tidak punya uang. Tidak punya jaminan asuransi apa pun. Televisi dan beberapa barang dia jual. Habis. Ibu itu ketakutan sampai tetangganya (alm) Cak Husni Thamrin memberi tahu saya. Minta ibu itu dibantu.
Saya pun menulisnya besar-besar selama 2 hari. Direktur RSUD Sidoarjo marah. Komplain bukan main. Dokter itu ngotot tidak bersalah. Semua sesuai prosedur. Entah bagaimana ceritanya, perselisihan saya dan direktur RSUD itu sampai ke Pak Win.
Saya ditelepon. Direktur dipanggil. Pak Win ternyata sudah dalam perjalanan menemui ibu miskin itu. Rumahnya terselip di gang sempit. Jalan KH Mukmin. Pintu depannya sumur. Gelap. Becek. Kumuh.
Mengenakan setelan safari rapi, Pak Win turun dari mobil. Direktur RSUD berdasi dan baju hitam putih. Saya diajak masuk. Si ibu sudah terlihat gemetar. Anaknya masih sakit. Sudah tidak ada apa-apa lagi untuk biaya. Dia tertunduk pasrah.
’’Mas Rozi, tolong ke sini,’’ panggil Pak Win.
’’Ya, Pak,” jawab saya.
’’Berita sampeyan nggak salah. Pak Direktur RSUD juga tidak salah. Semua biaya rumah sakit saya tanggung. Dan, ini buat ibu. Buat ganti barang-barang yang dijual,’’ kata Pak Win sambil menyerahkan sesuatu dari saku safarinya. Selesai. Happy ending.
Nah, baru-baru ini, mencuat ribut-ribut antara Perhimpunan Dalang Wayang Gagrak Porongan dengan Bidang Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo. Masalahnya uang Rp 600 juta.
Perselisihan dana dalam APBD Sidoarjo itu ramai bukan main. Berhari-hari termuat di beragam media. Tidak segera selesai. Bahkan, perdebatan diwarnai cekcok mulut di depan para wakil rakyat. Seru. "Lucu". Bikin masgyul. Menggemaskan.
Untunglah Komisi D DPRD Sidoarjo mampu menjadi penengah. Kedua pihak diberi pengertian. Jangan kaku-kaku. Entah masalah itu benar-benar selesai atau tidak. Happy ending atau tidak. Yang pasti, kita patut bertanya? Di mana kepala dinas pendidikan. Di mana sekretaris daerah? Di mana wakil bupati. Di mana bupati? Persoalan ”kecil” seperti itu terkesan ruwet. Berlarut-larut. Sampai hearing dua kali.
Kita bisa belajar langsung dari Pak Win. Contoh yang pertama adalah bagaimana seorang pemimpin begitu peduli kepada masa depan anak-anak. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar. Wajib. Sepatutnya penyediaan sarana dan prasarananya mendapatkan tempat utama di dalam perasaan dan pikiran seorang pemimpin. Berapa pun anggaran yang harus disiapkan.
Bukankah sangat riskan dan memalukan jika sampai terjadi sekolah ambruk dan anak-anak yang sedang belajar menjadi korban? Kabupaten Sidoarjo kota yang membanggakan. Mencintai Sidoarjo juga berarti menjamin keselamatan anak-anaknya. Menjaga harkat dan martabat kotanya. Mendengar suara masyarakatnya.
Yang kedua mencontohkan bagaimana seorang pemimpin mengatasi perselisihan. Lebih dari sekadar menguasai pendekatan formal berupa aturan dan kebijakan.
Alangkah indahnya bila seorang pemimpin piawai dan bijaksana mengambil keputusan. Masalah selesai. Tujuan tercapai. Tidak ada yang merasa dikalahkan. Win-Win Solution. Bupati Win Hendrarso memang bisa menjadi contoh. (*)
*) Fathur Roziq, redaktur dan jurnalis senior Ketik.co.id yang bertugas di Sidoarjo
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
*) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
**) Ketentuan pengiriman naskah opini:
• Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
• Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
• Panjang naskah maksimal 800 kata
• Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
• Hak muat redaksi